Mohon tunggu...
Sakban Rosidi
Sakban Rosidi Mohon Tunggu... profesional -

Membina kelas Filsafat dan Metodologi Penelitian Pengembangan pada Program Pascasarjana; Psikologi Sosial, Sosiologi dan Antropologi pada Program Sarjana. Cukup lama mengajar filsafat, linguistik dan cultural studies di Program Studi Sastra Inggris.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Anti Korupsi dan Antri Korupsi

19 Februari 2012   01:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:29 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1329615834967596340

Anti Korupsi dan Antri Korupsi Sakban Rosidi

Semula,  tulisan saya ini berjudul "Mendukung Penguatan Jaring Pterosaurus". Tapi apa lacur? Beberapa teman dan pembaca malah tak tahu kemana arah tulisan ini. Atas saran beberapa teman dan pembaca, yang kebetulan tertarik pada gagasan memasukkan etika antikorupsi sebagai matakuliah atau matapelajaran, saya mengubahnya menjadi "Anti Korupsi dan Antri Korupsi". Hajat tulisan ini pun sederhana, yaitu menyajikan serba sedikit tentang betapa buruk dampak korupsi bagi masyarakat, bangsa dan negara. Korupsi jauh lebih berbahaya dibanding kejahatan jalanan, dan bahkan mungkin terorisme.  Karena itu, terkecuali anda terlibat, dan lebih-lebih masih punya kepedulian terhadap nasib dan masa depan bangsa Indonesia, sebaiknya siapa pun anda mendukung penuntasan kasus-kasus korupsi dalam berbagi bentuknya. Mengapa? Semoga tulisan pendek ini memperteguh tekad kita memberantas korupsi. Pertama, seperti kebanyakan jenis kejahatan kantoran (white-collar crimes), korupsi dan suap jauh lebih merugikan dan merusak ekonomi masyarakat ketimbang kejahatan jalanan (street-crimes). Di negara bukan korup saja, seperti kata Etizen dan Timmer (1985), kejahatan kantoran menimbulkan kerugian ekonomi rakyat sepuluh kali lipat dibanding kerugian karena kejahatan jalanan. Jadi bisa dibayangkan, betapa besar kerugian ekonomi rakyat akibat kejahatan kantoran ini di negara mega-korup seperti Indonesia.

Kedua, tak hanya kerugian ekonomi, korupsi dan suap juga menimbulkan kerugian sosial berupa kemerosotan kepercayaan publik kepada kegiatan dan dunia usaha, kepada para pejabat dan pemimpin masyarakat, serta kepada lembaga hukum dan peradilan. Itu semua terjadi karena jenis kejahatan ini mengeroposkan standar moral bagaimana usaha dijalankan (because of their corrosive effect on the moral standards by which business is conducted).

Ketiga, karena tak tampil dalam bentuk kekerasan fisik atas manusia, kejahatan kantoran kurang dipedulikan dan kurang mendapatkan dukungan masyarakat dibanding kejatahan yang langsung menyangkut diri dan jiwa manusia. Memberi dukungan penyelesian kasus Mujianto memang penting, tetapi menuntaskan kasus Nazaruddin dan Angelina Sondakh, dan sejenisnya juga tak kalah penting. Seturut  kajian Etizen dan Timmer (1985), menurut Britton (1981), kejahatan ini menghacurkan kesehatan ekonomi, serta seratus kali lebih merusak masyarakat ketimbang kejahatan jalanan. Kejahatan ini menghancurkan perusahaan, mengakibatkan pengangguran, dan memahalkan harga semua barang dan jasa. Lebih celaka lagi, kejahatan demikian juga menyelewengkan akhlak masyarakat yang secara turun-temurun menjunjung tinggi kejujuran dan kesusilaan (warps the moral fiber of society where honesty and decency have been traditionally valued).

Keempat, bila tidak diadili dan dipenjarakan, ternyata penjahat kantoran cenderung kambuh dan makin canggih. Kajian Albrecht (1979) menunjukkan, setelah dipenjarakan, pelaku kejahatan kantoran cenderung terpaksa jera. Namun, bila tak dipenjarakan, kelicikan dan kecurangan mereka semakin meningkat, dan kembali melakukan kejahatan (those who were not jailed had their dishonesty reinforced and tended to go back to their criminal activities).

Terakhir, bila kasus-kasus besar dengan kerugian berlipat tersebut tak benar-benar terselesaikan, seluruh perangkat dan pranata hukum juga kehilangan kepercayaan. Sedemikian tak dipercaya, sehingga perangkat dan pranata ini hanya berdaya ketika menghadapi kasus sekelas sandal jepit dan setandan pisang.

Lembaga hukum dan peradilan, akan seperti jaring laba-laba yang hanya mampu menjerat hewan sekelas capung, dan berantakan ketika diterjang hewan sekelas dinosaurus terbang (Pterosaur). “Laws are spider webs through which the big flies pass and the little ones get caught”, kata de Balzac (1799-1850).

Merujuk pernyataan ketuanya, ditengarai ada pengkhianat dalam tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tampak benar secara kelembagaan KPK membutuhkan dukungan. Jadi, jangan lelah mendukung penguatan jaring ptesaurus, menguatkan tekad para awak Komisi Penjaring Kawanan ptesaurus (KPK).

Kembali kepada betapa buruk dampak korupsi yang melebihi jenis kejahatan lain, kita memang bisa mengandaikan kejahatan sebagai musuh bersama kita. Mudah dipahami, jenis kejahatan jalanan dan bahkan terorisme, meminjam tesis fungsionalisme konflik Coser (The Functions of Social Conflict, 1956), sangat boleh jadi berfungsi, atau mengakibatkan integrasi sosial untuk bersama-sama melawannya. Sebaliknya, korupsi yang merajalela dan gagal ditekan serendah mungkin, sangat boleh jadi tidak menimbulkan sikap dan perilaku ANTI KORUPSI, melainkan malah membuat kaum muda ANTRI KORUPSI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun