Mohon tunggu...
sakbani
sakbani Mohon Tunggu... mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Membongkar Tradisi Pesantren, Mungkinkah?

31 Mei 2016   10:44 Diperbarui: 31 Mei 2016   10:59 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Diantara beragam lembaga pendidikan Islam, Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang  paling tua di Pulau Jawa. Hampir di setiap daerah di Pulau Jawa dan Madura bisa dijumpai Pesantren. Berdasarkan sejarah yang ada, Pesantren pertama kali didirikan oleh Sunan Ampel, di daerah Ampel Denta, dekat kota Surabaya. Pada waktu itu para santri rata-rata adalah warga sekitar, sehingga mereka setelah selasai mengaji langsung pulang. Jarang sekali ditemukan santri yang menetap. Lambat laun, karena semakin banyaknya santri yang berdatangan dari luar wilayah, maka berkembanglah model Pesantren yang menyediakan kamar untuk bertempat tinggal.

 Dengan semakin berkembangnya zaman, dan menjamurnya sistem pendidikan ala sekuler hasil karya tangan penjajah, Pesantren semakin ditinggalkan oleh masyarakat, hal ini dapat diketahui dengan banyaknya pesantren yang hanya tinggal bangunannya saja tanpa ada santrinya. Selain mulai ditinggalkan oleh masyarakat, pesantren kini juga tak luput dari kritikan yang dilontarkan oleh sekelompok orang yang merasa mendapatkan pencerahan dan mengaku lebih Islami.

Mereka menilai bahwa pengajaran di Pesantren itu  bersifat statis, hal ini dibuktikan dengan kitab-kitab yang dikaji di Pesantren yang hampir semuanya adalah kitab kitab klasik. Padahal kitab-kitab tersebut merupakan hasil pemikiran pada zaman pertengahan dan dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Selain itu metodologi di Pesantren juga dianggap kurang canggih karena kurang memberi ruang kepada para santri untuk mengembangkan kemampuanya dalam mempelajari agama Islam, hal ini berdasarkan pada salah satu cara mengajar yang lazim dipakai di Pesantren yaitu Bandungan,karena dalam sistem bandungan tidak ada kesempatan bagi para santri untuk bertanya kepada sang kyai tentang materi yang sedang diajarkan. Mereka semua lupa, bahwa banyak orang-orang hebat yang berjasa bagi negara ini adalah alumnus  pesantren. 

Sebut saja nama Wahid Hasyim, salah seorang tokoh yang merumuskan piagam Jakarta sekaligus Menteri Agama pertama RI. Selain itu kita semua kenal dengan tokoh emansipasi wanita, yaitu RA. Kartini, banyak yang mengira bahwa beliau adalah orang yang tidak mengenyam pendidikan pesantren. Tapi sejarah telah mencatat bahwa beliau adalah salah satu santri Syech Sholeh Darat, seorang ulama besar  dari Semarang.  Ini hanyalah contoh  kecil dari seabrek orang-orang hebat hasil didikan pesantren.

Berbagai sorotan tajam terkait pesantren yang datang dari segelintir orang memang tak bisa dihindari. Ini mengingat begitu jauhnya pandangan hidup yang dipakai oleh kalangan pesantren dengan kalangan non-pesantren. kalangan non-pesantren selalu memakai barat sebagai ukuran kemajuan dan cara apa yang harus ditempuh untuk menyamai kemajuan mereka. Sementara  dikalangan pesantren hal ini tidak berlaku, mereka lebih cenderung fokus pada belajar tentang ilmu-ilmu agama daripada mempelajari akan  kemajuan barat. Kita semua perlu menyadari, bahwa perbedaan adalah hal lumrah, tak usah menjadi pemicu perpecahan. 

Biarkan pesantren dengan sistem yang mereka pakai, tak perlu didiskreditkan, toh mereka sendiri yakin bahwa sistem itulah yang dinilai paling cocok untuk diterapkan pada pesantren. Memang untuk menilai sesuatu tak cukup hanya dari luarnya saja, tapi harus masuk sampai keakar-akarnya. Begitu pula dengan pesantren, untuk bisa menilai secara proporsional perlu mengkaji sampai ke hal-hal yang paling detail, yang itu semua tak bisa didapat hanya dengan wawancara ataupun pengamatan belaka. Pesantren sampai kapanpun akan tetap berusaha mempertahankan apa yang telah diwariskan oleh para pendahulu mereka, karena hal inilah yang membuat pesantren itu unik dari lembaga pendidikan Islam lainya, walaupun ada sebagian pesantren yang mulai bertransformasi, mengikuti model pendidikan umum, tapi model pesantren salaf masih menjadi yang dominan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat pesantren adalah lembaga yang jarang “disentuh” dengan teknologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun