Entah siapa yang membisikkan, "Cuekin, biarin, pura-pura tidak melihat, jangan menoleh" atau sebangsa dan setara dalam bahasa seperti yang dimaksud. Nanti merepotkan. Waktu kita terbuang. Perasaan jadi tertekan. Uang melayang. Kemampuan berbahasa jadi hilang. "Kok bisa sih ada orang seperti itu? diberi fisik sempurna, tapi meminta-minta. Apa tidak malu? Kenapa pula harus dipertemukan dengan saya."
Hari ini, saya menunggu-nunggu, sudah cukup lama tidak bertemu. Ingin dikembalikan ke masa itu. Dengan menyiapkan sedikit uang dan senyuman untuk memberikan kegembiraan. Barangkali bisa membuat ringan. Meskipun sangat sedikit sekali. Apakah nominalnya, ataukah pengaruhnya. Pas buka peci, terselip uang sepuluh ribu. Saya diputarkan memori tentang penyesalan dan esok harinya segera menyiapkan. Saya tidak boleh melewatkan kesempatan itu sekalipun sedang tidak punya uang.
Malam itu, sedang menunggu pesanan nasi goreng. Tiba-tiba datang seorang lelaki agak tua menawarkan kerupuknya. Di kedai itu, setidaknya ada lima orang, selain seorang teman, dan saya. Ketika datang tawaran kerupuk tadi, teman refleks melambaikan tangan, simbol penolakan. Saya pun terpengaruh, ikut menambahkan, "maaf pa". Dengan sedikit bergetar, saya tatap sosoknya, sambil menerawang. Maafin ya pa...
Di tangan, memang ada uang. Pas untuk membayar nasi goreng saja. Pikiran kebingungan dengan hati yang ingin mengulurkan tangan. Setelah di rumah, barulah dibukakan. "Kamu kan bisa pulang dulu, mengambil lagi sejumlah yang dibutuhkan. Uang yang tadi dipegang, kenapa tidak diberikan kepada yang menawarkan kerupuk itu? Bapak tadi tidak meminta-minta. Ia hanya menawarkan. Ia sedang berikhtiar, menjalankan apa yang dia bisa jalankan. Tidak sedang menurunkan derajat dengan menengadahkan tangan."
Kadang, pencerahan selalu datang belakangan. Kadang disertai dengan penyesalan. Wahai manusia, kenapa tidak berlatih dan mempersiapkan. Bukankah otak diberikan Allah untuk merencanakan perjalanan supaya dilalui dengan nyaman. Kalau terasa ada penyesalan, sesungguhnya hidup kita belum di tahapan nyaman. Secara fisik, indicator utama kenyamanan adalah mudah memberikan senyuman. Bukan dipancing dengan senyuman orang, tapi sendirinya pun mudah sekali memproduksi senyuman.
Allah menciptakan manusia dengan sempurna. Secara fisik tidak ada duanya. Anak kembar pun tidaklah sama. Ada yang mencoba cloning manusia, tapi ia lupa meminta izin kepada-Nya. Penelitan tentang manusia tidak ada habis-habisnya. Sekarang sudah pada tahap DNA, rahasia demi rahasia telah terbuka. Tapi tidak menjadikan manusia semakin bertakwa. Justru, kesempurnaan itu dirusak sendiri oleh manusia. Ia merasa bangga dengan pencapaiannya, tapi tidak terbersit sedikit pun untuk berterima kasih kepada-Nya.
Secara pikiran, banyak bukti mengesahkan. Banyak bahasa dirumuskan. Dalam kesendirian, focus pada pekerjaan, berjuta karya telah dihasilkan. Rasanya, tidak akan ada orang yang sanggup membaca semua warisan kitab dari para pendahulu kita. Apalagi bagi orang yang tidak kenal dengan kalimat atau paragraph. Tapi bagi yang berterima kasih kepada Allah, melalui optimalisasi pikiran, karya-karya yang dibutuhkan akan sendirinya hadir berdatangan.
Secara hati (jiwa), manusia akan mengetahui purwadaksi. Jiwa adalah jalur komunikasi dengan Sang Pencipta. Menggetarkan hati sama dengan beraktivitas bersama Ilahi. Ia akan memandang dunia sebagai hiasan belaka. Apa yang dipersiapkan oleh Allah bukan untuk pemenuhan keinginan, tapi untuk menyemangati perjuangan. Dunia ini bukan tempat perhentian. Ia tidak berminat untuk membawanya, apalagi memilikinya. Ada yang lebih istimewa dari sekadar hiasan dunia. Apalagi
Tiga factor pembentuk di atas adalah hadiah terbesar yang diterima manusia. Tidak ada makhluk yang sanggup membuatnya. Sang Pencipta harus menjadi perhatian utama. Sekali melupakannya, Allah tidak akan mengingatnya lagi. Allah tidak meminta manusia untuk membayarnya. Allah tahu, manusia tidak akan sanggup. Tapi paling tidak, ingatlah, taat, dan hormatlah kepada ibu yang telah melahirkannya, menyusui, merawat, dan menyayanginya. Melalui ibu, semoga menjadi jembatan ingatan kita kepada Yang Maha Kuasa.
Sayang, sedikit sekali manusia yang bersedia menyadari kasih sayang-Nya. Ia terima nikmat-Nya setiap hari, bahkan setiap detik. Tapi nikmat itu belum mampu menyadarkannya. Di kala sakit sekalipun. Hanya melamun. Tidak sanggup tersenyum. Hal itu karena manusia telah memodifikasi kesempurnaannya menjadi kebodohan. Ironi lagi, ia bangga dengan kebodohannya. Sebagai contoh, otak manusia mampu mengeksekusi 2 triliun instruksi dalam setiap detik. Tapi diberi tugas membaca, tak selembar pun ditunaikannya.
Dengan demikian, bagaimana manusia mau membaca symbol-simbol alam semesta? Memahami protes buah-buahan ketika dipetik belum matang. Bagaimana manusia mampu menerjemahkan getaran hatinya? Bagaimana manusia mampu memahami keinginan anggota badannya? Apalagi untuk merespon hamba-hamba Allah yang diperjalankan untuk menagih hak Allah yang belum ditunaikan. Itulah mengapa anak jalanan hanya dipersalahkan. Kenapa para pengemis hanya dirazia untuk ditertibkan.