Zaman sekarang zaman edan. Kalau tidak ikut edan, terpojok di pinggir gelanggang. Sedikit yang bertahan di dalam kewarasan, yaitu mereka-mereka yang sangat konsisten memelihara perasaan. Orang dan zaman saling berhubungan. Siapa kuat dia tetap sehat. Kalau orangnya sehat, zamannya terbawa sehat. Kalau zamannya sehat, pemainnya pun menjadi sehat. Sungguh, enak sekali menjadi sehat. Tapi uang telah memaksa banyak orang untuk menjadi edan.
Ada banyak pengajian diadakan. Ibu atau bapak, semangatnya sama. Tidak pagi tidak sore, siang malam tidak jadi halangan. Materinya tentang agama, ada perintah ada larangan. Bajunya kompak berwarna putih, menjadi symbol dari suci dan bersih. Selesai pengajian, ada saja kehilangan. Mengobrol dengan rekan-rekan, tidak lupa membicarakan kejelekan. Bukan untuk memperbaiki diri, tapi sedang konsisten merusak hati.
Ada seseorang yang sangat berilmu. Apa yang ditanyakan tak lama disampaikan. Maksudnya, tidak perlu lama untuk memikirkan jawaban. Sumbernya pun disebutkan, lengkap dengan berbagai pandangan. Dari sejarah hingga tasawwuf, tentang fiqh atau tauhid. Sayang, keilmuannya tidak dimanfaatkan. Kalau lisan dijadikan pimpinan, berkeluh kesah menjadi kebiasaan. Tak butuh lama untuk pembuktian, diantaranya berselisih dengan teman-teman.
Kalau di jalan, dibutuhkan kesadaran. Kemacetan adalah ujian. Klakson tandanya tak sabaran. Banyaknya mobil pribadi adalah indikasi sulit memberi. Seseorang yang berniat baik, belum tentu mendapatkan dukungan. Kebiasaan menjadi kencenderungan, meskipun secara akal sehat bertentangan. “Di sini mah sudah begini. Kamu dari mana?” Orang waras dipersalahkan. Ingin sehat ditertawakan. Andai malaikat diberi nafsu, tak ada manusia tersisa lagi.
Ada anak memakai kerudung, ibunya sendiri tanpa kerudung. Ada anak sedang merokok, bapaknya datang menyalakan rokok. Anak sekolah ingin bermotor, tak peduli ayahnya berbaju kotor. Dititipi anak perempuan yang cantik, tak malu menawarkan anak untuk menjadi gundik. Ada anak, statusnya PSK, ayahnya ‘bangga’ dan mengundang tetangga. Undangan itu berupa pengajian dan yasinan. Sebelum dimulai, dengan bangga diumumkan.
Dunia hari ini diramaikan dengan ironi. Dan terjadi hampir setiap hari. Kalau tidak ada, ironi itu dibuat sendiri. Ada sutradara, ada pembuat skenario, dan ada pasarnya sendiri. Ketika dibuat, sudah pasti ada pembeli. Kalau ada pesanan, menjadi korban pun tetap dijalankan. Bisnis ini cukup menjanjikan. Urusan etika disimpan ke belakang. Urusan agama, bonusnya diberikan kepada ulama. Semakin banyak yang gila, semakin sukses dalam usaha.
Suatu waktu yang tidak terlupakan. Ada seorang pujaan memberikan putusan. “Sampai di sini dulu ya, wassalam. Tidak perlu ada yang dipertahankan. Kesempatan sudah diberikan, tapi kepercayaan disia-siakan.” Putusan itu menghempaskan, meskipun disertai senyuman. “Bukankah dahulu telah mengizinkan? Ya, tapi mohon izin untuk meninggalkan.” Perlu waktu yang lama untuk pemulihan, sampai pada kesimpulan yang saling membahagiakan.
Sejak itulah awal penulis mulai mendalami senyuman. Menengok ke kiri dan ke kanan, senyuman menjadi barang yang unik, dan tak lama lagi akan diawetkan. Semoga museum berkenan menerimanya. Secara nyata, ia barang yang langka. Tapi tidak bisa diproduksi di pabrik-pabrik biasa. Hanya Allah yang berkuasa, dan dihancurkan oleh manusia. Senyuman itu titipan Allah, tapi kenapa senyumannya karena uang? Itulah manusia yang kerasan dalam ketersesatan. Woi salah jalan!!
Seorang guru ingin digugu, tapi sikapnya tak menentu. Seorang kyai ingin ditaati tapi ucapannya tidak layak diikuti. Seorang kakak ingin dihormati, ke adiknya tak menyayangi. Manusia tidak perlu diceramahi untuk jujur, hiasilah dirinya dengan kejujuran. Tidak perlu lagi minta dido’akan, sering-seringlah berdo’a untuk teman dan handai tolan. Kalau tidak mau dibohongi, jangan pernah membohongi. Suatu hari nanti, apa yang telah ditanam akan segera berbuah.
Kalau tidak sampai pada hakikat, kyai pun menjadi ahli hikmat. Syari’at pun segera dilipat. Tak ada shalat, tak ada zakat, cukup guru yang mewadahi infaq. Orang jujur ditampilkan, orang sakit dihadirkan, penguburan didekatkan, tetap sulit menggetarkan. Kalau Allah sudah mengunci, tak ada lagi hati nurani. Sekolah hanya unggul di status. Kehormatan hanya ada dalam panggilan. Dalam senyuman, luar dalam merasakan kebahagiaan.
* Tenaga Pengajar di Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah Universitas Mathla’ul Anwar Banten