"Ketidakwarasan adalah melakukan hal yang sama secara berulang-ulang dan mengharapkan hasil yang berbeda" ucap Einstein, seorang saintis dan pemikir sosial asal Jerman 1879.
Kutipan itu, hanyalah satu contoh yang menjelaskan bahwa tidak ada realisasi dalam pengabdian yang jelas tanpa dinaungi dengan konsistensi pada tujuan dengan tindakan yang revolusioner pada suatu perubahan.
Rasa-rasanya nuansa tersebut juga terjadi pada proses politik di kota Medan. Ketidakwarasan itu, selalu datang saat pagelaran politik dimulai. Momen politik yang datang "Bak jamur di musim hujan dan tenggelam ketika musim kemarau", membuat masyarakat cepat melupakan semua ketidakwarasan yang kadung terjadi, seolah-olah semua itu terlihat normal dan siklus yang biasa saja dalam kehidupan politik, saat melihat kehadiran sosok yang ingin menawarkan diri menjadi pemimpin---yang padahal, adalah stok lama dengan kemasan yang diatur sedemikian rupa agar terlihat lebih baru dan tetap memikat.
Wali kota dalam Dinamika Politik di Indonesia
Pada politik di Indonesia, Walikota dan masyarakat sama-sama memiliki relasi yang saling terkait dan ketergantungan, itu karena demokrasi memberikan mandat yang utuh kepada setiap individu-individu untuk menentukan nasibnya dengan memilih secara langsung pemimpinnya pada bilik suara. Pun demikian dengan Walikota, nasib rakyat ada pada genggaman kekuasaannya pasca penghitungan suara berakhir, artinya perbaikan yang diharapakan rakyat tergantung pada 5 menit keputusan pada bilik suara untuk 5 tahun kekuasaan.
Perjalanan politik kota Medan dalam beberapa dekade terakhir bukan hanya memprihatinkan tetapi juga "cacat" prestasi. Tahun 2005 Abdillah harus hengkang dari kursi Walikota Medan karena terjerat kasus korupsi penyelewengan APBD 24 miliar, disusul generasi selanjutnya Rahudman Harahap pun harus berdiam diri pada dinginnya jeruji penjara setelah di vonis 10 tahun atas kasus alih fungsi lahan  PT KAI.
Lebih lanjut, Dzulmi Eldin yang menjabat Walikota Medan saat ini dengan tagline "Medan Rumah Kita" pun tak mampu bangkit dari keterpurukan serta menghilangkan sugesti negatif tentang kota ini, seolah kota ini berjalan dengan kekosongan. Misalnya saja, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada awal Januari 2019 menobatkan Kota Medan sebagai kota terkotor di Indonesia disusul oleh Bandar Lampung dan Manado.Â
Keadaan ini menciptakan kekecewaan bahkan seakan-akan kemajuan dan kesejahteraan masyarakat kota ini bukanlah menjadi tujuan utama aktor politik. Paul Ricoeur, dalam esainya, "The Political Paradox" menjelaskan bahwa kejanggalan dari prakter kotor politik harus diakhiri dengan hadirnya aktor politisi yang secara permanen sejalan dengan rakyatnya.
Kegagalan demi kegagalan yang dialami kota Medan inilah yang saya maksud sebagai ketidakwarasan dan menjadi tamparan telak bagi kota Medan itu sendiri, Artinya, menurut saya, diperlukan cara baru bagi seluruh elemen yang ada di kota Medan saat melihat calon pemimpinnya, bukan lagi dengan memberikan porsi perhatian pada sektor yang tidak esensial seperti "jargon" dan "tagline" yang disebar di seluruh sisi jalan kota Medan, tapi menelusurinya lebih jauh dengan melihat ide dan gagasan apa yang mereka bawa untuk kemajuan kota yang tengah tertidur ini.Â
Bagi saya, upaya inilah yang dibutuhkan untuk keluar dari kegagalan-kegagalan yang sudah terjadi, singkatnya, sejalan dengan Ricouer, masyarakat kota Medan perlu memastikan bahwa calon pemimpinnya mesti sejalan dengan kepentingan masyarakat, sejak dalam pikiran.