Masih teringat bagaimana beliau berdiri di depan kelas dengan gagahnya sambil memegang sebatang ranting pohon. Kemudian menyuruh siswanya maju satu persatu menghafal perkalian 1 s.d. 10. Suasan kelas begitu hening, yang terdengar hanya suara siswa yang sedang melafalkan perkalian. Sesekali ranting pohon tersebut diayunkan ke betis siswa yang tidak bisa mnyelesaikan hafalannya. Dan hasilnya, hanya dalam hitungan hari, semua siswa dalam kelas itu mampu menghafal perkalian yang ditugaskan.
Sebelas tahun kemudian, salah seorang siswa di dalam kelas tersebut diktakdirkan untuk mewarisi profesi beliau tersebut. Meski di tempatkan di provinsi yang berbeda, namun pekerjaannya sama-sama mulia yaitu jadi seorang guru matematika. Tuan Guru begitu biasa ia disapa masyarakat, ingat pada pepatah pengalaman adalah guru yang terbaik. Namun apakah gaya mengajar gurunya waktu kecil itu, ia bisa terapkan juga di kelasnya saat ini? atau model pembelajaran apakah yang cocok diterapkan untuk kelas-kelas di sekolah kita saat ini?
Sebuah pertanyaan dan sebuah kisah yang sangat faktual. Jawaban atas pertanyaan itu pun sangat beragam. Namun inti jawaban dari pertanyaan tersebut adalah bahwa model, pendekatan, strategi, atau teknik apapun yang digunakan oleh tuan guru, tujuan utamanya adalah bagaimana agar anak-anak didiknya mampu belajar dengan baik. Belajar dengan baik artinya Belajar dengan penuh perhatian, motivasi tinggi, potensi dirinya berkembang, rasa ingin tahunya terjawab secara memuaskan.
Problematika anak didik di era teknologi informasi ini juga lebih kompleks. Sehingga menuntut tuan guru untuk lebih meningkatkan kompetensinya. Teknologi di satu sisi bisa membantu proses pembelajaran, namun di sisi lain teknologi bisa menjadi "sosok penggoda" bagi anak-anak didik kita. Oleh karena itu dibutuhkan guru yang bijak.
Selamat ulang tahun guruku tercinta !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H