Mohon tunggu...
Saifullah Robbani
Saifullah Robbani Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Informatika UIN MALIKI Malang...KAMMI UIN MALIKI Malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

BELAJAR DARI NABI MUSA DAN NABI KHIDIR

9 Juli 2013   21:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:46 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejenak marilah kita bermuhasabah dan merenungi surat al-kahfi ayat 65-82 yang memberikan penjelasan atau cerita tentang Nabi Musa yang berguru ke Nabi Khidir. Kenapa Allah menceritakan ayat ini kepada kita? Atau apa hikmah yang bisa kita petik dari beberapa ayat di surat al-kahfi tersebut. Allah menceritakan pertemuan Nabi Musa dengan salah seorang hambaNya yang shalih yang Allah berikan kepada hamba tersebut rahmat yaitu berupa wahyu dan kenabian dan ilmu tentang yang ghaib. Dimulai dari loncatnya ikan yang keluar dari wadahnya kemudian pergi ke laut. Setelah itu Allah mempertemukan Nabi Musa yang ingin belajar kepada Nabi Khidir. Ceritanya adalah Nabi Musa ini adalah nabi yang kritis, karena beliau dilahirkan dan dibesarkan di dunia orang-orang yang kritis. Bahkan kaumnya, karena terlalu kritis. Allah mengutuk kaumnya Nabi Musa ini. Karena Nabi Khidir tahu bahwa Nabi Musa ini adalah salah satu nabi yang kritis, maka diawal perjumpaannya Nabi Khidir sudah membuat kontrak belajar dengan Nabi Musa di ayat 70, “Dia berkata: Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku menjelaskannya kepadamu”. Setelah bersepakat tentang kontrak belajar, Nabi Musa kemudian berjalan bersama hamba Allah tersebut. Di tengah perjalanan, Nabi Khidir membocorkan perahu. Kemudian di surat tersebut Nabi Musa secara spontan bertanya. Kalau bukan pengikut yang kritis tentu dia akan komitmen dengan kontrak belajarnya. Akan tetapi, Nabi Musa ini pengikut yang kritis. Sehingga pertanyaan dari mulut Nabi Musa pun terlontar, “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar”. Kemudian, Nabi Khidir tersebut menjawab, “bukankah aku telah berkata: sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”. Dan Nabi Musa tersebut menjawab, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaan ku dan janganlah kamu membebaniku dengan kesulitan dalam urusanku”. Dan itu berlangsung hingga Nabi Khidir membunuh anak kecil dan membangun rumah yang mau roboh. Di akhir pertemuan, Nabi Khidir pun menjelaskan semua maksud yang tersembunyi dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya sejak awal hingga akhir. Jika melihat dari spontinitas pertanyaan Nabi Musa terhadap Nabi Khidir ini sepertinya menunjukkan bahwa Nabi Musa memang benar-benar nabi yang paling kritis. Sebenarnya memang kritis tidak menjadi permasalahan. Bersikap kritis adalah hak setiap orang untuk bertanya ini dan itu. Tapi kekritisan itu jangan dibangun diatas pondasi-pondasi rapuh, seperti riya’(agar orang melihatnya bahwa dia seorang yang kritis) dan sombong karena ingin menunjukkan ilmunya yang paling tinggi. Jika Nabi Musa adalah seorang tidak tahu, maka mungkin dia akan bertanya di depan saja. Selanjutnya dia akan menuruti apa yang disampaikan oleh Nabi Khidir. Dan sekali lagi, karena merasa ilmunya Nabi Musa ini merasa tinggi, maka apapun yang dilakukan oleh Nabi Khidir ditanya, lebih tepatnya dikomentari dengan nada pertanyaan.  Tiga kasus diatas menggambarkan kepada setiap mukmin bahwa Allah menetapkan beberapa hal yang terkadang kita tidak mengetahui hikmahnya dan tidak memahami kebaikan yang ada di dalamnya. Jadi, lebih baik diam jika kita tidak mengetahui hikmah dan tidak memahami kebaikan yang ada didalamnya. Jika ada kebaikan dan hikmah yang kita ketahui, mungkin kita bisa berbicara dengan kadar pengetahuan kita. Lihatlah bagaimana kekritisan kaum Nabi Musa ketika disuruh untuk menyembelih sapi betina. Akhirnya kaum Nabi Musa pun, Allah perberat spesifikasi dari sapi betina tersebut. Adab Jundi(bawahan) dengan Qiyadahnya Sebagai seorang manusia tentu pernah menjadi pemimpin dan tentunya pernah menjadi bawahan. Murid adalah bawahan dari guru, karena ilmu guru lebih banyak ketimbang murid. Karenanya murid harus menghormati guru. Begitu pun dengan kader dakwah yang menjadi jundi, harus kita pahami bahwa qiyadah itu punya pertimbangan yang lebih besar mashlahatnya maka dari itu instruksinya yang jika kita tidak mengetahui hikmah dan tidak memahami kebaikan yang ada di dalamnya maka seyogyanya sebagai seorang kader dakwah dan jundi, kita harus melaksanakan instruksinya. Wallahu a'lam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun