Siapa yang tak kenal Jokowi? Mungkin pertanyaan ini salah, perlu diganti, ada yang tidak kenal Jokowi?. Mencari dan mendengar nama Jokowi tak perlu susah, silahkan nyalakan TV, mengudara di radio, membaca koran, membuka tabloid atau linimasa dunia maya. Saya berani menjamin, hanya butuh hitungan menit kita bisa melihat sosoknya, mendengar namanya, membaca profilnya.Jangan tanya artikel yang membahas geriknya, riwayat dan autobiografinya, berseliweran di toko buku ternama (silahkan dicek di gramedia kalo tidak percaya).
Wajar saja tampaknya, jokowi memang antitesa pejabat selama ini. Tingkahnya yang jauh dari formal sangat berkesan di hati khayalak. Perilakunya yang jauh dari format birokratis, memutarbalikkan opini pemimpin yang butuh sorak dan tepuk tangan. Kinerjanya juga tidak mengecewakan. Dengan trackrecord sebagai walikota Solo yang berhasil memenangkan pilkada periode kedua dengan kemenangan 90%, membuat namanya diagungkan. Terlebih dengan penataan kemacetan Jakarta, penanganan banjir, dan perbaikan pasar yang sedikit banyak memperlihatkan kemajuan. Tak lupa sikap tegasnya yang mendukung sistem transportasi massal serta pola komunikasi "meja makan" sebagai pamungkas, mencatatkan namanya sebagai Gubernur yang memimpin.
Maka jangan heran namanya terang sebagai calon presiden paling benderang. Bahkan dari rilis beberapa lembaga survei, jika pemilihan presiden dilakukan hari ini, Jokowi mengantongi satu putaran kemenangan. Tak beda dengan rilis analisa percakapan di social media (socmed) oleh Politicawave, share of citizen dan share of awareness kurang lebih menyentuh angka 50% tiap harinya dengan elektabilitas yang jauh meninggalkan nama-nama lain (http://www.politicawave.com/nasional)
Sebelumnya, mari perjelas arti pemimpin dalam arti yang lebih rinci. A.M Mangunharjana dalam "kepemimpinan' menyebut arti pemimpin sebagai tugas pengabdian. Dia ada bukan demi dirinya sendiri melainkan demi orang lain. Ada bukan untuk memuaskan hobi, melainkan demi tercapainya tujuan dan dan cita-cita. Dia adalah orang yang tahu apa yang akan dicapai, mengerti jalan menuju kesana, dapat menunjukkan tujuan dan jalan yang harus ditempuh dan bersedia menempuh jalan itu bersama mereka yang dipimpinnya. Dan secara historis, ideologis, Jokowi sedikit banyak memiliki kriteria ini.
Tapi,tunggu dulu, Indonesia bukan hanya Jakarta dan pemimpin bukan hanya Jokowi. Seperti dilansir Poltracking Institute, yang melakukan monitoring terhadap kandidat potensial dari kepala daerah dan mantan Kepala Daerah di Indonesia, dengan metode metha-analisis, FGD dan wawancara mencuat beberapa nama dengan bobot nilai tinggi (diatas 70%) dibawah Jokowi. Diantaranya, Tri Rismaharini (76,33), Fadel Muhammad (70,38), Syahrul Yasin Limpo (70,31), Isran Noor (70,14), dan Gamawan Fauzi (70,00) (http://poltracking.com/2013/05/riset-kandidat-potensial-dari-daerah/).
Nama-nama ini dianggap memiliki kapasitas dan kapabilitas yang mumpuni sebagai pemimpin masa depan. Jokowi dan Tri Rismaharini dianggap sosok yang mewakili semua variabel yaitu integritas, visioner, leadership skill, intelektualitas/gagasan, aspiratif/responsif, pengalaman prestatif, keberanian memutuskan, komunikasi publik, penerimaan partai dan publik. Ibu Risma (panggilan Tri Rismaharini) memang tidak kalah jauh dengan Jokowi dalam prestasi pembangunan dan pemerintahan. Dia mampu mengambil hati publik Surabaya dengan pola komunikasi yang egaliter, apalagi dengan latar belakang sebagai mantan Kepala Dinas kebersihan dan Pertamanan, dia telah mengubah wajah Kota Pahlawan dengan tampilan yang rindang, sejuk, bersih sebagai perwujudan kota besar.
Namun selain nama-nama diatas,masih ada beberapa nama dalam catatan penulis yang memenuhi kriteria diatas dan tak kalah jauh catatan prestasi yang telah ditorehkan. Ada Bupati Kepulauan Wakatobi, Hugua yang berhasil membawa daerahnya melesat sebagai destinasi internasional. Di daerah Gorontalo ada mantan Bupati Boalemo Iwan Boking, dan juga ada nama Nurdin Abdullah, Bupati Bantaeng, Sulawesi Selatan.
Untuk nama yang terakhir, mungkin gaung namanya belum beresonansi di telinga masyarakat. Tapi prestasinya dan hasil kerjanya sudah jauh dari cukup untuk memasukkan namanya sebagai pemimpin visioner, pemimpin masa depan. Dia mampu mengembangkan Bantaeng jauh dari ekspektasi orang-orang, memperkenalkan Bantaeng di kancah nasional bahkan melesat ke Jepang, Taiwan, Australia, Amerika dan yang teranyar di China.
Kabupaten kecil di jazirah selatan Sulsel ini (hanya memiliki luas daratan 395 km2) berkembang menjadi daerah ekonomi baru yang prestasinya dirasa sulit untuk disaingi daerah berkembang lain. Memanfaatkan jalur akademisinya sebagai lulusan jepang, sekaligus sebagai ketua paguyuban mahasiswa alumni jepang, beliau menjalin kerjasama dengan negara raksasa teknologi ini. Ekspor hasil laut dan hasil bumi menjadi bagian kerjasama juga sekaligus membangun kota kembar dengan Prefektur Yawahakatama. Yang teranyar, kerjasama dengan China dalam pembangunan smelter (fasilitas pengolahan hasil tambang) yang nilainya mencapai 1,5 miliar Dollar US, setara 22 Triliun rupiah. Nilai yang sangat besar dan pencapaian yang sangat inovatif, mengingat daerah ini sebuah kabupaten kecil tanpa daerah tambang sama sekali.
Tidak hanya bidang ekonomi, denganvisi membangun Bantaeng yang maju, mandiri berlandaskan iman dan taqwa, daerah dengan julukan Butta Toa ini mengembangkan program Brigade Siaga Bencana (BSB) yang melayani bidang kesehatan. Tak lupa pelayanan administrasi yang cepat dan akuntabel turut memberi hawa baru dalam sistem pelayanan publik yang cepat, tepat dan merata. Tidak mengherankan dalam putaran kedua pilkada Bantaeng, beliau menorehkan angka 85%. Tidak jauh dari Jokowi.
Sekali lagi, pemimpin tidak hanya ada di Jakarta. Mereka ada di daerah-daerah dan terus bekerja mengemban amanah. Meski jauh dari bising pemberitaan, tanpa ragu meraka memperlihatkan langkah nyata membangun era. Jauh dari euforia media. Meski tentu masih ada variabel yang belum terpenuhi dalam kerjanya, mereka telah memperlihatkan kinerja bagaimana pola dan tata kerja pembangunan dalam dimenasi otonomi daerah. Ya, dalam sistem yang dianggap bobrok, mereka seperti mutiara yang berkilauan, tak peduli dimanapun berada. Maka benarlah apa yang dikatakan Lao Tsu, seorang filsuf china sekaligus pendiri Taoisme, bahwa "To lead people, walk beside them. As for the best leaders, the people do not notice their existence. The next best, the people honor and praise. The next, the people fear and the next, the people hate . When the best leader’s work is done the people say ‘We did it ourselves!’
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H