Mohon tunggu...
siful arifin
siful arifin Mohon Tunggu... -

siful arifin ingin bermanfaat untuk semua manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Wajah” Perempuan Masa Kini

11 April 2013   16:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:22 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Tulisan ini tidak akan membahas wajah perempuan secara fisik. Wajah yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah peran dan posisi perempuan di ruang publik hari ini.

Wajah perempuan hari ini tidak lagi homogen, tapi sebaliknya, heterogen. Jika selama ini perempuan selalu dicitrakan sebagai sosok manusia yang inferior,tertindas dan selalu dikategorikan sebagai masyarakat kelas dua the second class, the second sex, second citizen. Nampaknya itu tak berlaku lagi. Perempuan hari ini sudah bisa mempunyai full power,high class atau perempuan bisa menjadi pengontrol keadaan (situation controller).

Tesis di atas memang tak selamanya benar dan perlu pembuktian. Namun marilah kita lacak “wajah” peran dan posisi perempuan masa kini di republik ini.

Wajah Pertama

Eksistensi perempuan hari ini sudah melampaui zamannya. Jika tidak ingin mengatakan melampaui kodratnya Perempuan bukan lagi sebagai objek tapi sering kali tampil sebagai subjek untuk membentuk eksistensinya sendiri. Banyaknya perempuan yang masuk bui karena berbagai kasus yang dihadapi adalah bukti, bahwa perempuan tidak lagi bersembunyi dikamar belakang, tapi perempuan selalu tampil di teras depan.

Era globalisasi yang semakin identik dengan konsumerisme membuat semuanya berubah. Dan perubahan itu selalu berwajah ganda. Ada yang bersifat membangun (konstruktif) ada juga yang menghancurkan (de-konstruktif).

Adanya perubahan kultur dan struktur dalam politik yang sangat frontal dengan semakin banyaknya politisi perempuan sebenarnya, merupakan angin segar di era demokrasi. Namun sayangnya kesempatan itu tidak digunakan dengan baik. Banyak politisi perempuan yang terjerumus dalam pusaran kasus korupsi.

Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Miranda Goeltom, Nunun Nurbaeti, Hartati Murdaya, Neneng dan Artalyta Suryani adalah sederet perempuan cantik yang menjalani hari-harinya di balik jeruji besi karena kasus korupsi. Inilah wajah perubahan yang bersifat dekonstruktif itu.

Perempuan yang selama ini dicitrakan sebagai sosok yang lembut, ramah dan penuh kasih sayang,dalam sosok perempuan yang disebut di atas berubah menjadi sosok yang kejam, licik, penipu, pembohong, tak berperasaan dan harus diwaspadai. Tentunya, Stigmasisasi ini ada pengecualian. Sifat-sifat yang dimaksud tidak berlaku bagi mereka para perempuan yang masih menjaga kehormatan dan kepribadiannya sebagai sosok wanita yang mulia dan beriman.

Wajah Kedua

Di sisi lain, Liarnya kebebasan dalam sistem demokrasi menjadi pintu masuk bagi siapa saja untuk mementaskan diri di bursa kehidupan. Termasuk perempuan. Perempuan yang bertahun-tahun selalu dikucilkan dan direndahkan berusaha untuk keluar dari jaring kekakuan.

Feminisme adalah wadah perjuangan dan gerakan perempuan yang memperjuangkan agar perempuan mendapatkan peran dan posisi yang sama dengan laki-laki dalam pentas sosial-kemasyarakatan. Nampaknya, apa yang dicita-citakan oleh kaum feminis ini perlahan-lahan berhasil merobek pertahanan tradisi yang selama ini selalu mengubur potensi perempuan.

Satu-persatu perempuan Indonesia tampil kedepan untuk menjadi pemimpin. Megawati soekarno Putri, Yenny Wahid, Puan Maharani, Khofifah Indar Prawansa dan masih banyak lagi yang lainnya adalah sosok perempuan tangguh yang menghiasi pentas perpolitikan di negeri ini. Mereka berusaha menerobos pentas politik patriarkal yang selama ini dikuasai oleh kaum laki-laki. Inilah dampak postif-konstruktif dari perubahan yang terjadi di era globalisasi ini.

Kehadiran mereka di pentas politik perlu diapresiasi. Semangat kartini untuk berkreasi melayani, mengabdi pada negeri yang tumbuh dalam jiwa mereka perlu diwarisi oleh para perempuan di negeri ini.

Wajah Ketiga

Di tengah banyaknya perempuan kuat, pemberani dan medioker di atas masih ada perempuan-perempuan lemah yang perlu diberdayakan. Fani Octora misalnya, adalah wajah lain perempuan di satu sisi.

Fani Octora, perempuan cantik nan lugu itu terjebak dalam tipu rayu Aceng Fikri, mantan bupati Garut. Sang mantan bupati menikahinya secara sirri. Ironisnya, pernikahan itu hanya berlangsung 4 hari dan yang lebih parah lagi sang istri diceraikan lewat sms. Inilah perlakuan laki-laki biadab yang tak punya hati nurani. Ingat pak bupati, Wanita itu mulia dan harus dimuliakan. Dari rahimnya kita semua dilahirkan.

Sejatinya, perempuan tidak hanya pemuas nafsu laki-laki dan tidak hanya sebatas sebagai penggembira (cheerleader). Ia adalah makhluk tuhan yang suci, tercipta untuk berkreasi di seantero bumi. Ia sama dengan laki-laki.

Bagi bangsa ini, perempuan adalah potret generasi masa depan. Dalam dekapan kasih sayangnya para generasi bangsa ini diasuh, dididik dan dibentuk jati dirinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya perempuan-perempuan di negeri ini diperlakukan dan ditempatkan dalam posisi yang layak dan terhormat. Tidak boleh ada lagi pelecehan, penindasan, kekerasan atau apapun namanya yang sifatnya mendiskreditkan.

Dari ketiga wajah perempuan di atas. Tipe pertama dan kedua hanya dihuni segelintir orangNamun demikian, walaupun jumlahnya lebih sedikit itulah representasi wajah perempuan yang tampil kepermukaan dan selalu renyah untuk menjadi topik perbincangan. Ini semua tak lepas dari peran media yang merupakan ruh di era informasi seperti sekarang ini.

Sementara, wajah perempuan jenis ketiga cenderung disembunyikan. Walaupun jumlahnya sangat banyak tapi kasus seperti yang dialami Fani Octora di atas hanya sekilas menghiasi dinding-dinding pemberitaan. Sesudah itu hilang. Padahal jika dicermati, kasus-kasus penistaan terhadap kaum perempuan sangat banyak sekali jumlahnya. Hanya saja, kita tidak terlalu peka terhadap keadaan. Atau bagi media, kasus-kasus pelecehan yang dialami oleh perempuan-perempuan desa lainnya tidak begitu marketable untuk diberitakan. Kecuali itu, melibatkan aktor empunya jabatan.

Sebuah Kesimpulan

Dari paparan singkat di atas, maka tesis yang diajukan penulis di awal tulisan ini tak sepenuhnya benar. Di satu sisi tesis itu berlaku untuk sebagian kalangan, namun di sisi lain tesis yang dimaksud rapuh untuk menyimpulkan wajah perempuan Indonesia masa kini secara keseluruhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun