Mohon tunggu...
Saiful Anwar
Saiful Anwar Mohon Tunggu... Dosen - Cinta, Kasih Sayang, Pengorbanan

Founder Mieta Institute

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Participatory Action Research: Kritik Model Pengabdian Konvensional

16 September 2020   15:34 Diperbarui: 16 September 2020   15:37 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perguruan tinggi tentu memiliki tugas tri dharma yang tidak bisa dikesampingkan dari fitrah keberadaannya yaitu Pengabdian Kepada Masyarakat. Tentu pengabdian yang dilakukan harus dapat menyelesaikan permasalahan ketidakadilan yang sering terjadi di dalam masyarakat. Jika Perguruan Tinggi hanya mampu memproduksi laporan  tentu tidak memadai dengan konteks luhur pengabdian kepada masyarakat. Seringkali banyak pengabdian yang hanya menyisakan laporan tanpa hasil yang relevan dengan kehidupan masyarakat yang termarjinalkan.


Peneliti harus hidup bersama masyarakat sehingga hasil pengabdian dapat menyelesaikan persoalan serius warga marjinal. Jangan sampai ada perspektif hanya sebagai tempat uji coba akan tetapi harus ada unsur kemaslahatan bagi umat. Salah satu metode pengabdian yang tepat menyelesaikan permasalahan sosial keagamaan masyarakat yaitu Participatory Action Research (PAR). PAR dapat menjadi salah satu alternative model pengabdian yang dapat mencerdaskan masyarakat dan mendorong perubahan sosial.


Mengapa demikian. PAR merupakan tindakan sosial/aksi nyata sehingga persoalan warga marjinal diselesaikan bersama dengan peneliti. Peneliti hidup bersama dengan warga marjinal (tidak ada kasta antara peneliti dan warga) dan menempatkan persoalan sebagai isu utama yang harus diselesaikan. Bukan menempatkan produksi jurnal/artikel/policy brief sebagai isu utama pengabdian.


Revolusi 4.0 bahkan sudah akan beranjak kepada Society 5.0 tentu tidak akan lepas dari tatanan ekonomi baru yang telah menyita perhatian dunia. Berkaca dari film A New Rules of the world karya John Pilger yang mengisahkan Indonesia yang tak pernah kunjung keluar dari imperialism. Bahkan secara gamblang menjelaskan imperialism baru bertemyu dengan imperialism lama. Bahkan Sastrawan termasyhur Pramoedya mengungkapkan dengan nada prihatin “Indonesia dihisap selama beratus-ratus tahun untuk kepentingan Barat. Globalisasi membawa pada kesunyatan bahwa yang kaya akan bertambah kaya dan yang miskin akan bertambah miskin.


Film tersebut mempertontonkan ketidakadilan-ketidakdilan yang mau tidak mau diterima oleh warga marjinal yaitu kemiskinan dan upah murah. Kembali pada pengabdian, seharusnya peneliti dan perguruan tinggi dapat menjembatani persoalan ketidakadilan tersebut. Dengan hidup bersama masyarakat dapat membuka hati sehingga tujuan utama pengabdian bukanlah riset yang menghasilkan artikel yang disitasi oleh akademisi akan tetapi wujud karya yang menumpas ketidakadilan yang dialami oleh warga-warga termarjinalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun