"Saya foto dulu ya mas.."
Belum sempat menjawab apalagi berpose, mas-mas kurir JNE itu sudah memasukkan ponselnya ke saku jaket kemudian buru-buru menyalakan sepeda motornya, dan grenggg.., tiba-tiba saja dia sudah melesat beberapa meter untuk melanjutkan tugasnya keliling mengantar paket.
"Terima kasih mas.." teriakku kemudian, lalu dijawab olehnya dengan suara klakson.
Sudah hampir satu tahun mas-mas kurir JNE itu sering datang ke tempatku, selain mengantar paket milikku sendiri, ia juga mengantar paket tetangga atau teman yang memakai alamatku untuk pengiriman barang. Alasannya sederhana, karena aku sudah hampir bisa dipastikan selalu di rumah setiap hari, dan alamatku mudah ditemukan.
10 tahun lebih, sejak tahun 2009 membuka jasa pengetikan, desain, dan percetakan di kampung membuatku harus selalu siap siaga di kios kecil samping rumah. Buka jam 8 pagi dan tutup jam 8 malam. Mulai melayani mereka yang mengetikkan undangan hajatan, surat perjanjian jual beli, surat lamaran pekerjaan, pas foto, merk untuk produk-produk UMKM, sampai melayani anak-anak sekolah atau kuliahan mencetak keperluan tugas seperti kliping atau makalah.
Setiap hari menatap layar monitor dan memencet-mencet keyboard pastilah merasa jenuh. Apalagi bila sepi job sampai lebih dari satu bulan, rasanya ingin alih profesi saja menggeluti usaha lain yang secara finansial lebih menjanjikan. Tapi berat rasanya meninggalkan konsumen yang sudah bertahun-tahun memakai jasaku. Ada yang sejak masih SMP cekikak cekikik bersama teman-temannya di kantor kecilku, setelah lulus kemudian mengetikkan surat lamaran pekerjaan, dan sekarang sudah beranjak dewasa, datang lagi memilih contoh undangan pernikahan bersama calon suaminya. Yah, rupanya aku sudah menjadi saksi perjalanan banyak anak-anak.
Menjadi satu-satunya jasa serba mau diminta buat apa saja di kampung sungguh tidak mudah rasanya. Ingin dikonsep profesional seperti di kota yang memakai sistem minimal order tidak mungkin, karena hampir semua konsumen adalah pelaku usaha mikro. Ketika sedang tutup karena ada pekerjaan sampingan atau urusan lain yang penting, tiba-tiba datang konsumen yang minta dilayani membuat sesuatu yang sifatnya mendesak, mau menolak tidak tega.
Perang batin seringkali sekonyong-konyong menghampiri, antara ingin tetap menelateni pekerjaan ini selamanya atau menjajal peruntungan lain. Bila tetap aku pertahankan, secara finansial rasanya tidak menjamin karena target pasar di kampung jelas terbatas. Semisal aku tinggalkan merasa berat karena banyak pelanggan yang sudah tergantung pada jasaku. Sejauh ini aku belum melihat ada jasa serupa denganku baik dalam satu kampung maupun di kampung sebelah. Yah, tentu saja tidak akan ada yang tertarik ngopeni uang seribu dua ribu, njelimet mengetik beberapa jam bahkan berhari-hari untuk upah yang tidak banyak, atau mendesain brosur selama berjam-jam hanya untuk dicetak beberapa lembar saja. Kalau di kota beda lagi ceritanya, pasar lebih luas dan harga bisa dibuat selangit dengan sistem minimal order.
"solusinya bagaimana pak? Di satu sisi saya ingin lebih serius menulis atau membuat konten, tapi di sisi lain waktu saya tersita melayani konsumen jasa pengetikan dan percetakanku". Tanyaku pada pak Budi, ketika curhat.
" Saya juga ingin berkembang agar lebih mapan secara finansial pak, tapi tidak tega menolak konsumen yang ingin dilayani setiap saat, dan upah yang kudapat tidaklah banyak, jauh dari kata cukup untuk kebutuhan hidup". lanjutku
" Solusinya ya.. kau niati untuk memudahkan urusan orang lain, menjadi bagian dari perputaran rahmat, berbagi kebahagiaan dengan sesama" jawab pak Budi, penulis senior yang menjadi pembimbingku menulis.