Pancasila secara historis merupakan sintesis dari ragam harapan, keyakinan dan paham yang berkembang di negeri ini. Pancasila menjadi jalan tengah bagi segala hal yang menjadi perbedaan dan masalah dalam kehidupan bangsa. Ide-ide hak asasi dan kemanusiaan sudah ada dalam Pancasila. Pun sosialisme yang merupakan paham kepentingan bersama dan individualisme yang merupakan paham kepentingan hak perseorangan telah diakomodir oleh Pancasila, bedanya paham sosialis dan individualis dalam Pancasila dibatasi oleh sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Berbeda dengan negara-negara sosialis lainnya ketika tidak dibatasi akan melahirkan paham komunisme yang sarat akan materialisme, anti ketuhanan. Serta negara-negara Individualis lainnya yang pada nantinya menurut Yuval Noah Harari dalam bukunya "Homo Deus" melahirkan salah satu paham yakni kapitalisme, hanya mementingkan kepentingan perseorangan dan kelompok.
Dua ormas Islam terbesar di Indonesia menyepakati bahwa Pancasila sudah menjadi keputusan final sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Muhammadiyah menyebut Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah (negara konsensus dan kesaksian) sedangkan Nahdlatul Ulama memandang Pancasila sebagai Mu'ahadah Wathaniyah (kesepakatan kebangsaan). Dua ormas yang didirikan oleh tokoh yang senasab baik secara darah dan keilmuan ini menganggap Pancasila sebagai negara dengan konsensus nasional dan tempat persaksian untuk menjadi negeri yang aman dan damai menuju kehidupan yang adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridho Allah SWT.
Tulisan pendek ini mengulas salah satu nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila seperti yang telah disebutkan di awal yakni nilai-nilai yang terdapat dalam paham sosialisme tentunya dengan batasan sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Sosialisme yang berdasarkan pada keagamaan dalam konteks ini ditinjau dalam perspektif agama Islam.
Sosialisme Islam
HOS Tjokroaminoto dalam bukunya "Islam dan Sosialisme" menuturkan bahwa sosialisme berakar dari bahasa latin "socius" yang artinya teman, kemudian diistilahkan sebagai cara hidup dalam perjalinan persahabatan, satu untuk semua dan semua untuk satu. Sosialisme dalam perspektif Islam memandang antar sesama manusia mempunyai derajat yang sama baik sesama umat Islam mau pun pemeluk agama lain. Paham inilah yang diderivasikan dan termaktub dalam UUD 1945 bahwa semua warga negara sama kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan.
Lebih lanjut menurut Tjokroaminoto, sosialisme Islam harus dibangun dengan tiga elemen yakni kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Merdeka dari segala bentuk perbudakan dan penindasan, memiliki rasa persamaan nasib dan sepenanggungan serta memiliki ikatan persaudaran baik saudara dalam iman mau pun saudara dalam kemanusiaan. Nilai dasar sosialisme Islam ini sejatinya telah dipraktekkan oleh Rasulullah Muhammad SAW dalam peristiwa Isra' Mi'raj khususnya dalam nilai-nilai persamaan-egaliter.
Peristiwa Isra' Mi'raj
Isra' Mi'raj diyakini oleh umat Islam sebagai salah satu mu'jizat Rasulullah. Sebagai sebuah mu'jizat tentunya tidak bisa dinalar oleh logika dan terjadi hanya sekali karena hanya dikhususkan oleh pemilik mu'jizat itu sendiri. Peristiwa Isra' Mi'raj terjadi pada bulan Rajab, dimana pada tahun itu disebut sebagai amul hazni, tahun-tahun kesedihan. Banyaknya peristiwa yang dialami oleh Rasulullah seperti meninggalnya paman dan istri Rasulullah, dilempari tanah yang mengenai kepala Rasulullah dan puncaknya pada saat mendapatkan penolakan dakwah dari penduduk Thaif yang pada saat itu Rasulullah diusir hingga kakinya berdarah akibat lemparan batu. Atas kesabaran Rasulullah menghadapi berbagai cobaan tersebut Allah memperjalankannya dari Makkah ke Palestina dan mengangkatnya naik ke langit.
Syaikh Acep Hilman Miftahurojak, guru sekaligus mursyid dari penulis dalam sebuah nasehatnya menyampaikan bahwa  apa pun yang terjadi pada diri Rasulullah baik mu'jizatnya, kebahagiaannya dan kesedihannya mau pun kemenangan dan kekalahannya dalam peperangan, semua ujung-ujungnya bagaimana agar umatnya semakin dekat kepada Allah, karena tujuan akhir dari seorang hamba adalah bertemu dengan Dzat Allah.
Disebutkan dalam sebuah kitab Syarah Maulid Barzanji yang ditulis oleh Syaikh Nawawi Al-Bantani bahwa setelah mencapai langit ketujuh dan bertemu dengan Nabi Ibrahim as, beliau dinaikkan lagi ke Sidratul Muntaha. Dari sana Rasulullah dinaikkan lagi hingga mendapati sebuah tempat dimana beliau dapat mendengar deritan pena (al-Qalam) yang bergerak menulis takdir. Rasulullah dinaikkan terus hingga ke maqam tersingkapnya tirai (kasyf al-ghitha) dan berjumpa dengan Dzat Allah. Inilah mu'jizat Rasulullah yang khusus diberikan Allah kepadanya. Sekali lagi, mu'jizat adalah sesuatu yang tidak bisa dinalar oleh akal, apabila mampu dinalar maka batallah kemu'jizatannya.
Egaliterisme Rasulullah SAW
Perjumpaan Rasulullah dengan Dzat Allah merupakan puncak dari segala kenikmatan. Seseorang yang berada dalam kenikmatan biasanya akan sulit lagi meninggalkan kenikmatan tersebut, salah satu contohnya adalah Nabi Idris as. Tanpa mengurangi kemuliaan Nabi Idris as, dikisahkan dalam sebuah kitab Durratun Nashihin pada bab 37 tentang Kedahsyatan Maut, setelah menyaksikan kenikmatan surga ditemani oleh malaikat maut, beliau secara sengaja ingin kembali ke surga dengan dalih sendalnya tertinggal. Setelah masuk ke surga, Nabi Idris pun enggan keluar, sejak saat itu Nabi Idris menjadi penghuni surga.
Berbeda dengan Rasulullah yang berjumpa dengan pencipta surga, berjumpa dengan puncak segala kenikmatan, bahkan dipertemukan langsung dengan Dzat Allah namun masih ingin kembali ke bumi bahkan membawa cindera mata berupa perintah sholat sebanyak lima waktu yang tak pernah diberikan oleh nabi-nabi dan rasul-rasul lainnya. Disinilah letak sifat egaliter  yang dimiliki Rasulullah, rasa persamaan nasib sebagai hamba dan rasa sepenanggungan penderitaan (bahkan lebih) ditunjukkan sebagai kecintaannya kepada umatnya.