Mohon tunggu...
saiful hakam
saiful hakam Mohon Tunggu... -

seorang yang peragu

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karanggayam dan Perancis

7 Februari 2011   09:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:49 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah, teman karib saya adalah alumni mahasiswa  jurusan Sastra Roman (Bahasa Prancis) di kampus bulaksumur. Kami berteman bukan karena punya kesamaan idiologi.  Tapi kami berteman karena kami punya pandangan hidup  Pancasilais. Ketika saya bercerita apapun ia mendengarkan. Meskipun tidak setuju. Demikian pula halnya, ketika ia bercerita apapun, saya mendengarkan meskipun tidak setuju. Tapi, kami sama-sama saling mendengarkan.

Kami mulai berteman sejak tahun 2001. Kala itu kami sama-sama kuliah di kampus bulaksumur Jalan nusantara 1. Sejak, berkenalan, kami sering diskusi tentang bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Melayu Tionghoa, dan saya sering diajak ke Gereja Kota Baru di Jogja. Untuk Ibadat. Lalu saya tiba-tiba mendapat panggilan untuk kerja di Kantor Penelitian Pemerintah Republik. Dan, ia mengucapkan selamat. Tapi, saya tidak tertarik. Dan, ketika saya bercerita kepadanya bahwa saya tak tahan di Jakarta. Ia menanggapi dengan kritis dan fatalistik: jadilah office boy.

Ia dua tahun lebih awal datang ke Jogja. Tahun 1998.  Jadi ia sudah tinggal di jogja dan jadi roh gentayangan selama 10 tahun lebih. Namun, yang paling hebat dari dia adalah konsisten. Ia konsisten dengan pandangannya. Bahwa hidup adalah untuk berfikir. Bahwa uang 200 ribu rupiah cukup untuk hidup sebulan. Dan bahwa ia berpendapat bahwa saya tidak perlu ke Belanda. Katanya sia-sia. Ketika pulang dari Dinas tahunan ke Singapura, saya membawakan oleh-oleh 10 kaleng sarden ABC. Ia membalas dengan komentar pendek.  Terima kasih kawan .hahahahaha.

Setelah lulus kuliah dari sastra roman, dengan menulis skripsi tentang linguistik dan kata bahasa jawa, tahun 2007, ia mulailah bekerja sebagai penerjemah merdeka (independent). Pekerjaan ini telah ia geluti sejak kuliah s1. Mula-mula project diterima dari seorang kawan yang bapaknya punya LSM terkenal di Indonesia. Per lembar terjemahan dihargai 5000 rupiah. Kadang, kawan saya yang dapat project. Lalu, di subkontrakkan ke dia. Misal project dengan nilai 1 juta rupiah.  Oleh kawan saya project ini di subkontrakkan ke dia dengan pembagian 50% untuk dia. maksudnya 500 ribu. Ia senang.

Ia sempat kuliah S2 dalam bidang Culture Studies. Ia mendapat beasiswa SPP saja. Uang makan dan cost living tak ia dapatkan.  Untuk menunjang hidup ia rutin dan rajin menerjemahkan buku. Kadang dengan inisiatif sendiri ia menerjemahkan buku ilmiah yang sangat berat. Tidak main-main, bukan buku ilmiah/kuliah bahasa Inggris, melainkan Perancis. Buku Perancis yang terjemahkan antara lain Roland Barthes . Penerjemahan adalah betul-betul inisiatif ia sendiri. Penerjemahan ia lakukan di sebuah bilik kos ukuran 3x3 dari sebuah rumah tua, di dusun karanggayam, Depok Sleman. Rumah tua tempat ia kost berisi dua belas kamar dan satu pendopo. Upah yang ia dapatkan dari menerjemahkan dua buku itu sekitar 4 juta rupiah. Kadang, ia mendapatkan order terjemahan dari kawan yang bekerja di LSM Agraria di Bogor. Dan kadang-kdang ia mendapatkan pula order terjemahan dari mahasiswa s2 dan s3. Per lembar 10.000.

Karena antusias dengan bahasa Prancis, ilmuwan Prancis, dan karya ilmiah Prancis, ia pun mencoba melamar ke satu seksi penerjemahan kajian ilmuwan Prancis ke dalam bahasa Indonesia, Kedutaan Besar Prancis. Ditolak. Namun, beberapa tahun kemudian, setelah berhasil menerjemahkan karya ilmiah perancis ke dalam bahasa Indonesia, ia dikontak oleh seksi penerjemahan dan ditawari project penerjemahan. Namun, anehnya, ia tidak diundang ke Jakarta. Ia tetap bekerja di bilik kecilnya di Jogja. Kadang jika saya berkunjung untuk sekedar bual-bual, ia di tengah2 perbualan mohon diri sejenak untuk mengetik dan menerjemahkan. Saya dan kawan-kawan, melanjutkan pembicaraan di sebuah meja kecil dengan tiga kursi, merokok kretek, dan minum kopi manis.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun