Mohon tunggu...
Saiful Falah
Saiful Falah Mohon Tunggu... -

Mencari berkah di pesantren

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terjawab Sudah (Tanggapan Mengenang Sisi Humanis Lee Kuan Yew)

26 Maret 2015   08:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:00 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepulang dari Singapura, ada sesuatu yang masih mengganjal. Hingga sebelum tulisan ini dipublish pun masih belum terpecahkan. Ada sedikit penyesalan. Dalam benak berkata, mengapa tidak saya tanya. Seharusnya pertanyaan itu dilontarkan selama saya berada di sana. Tapi, jarak sudah memisahkan. Tidak elok juga bila saya kembali ke negara tetangga hanya untuk satu pertanyaan itu.

Dan tanpa sengaja jawaban saya dapat. Setelah membuka kompasiana.

Selama di Singapura saya sering melihat lansia di pusat keramaian. Tentu bukan hal aneh. Di Indonesia pun sering kita jumpai. Bahkan di negara yang kaya ini, para lansia duduk berbaris di pinggir jalan, sepanjang jembatan penyeberangan, atau bahkan berjalan menyisiri antrian mobil di lampu merah. Mereka sangat identik dengan wadah penadah rupiah. Lansia Singapura tidak mengemis. Mereka berjibaku dengan sapu, kain pel, kain lap dan tempat sampah. Mereka bekerja.

Pertama kali saya menjumpai lansia sedang menyapu di pinggir jalan Geylang. Di tengah pagi yang cerah, wanita yang taksiran saya sudah lebih delapan puluh tahun mengumpulkan serakan daun kering. Dia memakai seragam warna biru muda berpadu putih. Meski tangannya sudah tidak sekuat anak muda, semangat bekerja masih terlihat menyala. Lansia lain saya jumpai di foodcourt Bugis Junction. Wanita ini sudah bungkuk badannya. Setiap kali pelanggan meninggalkan meja, dengan segera dia rapihkan.

Waktu itu saya bertanya-tanya. Mengapa orang setua itu masih dipekerjakan? Singapura ini negara maju, untuk membiayai hidup lansia tentu mampu.

Akhirnya jawaban itu ada setelah kematian Lee Kuan Yew. Ternyata ihwal pekerja lansia beradasar kebijakan mantan Perdana Menteri Singapura yang berkuasa selama tiga dekade. Dan kebijakan itu muncul berdasar kisah nyata warga Singapura. Semua itu saya dapat dari tulisan Hanna Candra di Kompasiana. http://luar-negeri.kompasiana.com/2015/03/25/mengenang-sisi-humanis-sosok-lee-kuan-yew--732895.html

Menurut Hanna kebijakan mempekerjakan orang tua merupakan sisi humanis PM Lee. Saya setuju. Orang tua yang bekerja mendapat penghasilan dari keirngat sendiri. Dia tentu tidak bergantung kepada orang lain. Penghasilan yang didapat membuat dia tetap berdiri sama tinggi dengan anak muda yang masih kuat bekerja. Orang tua dengan penghasilan sendiri tidak bisa dipandang sebelah mata. Tanpa belas kasihan pun dia masih bisa hidup. Tanpa uluran tangan pun dia masih bisa makan.

Bekerja bagi lansia membuat mereka berdaya. Imbasnya adalah kesehatan yang terus terjaga. Badan yang bergerak tentu lebih bugar dari pada yang diam saja. Ini pun dibuktikan dengan hasil penelitian. Hanna menulis berdasarkan CIA World factbook, Singapura menempati peringkat ke 6 untuk ukuran harapan hidup. Ini berarti orang Singapura berumur lebih panjang dari kebanyakan orang Indonesia. Menurut catatan itu Indonesia ada di peringkat 137.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun