Mohon tunggu...
Saiful Falah
Saiful Falah Mohon Tunggu... -

Mencari berkah di pesantren

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Ibu Korupsi

23 Desember 2013   08:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Momentum Hari Ibu tiba pada saat yang sulit. Rapat gelar perkara di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 12 bulan 12 tahun 2013 menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa telah cukup bukti untuk menetapkan Ratu Atut Chosiyah sebagai tersangka terkait pengadaan alat kesehatan di Provinsi Banten. Gubernur wanita pertama di Indonesia tersebut harus menerima kenyataan dijemput KPK beberapa hari kemudian. Sang ikon provinsi di ujung Barat pulau Jawa pun harus mendekam di rutan Pondok Bambu.

Pemberitaan tentang kasus Atut pun menguasai halaman-halaman media cetak pun online. Dinasti Atut dinyatakan korup. Wanita perkasa itu harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di hadapan pengadilan. Orang banyak berkomentar, "ini akhir dari dinasti Atut di Privinsi Banten".

Demikian masyarakat disuguhi kabar duka. Seorang ibu harus mendekam dibalik jeruji terkait kasus korupsi. Sebenarnya ini bukan yang pertama, telah banyak ibu-ibu lain yang mendahului Ratu Atut. Sebut saja Miranda Gultom, mantan Deputi Senior Bank Indonesia, Siti Hartati Murdaya, pengusaha wanita yang masuk dalam jajaran Dewan Pembina Partai Demokrat, Angelina Sondakh, mantan miss Indonesia yang menjadi anggota dewan dari partai Demokrat dan lain-lain. Kasus Atut menjadi sedemikian heboh karena dia adalah "Ratu" di provinsinya.

Mengapa ibu korupsi? pertanyaan yang mirip dengan, Mengapa bapak korupsi? karena yang korupsi bukan hanya ibu, bahkan bapak lebih banyak korupsinya. Tapi ini tetap harus dijawab. Dan tentunya jawabannya tidak boleh sama. Ibu dan bapak itu beda. Wanita bukan laki-laki dan laki-laki bukan wanita.

Ketika seorang bapak korupsi bisa jadi dia terpengaruh oleh tuntutan kebutuhan hidup yang disodorkan istrinya. Posisi suami dalam rumah tangga adalah seorang kepala yang berkewajiban mencarikan nafkah untuk semua anggota. Semua kebutuhan anggota keluarga dari mulai sandang, papan dan juga pangan harus dipenuhi bapak. Maka bapak harus berjuang sekuat tenaga agar kebutuhan tersebut bisa dicukupi. Ketika kebutuhan hidup demikian besar padahal pemasukan normal tidak besar, maka celah penyelewengan terbuka. Bapak tergiur untuk korupsi.

Bagaimana dengan ibu? Dalam rumah tangga ibu tidak diberi tanggung jawab sebagai pencari nafkah. Bagi seorang ibu hukum mencari uang adalah mubah muallakoh, boleh dengan syarat mendapat izin dari suami. Ketika suami tidak memberikan izin kepada istrinya untuk bekerja maka mencari nafkah bagi istri akan menjadi haram. Istri harus ikut suami.

Zaman telah berubah, syariah sudah dianggap kolot. Masyarakat lebih tertarik berbicara berdasarkan Hak Asasi Manusia (HAM) dari pada larangan yang ada dalam agama. Melalui gerbong emansipasi wanita, hak ibu sama seperti hak bapak. Bapak tidak boleh melarang ibu mengaktulisasikan diri. Ketika ibu ingin bekerja, maka bapak hanya boleh mengatakan 'iya'. Semangat emansipasi menular kepada semua kalangan, baik wanita perkotaan maupun pedesaan. Wanita yang hanya tinggal di rumah mengurus anaknya dianggap kuno. Wanita tersebut termasuk kelompok tidak berdaya dan mudah diperdaya. Wanita modern harus bekerja. Dengan bekerja wanita bisa memiliki positional bergain yang sederajat dengan laki-laki.

Wanita menjadi lurah, menjadi bupati, menjadi gubernur, menjadi presiden, menjadi anggota dewan, menjadi apa saja yang dilakukan laki-laki seperti menjadi sopir bus, kernet. montir, tukang ojek bahkan tukang parkir. Semuanya bermuara pada satu titik UUD, ujung-ujungnya duit.

Ketika destinasi akhir dari sebuah ritual bernama profesi adalah duit maka tidak pria ataupun wanita akan masuk pada pusaran wahn, Nabi mengartikannya sebagai 'Cinta dunia dan takut mati".

Mengapa ibu korupsi? karena ibu sudah tidak beda dengan bapak. Emansipasi menyeret ibu kepada kesimpulan bahwa kalau bapak boleh ibu juga boleh. Kalau bapak korupsi, masa ibu tidak. Kenyataan ini sangat pahit. Wanita yang digambarkan sedemikian lembut - Bahkan di dalam perutnya Allah menitipkan 'rahim', sebuah istilah yang berasal dari asmaul husna 'Ar-Rahim' Maha Penyayang - berubah menjadi keras. Kasih sayang mulai hilang karena ibu sebagai sumbernya sudah mulai melupakan potensi terbesar yang ada dalam dirinya.

Sebuah fenomena akan menghadirkan fenomena baru. Kegandrungan wanita dalam bekerja adalah fenomena kehidupan modern yang melahirkan fenomena susu formula. Ibu sudah mulai enggan menyusui anaknya. Ibu sudah mulai lelah mengurusi anaknya. Ibu sudah mulai bosan melahirkan generasi penerus. Tidak hanya di kota kita dapat dengan mudah menyaksikan bayi-bayi yang digendong bukan oleh ibunya. Anak-anak tanpa dosa terkulai lemas dipangkuan pengasuhnya. Kemana ibunya? si ibu sibuk mengumpulkan rupiah demi rupiah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun