Andai kuat, saya bertekad jadi petani-asli. Dialah yang mengerjakan sendiri sawahnya. Mulai dari mencangkul, menanam, menyirami, memanen, dan menikmati hasil jerih payah olah sawahnya berupa padi. Mengapa saya berbulat hati seperti itu?
Paling tidak ada tiga alasan. Pertama, karena petani-asli andilnya besar bagi kelangsungan hidup bangsanya. Kita bisa hidup saat ini salah berkat pasokan makanan yang dihasilkan oleh petani-asli. Coba bayangkan kalau mereka mogok bertani, maka dijamin kelangsungan pasokan makanan, khususnya beras, akan tersendat, bahkan terhenti. Belum lagi jika aksi mogok itu disolidaritasi konco tani lainnya, misalnya, nelayan dan peladang. Maka, lengkaplah kelangkaan makanan pokok, lauk pauk, dan sayuran yang sangat kita butuhkan.
Kedua, karena bertani sangat dekat dengan Tuhan. Petani-asli sangat intim dengan-Nya. Dalam proses bertani, petani-asli itu pasti mengandalkan budi baik dan campur tangan-Nya. Misalnya, kesuburan tanah yang terus terjaga, cuaca yang bersahabat, pasokan air yang mengalir dengan cukup untuk ngelep sawah. Minimal itulah kemurahan Tuhan yang diemis-emis petani-asli tiap hari. Nah, orang yang berkarakter seperti petani-asli ini semakin khusyuk bermunajat kepada Tuhan. Sungguh luar biasa!
Ketiga, ini yang paling saya iri dari petani, karena petani selalu memperoleh doa keberkahan rezeki dari semua orang yang memakan hasil panennya. Bukankah tiap sebelum makan, khususnya umat Islam, senantiasa berdoa, "Allaahumma baarik lanaa fii maa razaqtanaa wa qinaa 'adzaaban naar (Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada kami di dalam segala rezeki yang Engkau anugerahkan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka). Orang yang akan makan tidak hanya mendoakan dirinya, tapi siapa saja yang menyediakan makanan tersebut. Mulai dari awal bercocok tanam hingga makanan siap disantap. Itu berarti, petani juga menuai buah dari doa tersebut karena petanilah yang mengolah tanah, menanam, memelihara, dan memanen padi. Kemudian, dia selepkan sehingga menjadi beras. Petanilah pihak pertama yang menerima keberkahan doa dari semua orang yang memakan nasi. Baru setelah itu pedagang beras, pemasak beras, dan penyaji makanan di meja makan.
Jadi, betapa besar keuntungan petani-asli yang sifatnya sangat spiritual, yaitu dia tidak hanya memanen padi, tapi juga memanen barokah dari doa yang diucapkan oleh pemakan hasil pertaniannya. Siapa yang tidak tergiur terhadap capital gain yang sifatnya sangat religius itu.
Nah, dari ketiga alasan yang saya iri tersebut, maka sudah saatnya sekarang kita semua, khususnya pejabat yang terkait dengan masalah pertanian, harus melirikkan matanya kembali kepada petani-asli. Perhatian, bimbingan, penyuluhan, pelayanan, dan perlindungan terhadap petani-asli harus diberikan dengan konsentrasi sepenuh hati. Bahkan, harus disertai dengan keikhlasan yang total.
Maka, tidak boleh lagi ada penggusuran tanah sawah produktif demi perumahan atau pendirian pabrik. Bukankah masih ada tanah berkapur, tanah keras, dan sebagainya untuk itu. Bukan malah menenggelamkan tanah subur seperti sawah. Juga jangan mengganggu petani-asli dengan kelangkaan pupuk. Praktik keseharian sangat memiriskan hati karena itu justru merajalela menindas petani-asli saat mereka sedang mengawali proses tanam. Padahal, di saat itulah, mereka sedang butuh-butuhnya pada pupuk. Duh, kasihan sekali petani-asli!
Dari petani-asli pun sudah saatnya memberdayakan diri. Tidak perlu terlalu bergantung pada pemerintah. Salah satu caranya adalah ikut aktif dalam komunitas khusus petani-asli. Dulu, ada acara "Kelompen Capir" yang sering ditayangkan TVRI. Sekarang, hal-hal semacam itu kok tak terdengar lagi. Sayang sekali. Maka, tugas petani-aslilah untuk menghidupkannya demi memproteksi diri dari gangguan siapa pun dan apa pun selama menjalankan profesi mulianya itu.
Akhirnya, mari kita semua membungkukkan badan di hadapan petani-asli atas jasanya menyediakan pasokan makanan yang kita santap sehari-hari. Mari pula kita amalkan doa sebelum makan agar petani-asli juga kecipratan barokahnya. Kita doakan pula semoga mereka tetap sudi berprofesi sebagai petani-asli sampai mati seperti cita-cita saya dalam hati. Amin.
Hidup petani-asli!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H