Setelah memberikan les hari Jumat malam itu, mata saya tergerak menatap kalkulator di pojok kanan meja. Hati saya pun membujuk jemari tangan kanan untuk memencet-mencet angka kalkulator demi menuruti keingian hati untuk menghitung denyut jantung.
Karena belum tahu persis jumlah denyut jantung, saya googling di internet. Saya temukan angka 60 hingga 100 kali denyut per menit untuk jantung manusia dewasa. Untuk memudahkan menghitung, saya pilih 60. Angka ini persis seperti jumlah denyut jantung atlet dalam kondisi baik. Angka ini pula yang mengindikasikan setiap detik terjadi satu denyut jantung pada olahragawan tersebut
Beranjak dari angka 60 denyut per menit itu, mulailah saya menghitung denyut jantung yang lebih lama, yaitu jika mencapai satu jam. Karena satu jam sama dengan 60 menit, didapatlah angka 3.600. Itu hasil dari 60 X 60. Saya hitung untuk waktu yang lebih lama, yaitu sehari semalam. Sehari semalam itu sama dengan 24 jam, maka saya pencet kalkulator ke angka 24 X 3.600. Hasilnya 86.400. Saya hitung lagi yang lebih lama, yaitu setahun. Saya anggap setahun itu rata-rata 365 hari karena tahun kabisat yang berjumlah 365 hari itu hanya terjadi setiap 4 tahun sekali. Jari-jemari tangan kanan saya memencet kalkulator lagi ke angka 86.400 X 365. Alhasil, diperoleh angka 31.536.000. Itu artinya, saya selama setahun mendapat kucuran rahmat Ilahi berupa denyut jantung sebanyak tiga puluh satu juta lima ratus tiga puluh enam ribu kali. Sungguh, fantastis!
Tidak berhenti di situ. Saya terus melacak berapa denyut jantung saya selama ini. Saya kelahiran 24 Juli 1964. Berarti, usia saya sekitar 58 tahun pada 24 Juli 2022 nanti. Lalu, saya pencet lagi angka di kalkulator 58 X 31.536.000. Hasilnya berupa angka hingga miliaran. Tepatnya, 18.290.880.000. Itu berarti pula, saya telah digerojok kenikmatan yang berlimpah-limpah oleh Tuhan berupa delapan belas miliar duah ratus sembilan puluh juta delapan ratus delapan puluh ribu denyut jantung. Betapa luar biasa karunia denyut jantung yang telah saya dapatkan dari-Nya pada usia 58 tahun nanti!
Terpantik dari angka denyut jantung itu, saya hitung kalimat hamdalah yang biasa saya wiridkan seusai salat lima waktu. Hitungan angkanya 33 X 5. Hasilnya, 165 kali dalam 24 jam. Jika saya bandingkan ucapan tanda rasa syukur itu dengan jumlah denyut jantung, didapat rasio 165 : 86.400. Dibulatkan ke angka satuan terdekat menjadi 1 : 524. Begitu melihat rasio yang amat-sangat kecil itu, sungguh, hati saya malu bertalu-talu!
Jika dikonversi ke dalam desimal, rasio 1 : 524 tersebut menjadi 0,000191. Untuk mudahnya, saya bulatkan ke seperseribuan terdekat. Hasilnya 0,002. Atau 2 per 1.000. Itu artinya, saya hanya mengucapkan 2 kali lafaz alhamdulillah, sementara itu Tuhan telah melimpahi dengan 1.000 kali denyutan untuk jantung saya. Luar biasa! Sungguh, Tuhan memang Maha Pemurah dengan rahmat-Nya yang amat sangat spektakuler kuantitasnya!
Sekali lagi, saya dibuat malu bertalu-talu oleh angka rasio yang sedemikian kecilnya, yaitu 2 dibanding 1.000.. Saya begitu malu karena banyak kontradiksi dan ironi pada diri saya. Contoh, saya sering beribadah, tapi juga sering berkeluh kesah. Saya memang bermasyarakat, saya kurang giat dan jauh dari semangat. Dalam berikhtiar, spirit saya sering pudar. Dalam belajar, saya kerap merasa sudah pintar. Saya sering membaca, tapi dijamin tak akan bisa menyelesaikan bacaannya karena merasa sudah bisa. Dan sebagainya. Dan seterusnya. Duh, betapa malunya diri saya!
Berkaca dari tingkah laku harian itulah, saya malu menengadahkan wajah ke arasy-Nya. Bibir terus beristigfar memohon ampunan atas tumpukan dosa karena saya tak kunjung bersyukur. Jari-jemari tangan kanan saya tak kuat lagi memencet angka-angka kalkulator walaupun sanubari saya masih menggebu-gebu mau menghitung-hitung rahmat Ilahi nan melimpahruahi hidup saya selama ini. Kalbu ini masih ingin menghitung kuantitas napas, jumlah kedipan mata, dan rahmat-rahmat Tuhan yang lain. Namun, sekali lagi, keinginan suara hati itu tak dituruti oleh lima jemari tangan kanan saya.
Akhinya, ya berhenti sampai di sini, Lalu, kepala saya terpekur tatkala bertafakur di malam itu. Duh, betapa bodohnya saya yang tak pandai bersyukur atas denyut jantung yang telah Ilahi beri dalam jumlah hingga miliaran, bahkan tak bertepi dan tak terperi.
Bagaimana dengan Anda? Semoga lebih baik daripada saya. Amin.
Saiful Asyhad, pensiunan dan penulis buku