Mohon tunggu...
Saiful Arif Yazid
Saiful Arif Yazid Mohon Tunggu... -

Kepala TPQ Daarul Quran Mahasiswa Institut Perguruan Tinggi Ilmu Alquran (PTIQ) Jakarta Mahasantri Pesantren Kreatif Alkitabah

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Membangun Masyarakat Transenden

14 Mei 2012   14:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:18 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Membangun Masyarakat Transenden

Oleh: Saiful Arif Yazid*

Keterpurukan suatu bangsa dan kehancurannya dimulai dengan hancurnya moral dari golongan elite politik dan elite ekonomi. Dalam Al-Quran kedua golongan elite ini diberi gelar mutrofin. Karena itulah ketika Allah ingin menghancurkan suatu kaum, golongan ini akan berbuat kejahatan, dan merusak bumi. Sehingga ketika waktu penghancurannya tiba maka adzab Allah akan datang secara tiba-tiba.

Untuk menghindari hal itu, maka dibutuhkan upaya khusus agar eksistensi masyarakat tidak hilang karena dihancurkan oleh Allah seperti yang sudah pernah terjadi kepada kaum 'Ad, kaum Tsamud, penduduk Madyan, kaumnya nabi Nuh dan kaum nabi Luth sebagaimana telah digambarkan berulang-ulang dalam banyak ayat di Al-Quran. Upaya itu adalah membangun masyarakat yang tidak hanya mementingkan kemewahan dunia, tapi masyarakat yang mampu memberikan makna pada setiap tindakan dan rutinitas sehari-hari.

Menarik untuk dikaji gagasan yang muncul dari salah seorang profesor budaya bernama Kuntowijoyo. Beliau membentuk suatu konsep Masyarakat ideal dengan berlandaskan pada etika profetik yang dipetik dari ayat Al-Quran Surat Ali Imron ayat 110.

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik". (Q.S. Ali Imron [3]: 110)

Dengan ayat ini Kuntowijoyo merumuskan etika profetik untuk mewujudkan masyarakat ideal yang terdiri dari tiga unsur yaitu: humanisasi, liberasi dan transendensi. Pertama humanisasi. Dalam bahasa agama, konsep humanisasi merupakan terjemahan kreatif dari amar al-ma'ruf, yang makna asalnya adalah menganjurkan atau menegakkan kebajikan. Konsep ini ditujukan untuk mengangkat dimensi dan potensi positif manusia. Sehingga sifat fitrah yang sudah tertanam dalam diri manusia sejak lahir sebagai makhluk mulia tidak hilang dan lenyap dalam aktifitas hidup. Sementara dalam bahasa ilmu, kata yang tepat adalah humanisasi yang artinya memanusiakan manusia, menghilangkan "kebendaan", ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari manusia.

Konsep humanisasi yang ditawarkan oleh Kuntowijo adalah humanisme teosentris. Hal ini berarti bahwa manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Maka secara tidak langsung manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi dengan transendensi.

Kedua liberasi, yang dalam bahasa agamabiasa disebut Nahi Mungkar.  Dalam bahasa agama, nahi munkar berarti melarang atau mencegah segala tindak kejahatan yang merusak, dari mencegah teman mengkonsumsi narkoba, melarang tawuran, memberantas judi, menghilangkan lintah darat, sampai membela nasib buruh dan memberantas korupsi. Sedangkan dalam bahasa ilmu, nahi munkar berarti pembebasan dari kebodohan, kemiskinan, ataupun penindasan. Kuntowijoyo menggunakan liberasi dalam konteks ilmu, bukan liberasi ala ideologi.  Dalam pandangan dia, ideologi melihat kenyataan ditafsirkan sesuai dengan kaidah-kaidah yang diyakini sebagai kebenaran. Dalam ilmu, kenyataan dilihat sebagai kenyataan, otonom dari kesan pemandangnya. Ideologi bersifat normatif, sementara ilmu sifatnya faktual. Dan yang paling penting menurut dia bahwa ilmu bersifat obyektif dan ideologi bersifat subyektif.

Kemudian ketiga adalahtransendensi yang terderivasi dari tu'minuna bi Allah. Unsur ini merupakan dasar dari ke dua unsur di atas. Sehingga ketiga unsur ini tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Konsep tentang unsur ini merupakan jawaban dari nilai modernisme yang lahir dari Renaissance, di mana nilai ini telah memisahkan wahyu (agama) dari ilmu pengetahuan sebagai bentuk perlawanan terhadap teosentrisme abad pertengahan, yang akhirnya menimbulkan distabilitas. Manusia produk renaissance adalah manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia. Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup bukan memaknainya. Sehingga yang timbul adalah manusia menjalani kehidupannya tanpa makna.

Di sinilah transendensi menurut Kuntowijoyo mendapatkan peranan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Menciptakan nilai-nilai transendental ketuhanan yang kemudian akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun