Aceh Utara, dengan sejarah dan kebudayaannya yang kaya, telah lama menjadi pusat intelektual dan spiritual yang menginspirasi masyarakat. Salah satu warisan berharga yang tumbuh dari tanah ini adalah nilai-nilai "Kemalikussalehan" yang tercermin dalam berdirinya Universitas Malikussaleh, sebuah institusi pendidikan tinggi yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh. Namun, apakah makna sebenarnya dari "Kemalikussalehan", dan bagaimana nilai ini dapat terus relevan di era modern?
* Akar Sejarah Kemalikussalehan
Kemalikussalehan tidak hanya sekadar nama yang melekat pada universitas ini. Nama ini diambil dari Sultan Malikussaleh, pendiri Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara. Di bawah kepemimpinannya, Samudera Pasai menjadi pusat peradaban yang memadukan ilmu pengetahuan, agama, dan perdagangan. Warisan Malikussaleh bukan hanya tercermin pada kejayaan ekonominya, tetapi juga pada semangatnya untuk membangun masyarakat yang adil, berilmu, dan berakhlak mulia.
Pada abad ke-13, Samudera Pasai menjadi poros perdagangan dan intelektual yang menarik perhatian dunia. Jejak sejarah ini memberikan dasar yang kuat bagi masyarakat Aceh untuk terus menjaga nilai-nilai luhur tersebut. Pendirian Universitas Malikussaleh pada tahun 1969 adalah salah satu upaya monumental untuk melanjutkan warisan ini. Sebagai simbol kebangkitan pendidikan di Aceh Utara, universitas ini tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu, tetapi juga benteng pelestarian nilai-nilai lokal yang sarat dengan kebijaksanaan masa lalu. Nama "Malikussaleh" yang melekat pada universitas tersebut merupakan pengingat bahwa pendidikan harus menjadi pilar untuk membangun peradaban yang berlandaskan akhlak dan ilmu pengetahuan.
*Relevansi Kemalikussalehan di Era Modern
Di tengah arus globalisasi dan perkembangan teknologi, nilai-nilai "Kemalikussalehan" tetap relevan. Kemalikussalehan mengajarkan pentingnya memadukan ilmu pengetahuan dengan moralitas, menjadikan pendidikan bukan hanya sebagai alat untuk mencapai keberhasilan materi, tetapi juga sebagai cara untuk membangun karakter. Hal ini sangat relevan di masa kini, ketika masyarakat modern kerap terjebak dalam pragmatisme tanpa arah yang jelas.
Sebagai contoh, Universitas Malikussaleh terus berupaya mencetak generasi muda yang tidak hanya unggul secara akademik tetapi juga memiliki kepedulian sosial. Program-program pengabdian masyarakat, penelitian yang berbasis kebutuhan lokal, dan pengembangan ekonomi berbasis komunitas menjadi bukti nyata bagaimana semangat "Kemalikussalehan" tetap hidup. Melalui berbagai kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa dan dosen, universitas ini menjadi garda terdepan dalam menjawab kebutuhan lokal, seperti peningkatan kesejahteraan petani, pemberdayaan perempuan, hingga pengembangan infrastruktur pedesaan.
Tidak hanya itu, semangat "Kemalikussalehan" juga mendorong integrasi antara tradisi dan inovasi. Universitas Malikussaleh telah memanfaatkan teknologi modern untuk mendukung pembelajaran jarak jauh, penelitian berbasis digital, dan program pendidikan inklusif yang menjangkau daerah-daerah terpencil. Dengan cara ini, universitas ini berhasil menjadi katalisator kemajuan tanpa mengabaikan akar budaya dan nilai-nilai lokal.
* Tantangan dan Harapan
Namun, menjaga relevansi nilai-nilai "Kemalikussalehan" bukan tanpa tantangan. Era digital membawa tantangan baru berupa budaya instan yang sering kali bertentangan dengan nilai kesabaran dan ketekunan yang diajarkan oleh leluhur kita. Selain itu, ada pula ancaman homogenisasi budaya yang dapat mengikis identitas lokal. Ketika globalisasi menawarkan kemudahan dan efisiensi, masyarakat sering kali menghadapi dilema antara mempertahankan tradisi atau sepenuhnya menerima modernitas.