Mohon tunggu...
Saiful Effendi
Saiful Effendi Mohon Tunggu... -

Anak rantau yang mencari jalan menuju pulang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bisingnya Langit Ruhani Bangsa

3 Oktober 2011   09:11 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:23 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Negeri kita, Indonesia, seperti tak pernah senyap dari persoalan. Mendera setiap langkah dan setiap ikhtiar yang kita ambil sebagai alternatif dari sekian banyak pilihan yang tersedia. Pada setiap pilihan yang tersedia, selalu pula tersedia banyak pikiran yang direpresentasi melalui kata-kata.

Akibat begitu banyaknya persoalan, maka banyak pula kata-kata yang meluncur deras sebagai bentuk pikiran-pikiran tersebut. Kini, seperti tak ada lagi yang tersisa dari anak bangsa ini yang tidak pandai berkata-kata. Semua ingin berkata-kata dan semuanya ingin agar kata-katanya didengar.

Semua ingin berbicara dan didengarkan padahal semuanya belum siap untuk menjadi pendengar yang baik. Akibatnya, muncul perang kata-kata, saling tuding, saling tuduh dan saling menyalahkan. Kondisi ini tentu saja amat kurang menguntungkan karena bukan jalan keluar yang didapat tetapi justru persoalan-persoalan baru yang lahir. Bahkan, bisa jadi pertentangan dan pertikaian baru yang muncul.

Sungguh memilukan. Ini semua, boleh jadi, akibat dari kekurangmampuan kita mengukur diri untuk sebuah makna dari kata-kata yang kita luncurkan. Kadang makna yang kita sampaikan jauh lebih lemah daya magisnya daripada kata-kata yang mewakilinya. Akibat paling buruk adalah kian bisingnya ruhani kita, bukan oleh hal-hal yang kudus transendental, tetapi justru oleh persoalan dunia yang amat profan.

Kini, semuanya akan merasa ditinggal kalau tidak mengomentari soal RUU Anti Pornoaksi dan Pornoigrafi, semuanya akan merasa entah berada di mana kalau tidak bicara soal deponering kasus hukum debitor kakap oleh Jaksa Agung, semuanya akan merasa berdosa kalau tidak ikut berbicara soal pengerukan kekayaan pertambangan kita oleh perusahana asing. Seluruhnya akan merasa rugi kalau tidak nimbrung dalam persoalan RUU Pemerintahan Aceh, dan semuanya akan merasa tidak beruntung kalau tidak menanggapi soal kisruh pelaksanaan tes calon pegawai negeri sipil (CPNS).

Semuanya ingin bicara dan semuanya ingin dibicarakan. Lantas, kapankah kita mencari waktu walau sebentar untuk berdiam diri, merenung, mempertanyakan dalam diri dan menyoal apa sebenarnya yang kita perbuat ini? Sepertinya tak pernah ada waktu untuk menggugat diri sendiri.

Kini, mari kita simak, bagaimana sosok Baginda Rasul dalam soal berkata-kata. Beliau dikenal sebagai sosok yang amat terampil berbicara. Kata-katanya tersusun rapi, kalimat-kalimat yang meluncur berdaya magis, cara bertuturnya menghanyutkan jiwa, pesan-pesannya kuat terhunjam melalui mata para pendengarnya, dua bibir yang mulia itu tergambar jelas dalam bingkai mata umatnya, dan yang pasti suasana hati serasa di taman surga.

Kapan Rasulullah berbicara? Itu dilakukan bila perlu dan, tentu saja, jika diizinkan Allah. Kalau tidak perlu, beliau lebih banyak diam. Meski sadar benar bahwa beliau kekasih terdekat Allah SWT, tetapi Baginda Rasul selalu tahu diri bahwa beliau anak manusia juga. Nabi Muhammad yang mulia; tipikal pemimpin bumi dan langit, namanya sungguh dimuliakan karena bersanding dengan Asma’ Allah Yang Agung, yang senantiasa berkelebat di batang-batang `arasy. Umat Islam saat itu, dikenal sebagai masyarakat paling berperadaban di zamannya.

Kendati disadari pemimpin bangsa ini tidak mungkin mendekati kualifikasi kepemimpinan Rasulullah, apalagi mengunggulinya, tapi satu yang pasti; kita sudah bersaksi untuk menjadi ahli warisnya. Dan karena tertutup peluang bagi kita untuk mengadopsi secara utuh tipologi keagungan Rasul dalam memimpin masyarakatnya, maka setidaknya kita wajib meneladani pola bicaranya. Ini sungguh penting, karena bangsa Indonesia dan para pemimpinnya dikenal paling gemar berbicara dan paling susah diminta diam.

Sungguh malang, jika seorang pemimpin berbicara, tetapi umatnya tak mau mendengar. Yang juga sungguh penting, seorang pemimpin tidak bicara kecuali soal kebenaran. Alquran mengajarkan kita dalam sebuah ayat suci, “Laa Yatakallamuuna Illaa Man Adzina Lahur Rahmaan Wa Qoola Showaaba.” Kalau itu dilakukan pemimpin, bimasyii-atillah rakyat akan dengan senang hati mendengarkannya.

Rakyat akan mengambil posisi “Yastami’uunal Qoula Fa Yattabi’uuna Ahsanah.” Penganut pragmatisme menghargai sikap diam dengan sebutan silence is the gold; diam adalah emas. Seperti istilahnya, kalimat ini berasal dari dunia hedonis, Barat. Tetapi di dunia Islam, sikap diam justru banyak memiliki makna. Yang paling populer terucap langsung dari mulut suci Baginda Nabi Muhammad SAW. Beliau justru meletakkan nilai diam dalam kaitannya dengan konstruksi keimanan seseorang. Misalnya beliau bersabda : “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam saja.”

Apakah sikap diam hanya milik para nabi, hukama’, penganut aliran tasawuf atau tariqat saja? Tentu tidak. Para pemimpin negeri ini, adalah penerus perjuangan para nabi, sufi, hukama’. Mereka wajib mewarisi sikap, pola hidup, visi kepemimpinan serta memandang persoalan seperti yang dialami bangsa Indonesia sekarang ini dengan sikap arif. Itulah sebabnya, diam oleh Baginda Rasul diletakkan pada peringkat amat tinggi, dan Islam sungguh menilainya sebagai salah satu bentuk benar-tidaknya keimanan seseorang kepada Allah dan Hari Akhir. Jika seseorang mengaku beriman tetapi jarang berkata baik, maka perlu dipertanyakan motivasi serta alasannya mengaku sebagai orang beriman. Kalau memang nyata-nyata tidak mampu lagi berkata-kata baik, maka seharusnya ia diam.

Dalam konteks Indonesia masa kini, diam amat penting dilakukan para pemimpin kalau tak mampu lagi berkata-kata baik. Tetapi jika masih mampu berkata-kata baik, maka sikap ini harus menjadi pola hidupnya dalam memimpin. Bagaimana kita menimbang perkataan para pemimpin? Amat mudah melakukannya. Jika perkataan eksekutif menyebabkan rakyat merasa tidak aman, maka eksekutif wajib melakukan “tapa brata”. Tetapi rakyat merasa tidak aman karena pernyataan-pernyataan legislatif, maka merekalah yang harus diam. Kalau dua-duanya telah menebar rasa tidak aman, maka sudah saatnya rakyat mengambil langkah-langkah agar para pemimpin mereka bisa diam. Masih dengan catatan; jika mereka tak mampu berkata baik.

Ibnu Mas’ud berkata, “Tidak ada sesuatu pun yang patut diikat berlama-lama lebih dari lidah.” Bahkan Mujaddid besar Imam al-Ghazali mengisyaratkan betapa khawatirnya Gusti Allah atas sepotong daging bernama lidah. Karena besarnya akibat yang ditimbulkan, demikian al-Ghazali, tak ada tawanan mana pun yang paling ketat penjagaannya kecuali lidah.

Tak cukup hanya dengan dua bibir, Gusti Allah bahkan menambah lagi dengan penjagaan dua deretan gigi yang amat kuat. Itu pun, lidah masih selalu sempat lepas tak terkendali.Menjadi jelas betapa pentingnya bersikap diam. Terlebih karena bangsa ini benar-benar sedang berada dalam kondisi di mana perkataan tak terlalu penting dibandingkan bekerja. Ironisnya banyak di antara kita yang baru merasa ada kalau berbicara.

Wallaahu A’lamu Bishshowaab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun