Mohon tunggu...
Saifuddin 17
Saifuddin 17 Mohon Tunggu... -

(????)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kelompok Sosial: Punk Sejati

15 Oktober 2014   18:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:55 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KELOMPOK SOSIAL : Punk Sejati

Kita semua mungkin sudah tahu apa itu “punk”, mungkin yang terbesit dalam benak kita adalah sebuah komunitas yang berpenampilan acak-acakan, suka buat rusuh dan sebagainya. Akan tetapi tidak banyak juga orang yang tahu apa itu punk sebenarnya, bahkan seseorang yang menamakan diri seorang punk masih salah mengartikan punk.

Punk atau “Public United Not Kingdom” lahir di London, Inggris. Dan mulai berkembang sekitar tahun 80an di Amerika. Punk sebuah subkultur yang menonjolkan “Toleransi dan Kebebasan”. Namun di Indonesia masih banyak para anggota punk yang salah kaprah terlebih punk “ikut-ikutan”, dalam menafsirkan dan mengimplementasikan apa itu punk. Di Indonesia punk lebih di kenal dari segi fashion dan tingkah laku yang mereka perlihatkan. Seperti yang kita lihat di jalanan potongan rambut mowhawks yang di warnai dengan warna terang sepatu booth, celana ketat, baju lusuh dan jaket kulit. Mereka juga lebih terkenal sebagai pencuri, pemalak, dan mabuk-mabukan dengan dandanan punk. Yang jelas punk di Indonesia memiliki image yang sangat negatif.

Kalau menurut sejarahnya punk adalah sebuah gerekan perlawanan anak-anak muda kelas pekerja yang tidak puas akan sistem politik dan ekonomi yang di terapkan oleh pemerintahan. Yang menyebabkan pengangguran dan kemerosotan moral. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun kadang-kandang kasar dan menghentak. Punk zaman dahulu berlandaskan keyakinan “we can do it ourselves” yang berbanding jauh dengan punk zaman sekarang.

Punk zaman sekarang memiliki ideologi “Anti Kemapanan”. Kata tersebut bisa di artikan seseorang yang sudah bosan dengan kemapanan” atau “seseorang yang tidak mampu mencapai tingkat kemapanandan mencari kebenaran dengan cara membencinya”.

Tapi yang namanya manusia sudah pasti tujuan utamanya adalah kebahagiaan. Bisakah kita bahagia tanpa hidup kita mapan, kebahagiaan memang tidak dapat di beli akan tetapi dalam kenyataannya tidak bisa di pungkiri bahwa segala sesuatu itu berkaitan dengan uang.

Kita boleh berteriak anti kemapanan, tapi apakah tidak lucu kalau seseorang yang hidupnya anti kemapanan tetapi masih mencari nafkah untuk bertahan hidup bahkan bercita-cita menjadi artis, apakah itu bukan menunjukkan bahwa pada dirinya masih ada harapan untuk menjadi kaya dan mapan.

Itu semua tidak lepas dari peranan pemetintah, guru dan orang tua. Bagaimana kita mendidik generasi kita yang mampu berfikir logis dan terbuka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun