Yth. Pak Bos Ahok,
Mohon maaf jika surat ini mengganggu kesibukan Bapak sebagai Gubernur DKI. Namun saya merasa perlu untuk menulis surat sebelum kebijakan soal 'Pelarangan Sepeda Motor di Jalan Protokol Jakarta' akan Bapak perluas wilayahnya.
Pak Bos Ahok yang saya hormati,
Saya adalah salah satu dari ribuan orang yang mengandalkan sepeda motor untuk mencari nafkah sehari-hari. Saat ini, saya masih aman karena tidak terkena dampak uji coba untuk wilayah Tamrin. Namun setelah saya membaca berita di megapolitan.kompas.com maka saya akan terkena dampaknya.
Pak Bos Ahok, apa sebetulnya tujuan dari pelarangan itu? Mengurangi Kemacetan? Tapi kenapa harus saya dan temen-temen pengendara motor yang berkorban? Saya yakin Bapak pasti tahu, saat ini biaya dengan menggunakan Angkutan Umum masih lebih mahal dari menggunakan motor sekalipun harus ada angsuran kredit. Benar bahwa Bapak telah menyediakan juga fasilitas Bus Gratis, namun Bus itu tidak bisa seperti motor yang 'bisa dikatakan' merapat sampai depan pintu tujuan.
Bapak Bos Ahok pasti juga tahu, rumah kami kebanyakan tidak dipinggir jalan yang keluar pintu langsung ada Angkutan Umum. Masih butuh tambahan ongkos lagi untuk sampai ketempat Angkutan Umum terdekat jika tidak menggunakan motor. Jadi, jika saya coba berhitung untuk taat dengan kebijakan Bapak, ada 2 hal pokok yang akan berdampak pada diri saya, yaitu Waktu dan Biaya, pasti lebih lambat dan lebih mahal. Saya haqul yakin bahwa ini bukan tujuan Bapak Bos Ahok memberlakukan kebijakan pelarangan sepeda motor pada jalan-jalan tertentu.
Bapak Bos Ahok yang saya cintai,
Saya sadar dan tahu bahwa memang diantara kami para Pengendara Sepeda Motor banyak yang 'ngawur' sehingga bikin semrawut. Trotoar dilewati, sudah buta warna dengan trafict light, senggol spion mobil langsung kabur, dan lain sebagainya. Yah... ini kenyataan di jalanan dan saya sangat setuju jika oknum pengendara motor itu ditindak tegas. Mungkin Bapak bisa bikin tim yang solid antara dinas perhubungan dan Polda yang anti 'damai dijalan'. Mungkin juga butuh kerja-sama dengan pihak Pengadilan agar tanpa proses legal  SIM/STNK/Motor bisa diambil dengan mudah. Mudah-mudahan temen-temen saya akan kapok jika aturan tegas itu dilaksanakan sehingga tidak ada lagi pengendara motor yang  'ngawur'.
Bapak Bos Ahok, saya juga haqul yakin bahwa Bapak yang berani mati demi 'Jakarta Nyaman dan Aman' bukannya tidak berani memberlakukan pelarangan/pengurangan keberadaan Mobil di jalanan Ibu Kota. Bapak ambil kebijakan itu pasti karena pertimbangan-pertimbangan rasional dan adil tanpa diskriminitatif. Namun demikian, bolehlah saya sedikit 'urun-rembug' untuk menambah bahan-bahan pertimbangan Bapak. Begini Pak Bos, jika saya naik Bus dari bekasi dan melewati TOL Arah Jakarta, nyaris bisa dipastikan Bus akan melaju seperti siput dari Pondok Gede Timur hingga pintu keluar Tol depan Komdak. Hal yang sama juga terjadi saat saya pulang dari Jakarta ke Bekasi. Di jalan Tol itu saya lihat tidak ada satu pun sepeda motor, tapi toh macet juga. Bisa saja orang bilang, itu karena motor semrawut di Gatot Subroto sehingga bikin macet di exit tol Semanggi. Saya yakin Bapak pasti tidak percaya begitu saja apa kata orang. Bapak pasti mengalami antrean gila saat 'contra-flow' diberlakukan di Tol M.T Haryono. Tidak Ada Sepeda Motor yang bikin macet di sana, tapi pengendara mobil banyak yang 'ngawur'.
Kasus di atas saya ungkapkan agar biang keladi macet tidak sepenuhnya ditudingkan kepada para pengendara Motor. Lebih dari itu Pak Bos, mereka para pengendara motor itu secara gotong royong bisa memberikan omset parkir lebih besar dibanding mobil. Saya tidak perlu mengajari Bapak berhitung untung rugi, kita tahu bahwa lebar lahan parkir mobil satu unit bisa di isi 4 unit motor atau lebih. Tapi, entah kenapa, justru biasanya di Mal-Mal penyumbang parkir terbesar ini malah ditaruh ditempat-tempat yang jika panas kepanasan dan jika hujan kehujanan.
Demikian surat saya Pak Bos Ahok, sebagai orang yang mencari nafkah di Jakarta.