Mohon tunggu...
Said Umar
Said Umar Mohon Tunggu... -

Confident, Open minded, en simple..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lebih dari Sekedar Bintang

16 Februari 2012   00:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:36 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki tampan berbadan tegap itu berlari ke arahku. Angin kalah cepat dengan ayunan langkah kakinya yang menggaung di sepanjang koridor fakultas. Ia mengurangi kecepatan kemudian berhenti tepat beberapa senti sebelum menabrakku.

“Hai!”

Kini kami berdiri berhadapan.

Dan Lelaki tampan itu kamu, seseorang yang kurindukan…

Tanganmu kuat mencengkram bahuku. Desah napas kita berbenturan hebat dan berhamburan di udara.

Dadamu yang bidang naik turun. Dalam lelah, senyummu merekah. Matamu yang bersembunyi dibalik lensa minus itu berbinar.

“Akhirnya,” ucapmu sambil menyusun kata-kata berikutnya. “Kita bertemu lagi, Ra.”

Tanganmu masih memegang bahuku dan tubuhku yang tadinya dingin karena sempat dilanda badai gugup terasa hangat seketika.

Detik berikutnya kau mengikatku dalam pelukanmu. Kali ini bukan hanya terasa hangat, tapi aku merasa sekujur tubuhku meleleh menjadi cairan kebahagiaan.

Andaikan saja kebahagiaan ini bisa ku tampung dalam toples emas dan dikunci berlapis, mungkin aku tidak akan mengenal lagi apa itu yang namanya duka lara yang ada hanyalah bahagia, selamanya.

Sepanjang perjalanan kau putar lagi kenangan yang sempat terekam. Aku memilih lebih banyak diam di jok depan, duduk disampingmu sambil asik menikmati setiap jengkal keaktifanmu mengulang masa-masa indah dulu.

“Kamu sudah makan?” tanyamu disela-sela keceriaanmu.

“Belum.”

“Bagaimana kalau kita makan Bakmi Gang Kelinci dulu yang di Pasar Baru. Mau?”

Aku mengangguk cepat memenuhi ajakanmu.

Hari ini semua waktuku sudah ku serahkan sepenuhnya untukmu, Al. Bisikku dalam hati.

Lepas makan siang. Ternyata lidahmu masih juga lapar, kamu terus bercerita tentang kenangan indah kita dulu semasa putih abu-abu. Aku mendengarkan dengan pasrah terbawa arus alur ceritamu yang berjalan mundur.

Dalam kepasrahan kunikmati garis wajahmu yang tampan.

“Kamu masih suka hunting foto?”

Aku terhenyak dari kenikmatan menyusuri dirimu. Nampaknya kamu menangkap kegugupanku menjawab pertanyaanmu barusan. Kamu tertawa lepas. Puas.

“Sorry ya, Ra, aku lupa. Sekarang kamu pasti sudah jarang hunting foto ya? Kamu kan sekarang sudah jadi top model. Justru kamu yang di hunting ya sama fotografer? Wajahmu saja sudah terpampang dimana-mana. Tuh salah satunya,” katamu sambil menunjuk salah satu billboard yang berdiri kokoh dipinggir jalan Gajah mada.

“Ah, nggak juga,” ujarku menanggapi. “Aku masih suka hunting foto juga kok kalau lagi break pemotretan atau libur kuliah.”

“O, begitu. Aku senang…” ungkapmu sambil melemparkan senyuman hangat. “… karena kamu tidak banyak berubah. Padahal detik-detik menjelang keberangkatanku ke Papua, aku sempat takut lho.”

“O ya? takut kenapa, Al?” potongku cepat.

“Takut kehilangan kamu. Takut kalau kamu bakal lupa sama aku. Apalagi sekarang duniamu sudah berubah. Dunia para bintang.”

Aku akhirnya melepas tawa yang sedari ku cicil sedikit demi sedikit.

“Kamu ini kenapa sih, Al? nggak perlu lah kamu merasa seperti itu. Aku nggak mungkin lupa sama teman dekatku sendiri. Apalagi temenku itu seperti kamu. Langka tahu.”

Kamu tidak perlu khawatir, Al. Meskipun sekarang aku berada di antara para bintang, kamu tetap menjadi bintang yang paling terang di dalam hatiku. Kamu adalah bintang kejoraku, bahkan kamu lebih dari sekedar bintang. Tambahku dalam hati.

Secepat kilat jemarimu mencubit lenganku lembut.

“Auuw! sakit tahu,” jeritku. “Sekarang suka cubit-cubit ya. Ih, jadi genit nih.”

“Biarin. Kan genitnya sama kamu ini. Bukan sama cewek yang lain.”

“Lapor ke kak seto nih!”

“Silahkan laporin aja. Gak takut,” tantangmu sambil menjulurkan lidah meledek. “Lagi pula, kamu kan sudah bukan anak-anak lagi.”

Ah, candaan seperti ini yang sangat kurindukan.

Juke hitam menepi di sebelah museum Fatahillah. Masih ada waktu setengah jam untuk bisa mengitari museum yang ada di Kota Tua ini sebelum ditutup.

Lensa kameramu begitu lincah membidik sudut-sudut menarik. Sesekali tanpa ijin bidikanmu diam-diam menembak ke arahku. Lagi-lagi aku diam pasrah. Menikmati setiap bidikanmu itu.

Ini baru yang dinamakan adil setelah aku puas mencuri keindahan dirimu. Kini giliran dirimu yang mencuri-curi keindahan diriku.

Hari semakin senja. Kamu tidak segera mengantarku pulang. Kamu malah mengajakku ke pantai.

“Aku ingin menghabiskan hari ini denganmu, boleh?”

“Boleh dong. Apa sih yang nggak buat kamu,” candaku.

Tak berapa lama kemudian kita sudah berdiri di atas jembatan kayu yang menghubungkan dermaga satu dan yang lainnya.

Kamu mengajakku duduk di salah satu dermaga yang tepat menghadap ke barat.

“Wah, warna langitnya bagus ya,” seruku takjub sambil menatap langit.

“Iya, bagus. Tuhan memang selalu menciptakan sesuatu tanpa cela,” tuturmu bijak.

“Waktu aku di Papua. Kalau sore-sore aku paling suka duduk-duduk di dermaga. Memandangi langit. Suasananya indah. Langitnya cerah memerah.”

“Oh, ya memerah?”

“Ya. Apalagi kalau sedang musim panas seperti sekarang ini.”

“Terus, Al… hm, kenapa.. hm…” ujarku ragu.

“Terus apa? Kenapa?”

“Pipi kamu kenapa memerah?”

“Hah? Apa?” tanyamu pura-pura tak dengar. Aku tahu itu. Aku yakin, suaraku barusan tidak terlalu pelan untuk bisa kamu dengar kan?

“Pipi kamu kenapa memerah?” ulangku.

“Oh, itu…” kamu menunduk kikuk.

“… memang, kalau sedang suasana seperti ini pipiku suka memerah. Hm, mungkin karena tertimpa sinar matahari, atau mungkin juga karena yang lain.”

Sesaat kemudian hening. Hanya hembusan angin pantai yang mendesah dan deburan ombak yang saling memecah.

Detik terus bergulung-gulung menjadi menit. Batinku terus bertanya-tanya tentang waktu yang tepat. Kupandangi dirinya yang jauh memandang ke laut lepas. Memandang kapal-kapal yang mulai pulang dan merapat ke dermaga.

Tatapan matamu lurus. Bibir tipismu terkatup rapat. Kamu nampak memikirkan sesuatu yang berat. Bolehkah ku tahu apa yang sedang kamu pikirkan, Al?

Dalam diam dirimu jauh lebih tampan.

“Al.”

“Ya?”

“Bagusan mana langit Jakarta sama Papua?” tanyaku pelan.

“Kalau menurutku, sama kok indahnya.”

“Kenapa begitu?”

“Kamu benar ingin tahu kenapa?” tanyamu sambil menoleh pelan dan diwaktu yang bersamaan pandangan kita saling bertemu. Gerak matamu yang semula lincah, kini berhenti disatu titik. Memandangku lekat-lekat. Aku mengangguk cepat.

“Karena kamu ada disana, Ra. Kamu ada disetiap langit yang aku lihat. Pagi, siang, sore, dan juga malam.”

Aku tak kuat. Maafkan aku, Al. Bukan karena ingin muntah, tetapi aku tak kuat bulu romaku meremang. Dadaku berdesir hebat.

Aku tersedak mendengar penuturanmu kemudian melepas tawa memecah kekakuan lidahku yang nyaris bisu.

“Ah, bisa aja kamu nge-gombalnya, Al. Ternyata lama di Papua, bukan Cuma sekadar kerja ya. Tapi kamu juga semakin pandai bermain kata-kata. Kenapa tidak coba jadi penulis saja, Al?”

“Sudah. Aku sudah menuliskan semua kata-kata indah tentangmu disebuah buku khusus. Buku masa depan.”

Aku kembali tersedak lalu terbahak. Mendengar semua kata-kata yang selama ini hanya ada di alam bawah sadarku, tapi kini tiba-tiba kamu katakan. Seolah-olah kamu bisa membaca catatan hati yang kupendam selama ini.

Aku juga ingin mengungkapkan demikian, Al. Bisiku pelan.

“Sepertinya tadi kamu makan bakmi kebanyakan atau mungkin, ada jin penunggu museum kota Tua yang nempel nih di badan kamu, jadinya kamu kerasukan. Ngomongnya kok makin aneh sih kamu,” kataku masih terus mencoba mematahkan kekakuanku diriku sendiri.

“Ra,”

Srrrr…

Jemarimu menyentuh jemariku pelan. Aku tersentak. Cuma ada dua pilihan. Tetap diam pasrah dalam genggamanmu, atau terjun ke dalam laut lalu tenggelam.

“Aku ingin menghabiskan waktuku denganmu, Ra.”

“Aku memang sudah menyediakan waktuku hari ini untukmu kok, Al.”

“Bukan hanya untuk hari ini, Ra. Tapi selamanya.”

“Ma-maksud kamu?”

“Aku ingin kamu menjadi bilangan yang menggenapkan diriku yang terasa ganjil bila sendiri,” ungkapmu masih dengan tatapan mata yang sama. “Aku mencintaimu, Ra.”

Aku juga mencintaimu, Al, tapi…

“Kamu sadar sedang mengatakan apa, Al? kamu nggak lagi mengigaukan?”

“Aku serius, Ra.”

Saraf otakku mulai menegang dan nyaris putus. Aku tertawa kecil. Apakah ini mimpi, Ya Tuhan?

“Ba-bagaimana mungkin, Al? Bukankah banyak perempuan  yang jauh lebih…”

Kamu buru-buru memotong kalimatku dan menegaskan suaramu, “Ra, cinta bukanlah barang jual beli yang bisa ditakar dan dibanding-bandingkan dengan yang lain.”

Aku mematung mendengar jawabanmu dan buru-buru berkata, “Maafkan aku.”

“Tidak perlu meminta maaf, Ra.”

“Kenapa kamu mencintaiku, Al?”

“Karena aku mencintaimu, Ra. Itu saja. Titik. Aku tidak mempunyai alasan lain,” ungkapmu jujur masih dengan tatapan yang sama. “Kamu selalu membuatku merasa bahagia, damai, dan penuh semangat.”

“Sewaktu di Papua kemarin, aku nyaris memutuskan pekerjaanku ditengah jalan dan meminta rekanku di kontraktor untuk menggantikannya. Semua itu karena aku nyaris kehilangan semangat karena berpisah ribuan mil denganmu, Ra. Tapi aku pikir-pikir lagi, kalau pun aku balik ke Jakarta sebelum kerjaanku kelar. Aku yakin, kamu akan marah…”

Aku sibuk mengendalikan perasaanku sendiri. Membalas tatapanmu membuatku merasa seperti prajurit perang yang kalah dan tunduk pasrah.

“… Beruntung sore itu senja mengantarkan semangat tambahan. Ia melukiskan wajahmu, dan aku ingat semua pesanmu padaku; tetap semangat dan terus semangat! Jangan pulang sebelum menjadi orang.”

“Al. Aku…”

“Aku sangat merindukanmu, Ra.”

“Aku…”

Aku bingung bagaimana harus mengatakannya padamu, Al?

“Aku tidak memaksamu untuk membalas cintaku, Ra. Aku hanya ingin kamu tahu, kalau aku sangat mencintaimu.”

“Terimakasih untuk cintamu itu. A-Aku…”

“Aku tahu kamu perlu waktu untuk berpikir. Aku tidak memaksamu untuk menjawabnya sekarang. Aku hanya ingin…”

Drrrt…Drrrtt…Drrrt…

Getaran hebat terjadi dari dalam saku celanaku. Ah merusak suasana saja. Umpatku kesal dalam hati.

Sebuah panggilan dari Tante Siska. Mamanya Diana. OMG! Ada apa?

“Ya, Hallo tante?”

Tak ada jawaban selain isakan tangis Tante Siska.

“Hallo, Tan? Tante Siska kenapa?” tanyaku mulai cemas.

“Diana, Ra. Diana menghilang. Dia kabur dari rumah.”

“Hah?! Apa?” suaraku meninggi. “Hm, okey. Sekarang aku kerumah tante. Kita cari sama-sama. Tante tenang ya. Aku segera datang.”

Aku buru-buru bangkit dan menarikmu menuju mobil.

“Ada apa, Ra?”

“Diana menghilang.”

“Iya, tapi gara-gara kenapa?”

“Aku juga nggak tahu. Nanti saja Tanya-tanyanya. Sekarang mana kunci mobil kamu. Sini biar aku yang bawa mobil. Kita tidak punya waktu lama. Ini urgent!” kataku dengan langkah lebar-lebar.

“Baik. Ini.”

Aku segera mengendarai Juke hitam milikmu dengan kecepatan penuh menuju kawasan Tebet. Wajahmu nampak tegang bercampur cemas.

Tenang, sayang. Mobilmu akan baik-baik saja. Gumamku disela-sela tarikan gas.

Wuuush~!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun