Mohon tunggu...
Saidna Zulfiqar
Saidna Zulfiqar Mohon Tunggu... -

Simple, Easy going, dll

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkorbanlah dengan Seekor Ferari

5 September 2016   16:29 Diperbarui: 5 September 2016   17:45 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saidna Zulfiqar Bin Tahir. Idul Qurban semakin dekat, sedekat pemaknaannya dengan Tadhhiyah, selantang para amil bertausiyah, seredup pengamalannya dari syariah, berharap hewan untuk disembelih, dapatnya sumbangan sukarela berjamaah. Buntut-buntutnya buntut sapi itu harus diumumkan melalui toah mesjid sebagai tradisi tanpa manasik.

Mungkin makna Qurban dalam perspektif masyarakat modern telah mengalami penyempitan arti sebatas tradisi penyembelihan hewan dan telah menjelmakannya sebagai sumbangan suka-rera mirip arisan/asian carera yang kudu dipromosikan melalui toa-toa mesjid dan media elektronik lainnya. Hakekat pengorbanan untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik telah ditepis dan dikeruk oleh kepentingan maupun pencitraan. Alhasil, Idul Qurban menjadi ajang perebutan electability.

Pemahaman masyarakat ini ternyata lebih primitif dari nomaden yang perlu diereksikan untuk lebih mencerminkan kemoderenan dalam bingkai yang mungkin bisa dicap liberal sebagai upaya pembebasan pemahaman dari keprimitifan ke arah yang lebih logis, sehingga mereka mampu membedakan antara pengorbanan kepada sang istri dan pengorbanan kepada Sang Pemilik istri.

Untuk lebih memahami konsep pengorbanan, maka seyogyanya meletakkan prinsip utama “Lan tanaalul birra hatta tunfiquu mimma tuhibbun- لن تنال البر حتي تنفقوا مما تحبون) di atas segalanya. Mungkin arti bebas ayat ini sesuai konsep sacrifice adalah “Kamu tidak akan pernah menjadi seorang pengorban sejati hingga kamu mengorbankan apa-apa yang sangat kamu cintai”. Jika kembali merefresh sejarah pengorbanan Nabi Ibrahim as, maka akan ditemukan bahwa Ismail as adalah sesuatu/seseorang yang sangat berharga dan sangat dicintai oleh Ibrahim melebihi segala yang dimilikinya saat itu. Dengan kata lain, Ismail hanyalah simbol dari apa yang sangat dicintai oleh Ibrahim as yang harus siap/rela untuk dikorbankan sebagai bukti tunduk dan cintanya dalam pengabdian semata kepada Sang Maha Pencipta.

Perubahan bentuk korban dari Ismail as yang digantikan dengan hewan sembelihan tidaklah merubah eksistensi makna pengorbanan itu, melainkan berdasarkan kecintaan kepada sesuatu sehingga Ibrahim as berhasil menaklukkan bisikan setan untuk tidak menyembelih anaknya (menentang Tuhan) serta berasaskan analisa kebutuhan masyarakat kala itu yang disesuaikan dengan kemampuan materi/finansial Ibrahim as. Jadi, tidaklah berarti bahwa harus selamanya berkorban dengan hewan saja, boleh juga dengan sesuatu yang lain berdasarkan priority kecintaan dan finansial si pengorban serta kebutuhan masyarakat.

Sapi, onta, kambing hanyalah simbol pengorbanan minimal bagi kalangan tertentu dan tidaklah ada apa-apanya bagi pejabat dan pengusaha/miliarder. Para milliarder dan pejabat sama sekali tidak cinta kepada kambing meski mereka suka memakan kambing dan mengkambinghitamkan orang lain dan belum tentu daging hasil qurban itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat (toh daging-daging itu dibuat pesta sate bahkan daging itu berlebihan, membusuk dan berakibat tabdziir/mubazzir). Sehingga prinsip kecintaan si pengorban dan kebutuhan masyarakat perlu dipertimbangkan untuk membedakan mana yang termasuk berkorban dan mana yang dikategorikan menyumbang. Apalagi jika sumbangan itu sumbangan berjamaah (7 in 1).

Tentunya yang paling dicintai oleh milliarder itu adalah rumahnya, maka korbankanlah rumah itu bagi anak-anak terlantar, panti jompo, dll yang menjadi kebutuhan mereka. Milliarder cinta akan ferari dan hammernya, mengapa tidak dikorbankan dalam bentuk bus angkutan umum untuk mengangkut orang-orang yang malas berjalan ke mesjid shalat berjamaah alasan kejauhan. Milliarder cinta perusahaannya, mengapa tidak dikorbankan bagi para pengangguran untuk mencari nafkah. Dan pastinya mereka cinta uang, lantas mengapa takut mengorbankannya bagi kaum dhu’afa.

Jika saja kita mau merenungkan dan menimang sejenak dengan pertanyaan, jika penghasilan saya sebesar 10 juta perbulan, 2 rumah, 1 mobil, 2 motor. Sedangkan yang paling dicintai adalah rumah dan mobil, Wajarkah jika berkorban dengan hanya 1 juta rupiah untuk seekor kambing per tahun? Jawaban jujur yang akan meremukkan hati adalah “betapa pelitnya aku”, “betapa irit dan perhitungannya aku”, “betapa bodohnya aku yang tidak bisa membedakan berkorban dan irit” dan berbagai jawaban lain yang akan menyadarkan kita sejenak sebelum setan datang berbisik “kan istri masih satu, tabunglah biar bisa kawin dua, enak loh”.

Akhirnya, tujuan akhir Pengorbanan hamba yang cinta dan patuh semata kepada Khalik dengan bukti membebaskan diri dari rayuan setan yang membisikkan untuk tidak menyembelih ferari dan rumah tidak tercapai, sehingga kita berkesimpulan praktis bin irit, cukuplah berkorban seadanya berdasarkan standar minimum fuqaraa serta tradisi yang sudah mendarahdaging.

Oh my God, anehnya, ternyata kita rela berkorban demi pacar yang belum pasti menjadi istri, berkorban kambing dengan maksud tertentu yang merusak nilai pengorbanan menjadi sumbangan terpaksa, berkorban uang dan tenaga demi jabatan yang pada akirnya memenjarakan diri sendiri, berkorban kesetiaan pada bos yang suatu saat akan memecat dan mem-PHKkan- tanpa kompromi, berkorban waktu di kantor demi pekerjaan yang belum menjamin kesuksesan dunia akhirat. Sedangkan kecintaan dan keabadian yang sudah dijanjikan Allah swt yang pasti nyata terjadi justru diabaikan. Bukalah mata dan sadarlah wahai saudraku.

Mudah-mudahan, setelah membaca tulisan ini, akan berdampak pada peningkatan inspirasi jiwa-jiwa pengorban sejati yang benar-benar memahami dan mengamalkannya sesuai porsi, dan bukan sebatas melaksanakan syariat saja pada standar minimum dan tradisi, sehingga kesejahteraan di muka bumi ini khususnya Indonesia dapat terwujud. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun