Mohon tunggu...
Saidna Zulfiqar
Saidna Zulfiqar Mohon Tunggu... -

Simple, Easy going, dll

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahasa Daerah: Dari Penjara Revolusi Menuju Modernisasi

23 Januari 2016   23:20 Diperbarui: 23 Januari 2016   23:40 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saidna Zulfiqar bin Tahir. Tulisan ini termotivasi dari sebuah artikel yang ditulis oleh seorang penulis terkenal Kenya, Ngugi Wa Thiong’o, berjudul ‘Africa from inside the Linguistic Jail’. Ia menggambarkan situasi sosiolinguistik yang muncul selama 40 tahun terakhir dalam realitas Afrika penuh dengan pencitraan.  Pengasingan sastra dan bahasa di Afrika mencerminkan keadaan yang lebih parah dari keterasingan dalam masyarakat bahasa itu sendiri sebagai warisan kolonial yang telah meninggalkan luka pada tubuh, hati, pikiran dan jati diri Afrika. Artikel ini benar telah menggugah pikiran saya untuk melirik nasib bahasa daerah di Indonesia dalam tantangan globalisasi meraih peluang pembelajaran multilingual.

Lois Saint-Just, 1792 pernah berkata; “When people having become free, establish wise laws, their revolution is complete. Peace and prosperity, public virtue, everything is in the vigor of the laws. Outside of the laws, everything is sterile and dead”. Ketika orang telah merdeka, menyusun kebijakan hukum maka revolusi mereka telah usai. Perdamaian dan kemakmuran, kebijakan public semuanya berada dalam kekuatan hukum. Namun di luar hukum, semuanya steril dan mati.

Perkataan ini nayris mirip dengan perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, menyusun kebijakan hukum, dan mengambil keputusan bersama bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa perjuangan dan bahasa nasional. Di satu sisi, bahasa nasional merupakan bahasa pemersatu bangsa. Dengannya pula, bangsa Indonesia yang tadinya mayoritas monolingual berubah menjadi masyarakat bilingual dan multilingual. Di sisi lain, bahasa Indonesia dapat menjadi ancaman punahnya beberapa bahasa daerah di Indonesia. Ditambah lagi dengan modernisasi bahasa Indonesia yang bukan bersumber dari bahasa lokal, melainkan dari bahasa asing yang juga berandil mengancam utility bahasa Indonesia itu sendiri.

Ancaman kepunahan bahasa daerah dapat saja terjadi disebabkan oleh dominasi fungsi dan peran bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, bahasa pemersatu dan wadah informasi bangsa yang telah mencuci pola pikir masyarakat terhadap kesaktian bahasa pemersatu, sehingga bahasa lokal itu terlupakan dan mandul menunjukkan peran dan fungsi praktisnya secara significant. Mungkin saja dengan perubahan social yang cepat dan mendunia juga akan mencuci pola pikir masyarakat terhadap bahasa asing, bisa jadi, bahasa Indonesia pun kelak hanya akan memiliki fungsi konservasi sebagai penjaga dan penghormatan atas nilai-nilai kebudayaan dan jarih payah para pejuang 45 saja dan juga akan terancam kepunahan oleh globalisasi.

Berdasarkan hasil penelitian Arief Rachman, sedikitnya ada 742 bahasa yang dituturkan di Indonesia, diantaranya tergolong dalam bahasa yang terancam punah. Kepunahan bahasa daerah diantaranya; 50 bahasa daerah di Kalimantan yang terancam punah; dua dari 13 bahasa daerah di Sumatera terancam punah dan satu bahasa sudah punah; 36 dari 110 bahasa daerah di Sulawesi terancam punah dan satu bahasa sudah punah; 22 dari 80 bahasa di Maluku terancam punah dan 11 bahasa sudah punah; 8 dari 50 bahasa di Flores, Timor, Bima, dan Sumbawa terancam punah; 56 dari 271 bahasa terancam punah di Halmahera, dan satu bahasa sudah punah. Di Papua, Sembilan bahasa dinyatakan telah punah, 32 bahasa segera punah dan 208 bahasa terancam punah.

Phenomena extinction dan ancaman kepunahan bahasa daerah ini bukanlah momok yang patut ditakuti, melainkan dijadikan sebagai wacana awal dan landasan bagi kebangkitan bahasa daerah yang dapat dipoles dalam bentuk pembelajaran multilingual di Indonesia. Bersyukurlah bahwa atas perhatian besar UNESCO dalam memperingati peristiwa unjuk rasa mahasiswa Pakistan memperjuangkan bahasa ibu mereka (bahasa Bangli) sebagai bahasa nasional di Negara tersebut. Sehingga UNESCO telah menetapkan setiap tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (HBII) atau International Mother Language.

726 bahasa daerah di Indonesia (Crystal; and Marti at al.) atau 742 bahasa (Rachman) atau 746 bahasa daerah (Pusat bahasa Depdiknas) merupakan kekayaan bangsa sebagai potensi dalam merespon perkembangan informasi dan pencerahan dalam berbagai bidang seperti perdagangan, ekonomi, politik, pendidikan, dan keagamaan yang dapat direvitalisasi dalam pembelajaran multi bahasa di sekolah-sekolah. Sehingga pemerintah Indonesia perlu tanggap dalam merumuskan kebijakan pendidikan multi bahasa sebagai salah satu upaya pelestarian bahasa lokal sebagai khazanah keberagaman budaya di Indonesia dan menjaganya dari ancaman kepunahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun