Mohon tunggu...
Saidna Zulfiqar
Saidna Zulfiqar Mohon Tunggu... -

Simple, Easy going, dll

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Andai kamu Benar, Belum Tentu Saya Salah

27 Desember 2016   02:32 Diperbarui: 27 Desember 2016   03:39 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saidna Zulfiqar Bin Tahir. Kebenaran, Keadilan, dan nilai itu ibarat dua sisi mata uang tak terpisahkan yang memiliki nilai tersembunyi di balik dua sisi tersebut, walaupun kedua sisi itu diobok-obok dan dikoyak-koyakkan, tetap saja uang itu masih memiliki nilai, sehingga untuk melihat kebenaran suatu phenomena atau kasus pun sangat perlu untuk melihatnya secara menyeluruh sebelum menjudge agar kebenaran itu benar-benar adil dan memiliki value.

Terkadang saya menganalogikan bahwa untuk melihat kebenaran/kesalahan suatu phenomena/kasus itu laksana melihat seorang wanita, sebelum menilai apakah ia cantik atau jelek. Jika hanya melihat si wanita itu dari belakangnya saja lantas menjudge bahwa ia cantik, bisa jadi itu hanyalah BMW (belakang menipu wajah), atau dengan melihatnya dari samping saja lantas kita katakana ia cantik, bisa jadi itu hanyalah SUSUKI (kata orang Makassar: Susunyaji yang keliatan). Jika melihat kecantikan seorang wanita hanya dari bawahnya saja, bisa jadi, itu hanya TERANO (terang-terangan parno), begitu pula halnya jika hanya melihat dari depannya saja, bisa jadi NISSAN (nikah sirri saja ya neng). Ternyata dari semua sisi itu masih terdapat factor-faktor lain –bisa jadi inner beauty- sehingga si wanita itu dikatakan cantik.

Cara pandang (world view/paradigma) tersebut ternyata telah memengaruhi munculnya berbagai teori yang dikemukakan oleh berbagai pakar dalam bidangnya, baik tentang kebenaran (koherensi, korespondensi, pragmatis, paradigmatic, dll), keadilan (komutatif, distributive, konvensional, kodrat alam, dll) dan nilai (objektif, subjektif, nilai lebih, nilai reproduksi, dll). Sehingga wajar jika ada perbedaan pandang setiap individu terhadap kebenaran suatu phenomena, dan semua pandangan itu bisa saja dikonsensuskan untuk menyempurnakan pembenaran yang berlandaskan pada pengetahuan dan pembuktian. Karena jika tidak, bisa saja kita tergolong dalam analogi Sugiyono sebagai seorang buta yang hanya memegang telinga seekor gajah saja lantas mengatakan bahwa gajah itu lebar seperti daun keladi. Hal itu karena consensus yang tidak dibarengi pengetahuan dan pengamatan yang mendalam terhadapa suatu kasus yang justru akan menyimpang dari ontology kasus tersebut. Bisa jadi, 99 orang mengatakan si A mencuri sedangkan hanya 1 orang yang menyangkal atau mengatakan bahwa si A tidak mencuri itulah yang benar. Masih ingat kan? kasus Galileo yang menyatakan bumi ini bulat lantas ia dihukum bahkan ada versi yang mengatakan ia dibunuh. Konsensus semacam ini tentunya sangat ditentang oleh Al-Quran Surah Al-An’am: 116.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).”(QS.al-An’am/6: 116).

Ayat di atas jelas memprotes consensus yang berlandaskan pada prasangka dan hawa nafsu belaka dalam menjudge benar-salah, baik-buruk, dan adil-tak adil. Ayat ini pun selaras dengan Al-Quran Surah al-Hujaraat; 12 yang menafikan prasangka/praduga sebagai dalil untuk menghakimi benar-salah. Makanya, banyak ayat Al-quran yang menyindir; Apakah elo gak punya akal? Apakah elo gak melihat? Apakah elo gak merasa? Apakah elo gak berfikir? Apakah elo gak menganalisa? dst sebagai anjuran untuk selalu mencermati dan menganalisa ayat kauniyah termasuk sebuah kasus. Meskipun dibekali dengan pengetahuan yang memadai, belumlah tentu seseorang itu dapat menghasilkan suatu keputusan yang benar, adil dan baik. Bahkan dalam skala seorang Nabi pun belum tentu.

Ada beberapa kisah Al-Quran dalam Surah Shad, 30-41 yang menceritakan bagaimana Nabi Daud as yang dikenal sebagai pemimpin yang sangat adil, namun ketika diberi cobaan oleh Allah swt dengan sebuah kasus kecil antara dua orang yang bertikai yang datang kepada Nabi Daud as. untuk mencari kedilan. Orang petama memiliki sembilan puluh sembilan ekor kambing betina, sedangkan orang kedua hanya memiliki seekor. Pemilik kambing yang banyak mendesak agar diberi pula yang seekor itu agar genap seratus.  Nabi Daud tidak memutuskan perkara itu dengan membagikan kambing-kambing itu dengan jumlah yang sama, melainkan menyatakan bahwa pemilik sembilan puluh sembilan  kambing itu telah berlaku aniaya atas permintaannya itu (Q.S Shad (38). Nabi Daud agaknya cenderung membela orang miskin yang hanya memiliki seekor kambing betina. Oleh karena itu ketika beliau diminta untuk memutuskan persengketaan di antara kedua orang tersebut, beliau tidak sukses dalam mengadili kasus tersebut, malah beliau mengatakan: “Sesungguhnya dia telah berbuat aniaya kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya”. Kemudian Allah swt menegurnya.

Nabi Muhammad SAW pernah terkecoh dan menyalahkan orang Yahudi karena terpengaruh oleh pembelaan para keluarga seorang pencuri. Dikisahkan bahwa seorang muslim telah mencuri sebuah baju besi. Ketika perbuatannya itu hampir ketahuan, ia menjatuhkan barang curian tersebut ke rumah seorang Yahudi. Kemudian ia meminta kepada teman-temannya agar menjadi saksi bahwa orang Yahudi itulah yang mencuri. Rasulullah SAW membebaskan muslim itu berdasarkan kesaksian teman dan keluarga mereka dan menuduh orang Yahudi itu yang mencuri. Saat itu, turunlah ayat memberitahukan kepada Nabi Saw duduk perkara yang sebenarnya. Dalam konteks inilah turun firman Allah:

ولا تكن للخائنين خصيما

Artinya: Dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (Q.S. An-Nisa’: 105).

Dalam kapasitas sebagai seorang Nabi saja menuntut kecermatan penuh dalam menentukan benar-salah dan adil-tak adil, apalagi sebagai insan yang sangat kekurangan wawasan dan pengetahuan serta tidak adanya kesadaran untuk bertafakkur dan bertadabbur terhadap suatu phenomena/kasus lantas berani memvonis seseorang itu bersalah. Olehnya itu, perbaikilihah cara pandang dengan hati dan fikiran yang positif serta dibekali pengetahuan yang mendalam sebagai sarana untuk bertafakkur dan bertadabbur sebuah phenomena sebelum salah dalam memutuskan seseorang itu bersalah. Aamiin.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun