Freeport adalah gambaran Bhinneka Tunggal Ika. Di Papua sendiri, terdapat istilah "mujair", akronim dari merujuk pada muka Jawa asli Irian. Ini untuk menunjukkan betapa banyak orang yang seumur hidupnya telah ada di Papua. Selama ini, Freeport tidak pernah khawatir berkenaan dengan eksistensinya karena ada puluhan ribu pekerja bergantung hidup padanya. Freeport juga menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan (coporate social responsibiliy/CSR) bagi penduduk Papua
Freeport-Papua-Indonesia
Walau terasa menyakitkan, secara ekonomi Freeport diyakini lebih besar/ mampu dari Kabupaten Timika atau mungkin Papua. Bandara Internasional Mozes Kilangin di Timika adalah milik Freeport, demikian juga pelabuhan Amamapare. Kota Kuala Kencana Freeport tatanannya sangat indah. Olok-olok dari pekerja Freeport bahwa jika Pemda akan membangun, maka mereka berkonsultasi pada Freeport. Ini juga dapat menjadi pembelajaran.
Jika kita mendengar, mengapa Papua belum maju, seharusnya itu tidak ditujukan ke Freeport. Freeport hanyalah perusahaan, bukan wakil untuk mengelola pemerintahan. Mengapa infrastruktur buruk, fasilitas minim, itu seharusnya ditanyakan kepada pemerintah. Sebagai entitas bisnis, tentunya Freeport harus mematuhi hokum Indonesia, termasuk peraturan pajak, royalti, dividen, lingkungan, dan lain-lainl.
Jika Freeport telah menjalankan semuanya, maka tanggung jawab membangun Papua ada pada pundak pemda dan Pemerintah RI. Hukumlah Freeport jika perusahaan ini tidak memenuhi atau mematuhi peraturan/prasyarat yang berlalu. Tapi jika ada hal yang perlu dirundingkan, lakukan itu secara terhormat. Berunding secara terhormat bermakna tidak ada agency problem yang dilakukan wakil pemerintah untuk mendapatkan manfaat personal. Perlu orang suci yang pandai sebagai juru runding pemerintah. Dalam hal ini perlu diingat pula pengetok palu adalah pemerintah.
Untuk kegiatan bisnisnya, Freeport banyak bekerja sama dengan pebisnis lain (subkontraktor). Freeport memerlukan bahan peledak, truk, tenaga kerja, makanan dll. Setiap hari sebuah PT melayani makanan puluhan ribu karyawan Freeport. Perlu diketahui; siapakah mitra-mitra bisnis Freeport ini. Di Indonesia, para tokoh politik (juga pemerintahan), banyak berlatar belakang berbisnis. Jika mitra bisnis adalah pengambil keputusan (tokoh politik), ini yang dikhawatirkan terjadi conflik of interest.
Pemerintah fungsinya sebagai pengelola, dilarang berbisnis dengan perusahaan. Menjadi contoh yang baik jika pejabat publik meninggalkan bisnisnya ketika memasuki area pengabdian pada rakyat. Jangan justru area pengabdian pada masyarakat dijadikan ajang pintu bisnis. Hal ini mudah diucapkan dan tetapi sulit untuk dijalani. Apa yang terjadi dengan kehebohan skanda "papa minta saham" harusnya menjadi pintu masuk legal, untuk mengetahui siapa saja yang mendapatkan keuntungan dari Freeport.
Kita harus berempati pada mereka yang memulai sarapan paginya jam 03.00 dini hari, demi keluarganya. Meminta lebih dari Freeport adalah layak, jika dan hanya jika untuk Papua dan Indonesia. Apakah kita nantinya mampu mengelola Freeport jika kemudian perusahaan ini dinasionalisasi? Seorang pekerja Freeport menjawab, "Kita mampu secara teknis, hanya saja perebutan kue kepentingan menjadikan kita tidak mampu."
Sementara itu, seorang doktor manajemen stratejik menjawab: "Kita tidak bisa dan tidak mampu karena banyaknya lalat yang akan hinggap di kue yang sedap".
Saya dan rakyat yang lain berharap pemerintah segera mematahkan argumen kedua jawaban ini. Harapan ini dicanangkan di ketinggian 4.280 meter Gunung Grasberg, Timika, bahwa pertambangan Freeport dan berbagai kekayaan sumber daya alam negeri ini haruslah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Bukan jadi rebutan kaum elite dan para pemburu rente. (telah diterbikan di investor daily; dengan judul: freeport; papua dan indonesia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H