Mohon tunggu...
Said Iqbal
Said Iqbal Mohon Tunggu... Buruh - Presiden KSPI yang juga Presiden Partai Buruh

Posisi yang pernah dan sedang dijabat Said Iqbal adalah ketua serikat pekerja tingkat pabrik selama hampir 18 tahun, pimpinan serikat pekerja di tingkat cabang, tingkat wilayah provinsi, Sekretaris jenderal DPP FSPMI, Central Comittee Serikat Buruh Metal Sedunia (IMF) yang berkedudukan di Geneva Swiss, Wakil Presiden Serikat Pekerja ASEAN (ATUC) berkantor di Singapura, General Council Konfederasi Serikat Buruh Sedunia (ITUC) berkedudukan di Brussel Belgia, Presiden DPP FSPMI, Presiden KSPI, dan pengurus pusat ILO Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (International Labour Organization Governing Body) berkantor di Geneva, Swiss.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Penjelasan KSPI dan KSPSI atas Putusan Uji Formil UU Cipta Kerja

27 November 2021   14:29 Diperbarui: 27 November 2021   14:32 6849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis oleh: Said Iqbal dan Said Salahudin

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia mengajukan 2 (dua) Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja (UUCK) di Mahkamah Konstitusi. Pertama, permohonan Uji Formil dengan Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 atas nama Pemohon Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sdr. Riden Hatam Azis, dkk. Kedua, permohonan Uji Materiil dengan Perkara Nomor 101/PUU-XVIII/2020 atas nama Pemohon Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dkk

Sementara itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa UUCK inkonstitusional dituangkan dalam perkara uji formil, yaitu Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan oleh pihak lain.

Sekalipun Putusan Mahkamah Konstitusi dituangkan dalam perkara lain, tetapi dasar-dasar pertimbangan yang dituangkan oleh MK pada putusan tersebut merujuk atau sekurang-kurangnya mengakomodir hampir seluruh dalil, argumentasi, konstruksi hukum, kesaksian, keterangan ahli, alat-alat bukti, serta fakta-fakta persidangan yang digali oleh Kuasa Hukum KSPI dalam Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 atas nama Pemohon Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sdr. Riden Hatam Azis, dkk.

Bukti bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 merujuk atau sekurang-kurangnya mengakomodir dalil, argumentasi, konstruksi hukum, kesaksian, keterangan ahli, alat bukti, serta fakta-fakta persidangan yang digali oleh Kuasa Hukum KSPI dapat dilihat pada dokumen Permohonan serta risalah-risalah persidangan Perkara Nomor 6/PUU-XIX/2021 atas nama Pemohon Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Sdr. Riden Hatam Azis, dkk.

Bukti bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020 merujuk atau sekurang-kurangnya mengakomodir dalil, argumentasi, konstruksi hukum, kesaksian, keterangan ahli, alat bukti, serta fakta-fakta persidangan yang digali oleh Kuasa Hukum KSPI antara lain terkait dengan:

  • Fakta hukum bahwa pembentukan UUCK terbukti cacat formil;
  • Fakta hukum bahwa pembentukan UUCK terbukti tidak sesuai dengan Prolegnas;
  • Fakta hukum bahwa pembentukan UUCK terbukti tidak disertai dengan adanya Naskah Akademik;
  • Fakta hukum bahwa Naskah Akademik UUCK terbukti tidak dapat diakses oleh masyarakat. Hal ini antara lain pernah disampaikan oleh Presiden KSPI Said Iqbal saat menjadi Saksi Fakta dalam persidangan;
  • Fakta hukum bahwa pembentukan UUCK terbukti mengabaikan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful pasticipation) sehingga tidak memenuhi asas keterbukaan. Hal ini antara lain pernah disampaikan oleh Presiden KSPI Said Iqbal saat menjadi Saksi Fakta dalam persidangan dan diperkuat oleh Saksi Ahli yang dihadirkan oleh KSPI;
  • Fakta hukum bahwa pembentukan UUCK terbukti tidak memenuhi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan secara akumulatif;
  • Fakta hukum bahwa UUCK terbukti tidak memiliki kejelasan bentuk: apakah sebagai UU baru, UU perubahan, atau UU pencabutan;
  • Fakta hukum bahwa UUCK terbukti dibentuk dengan tata cara, prosedur, dan mekanisme yang tidak sesuai dengan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan yang pasti, baku, dan standar sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), antara lain terkait dengan: Perumusan judul UU, Sistematika rumusan dalam ketentuan penutup, Metode omnibus law, dan lain sebagainya.
  • Fakta hukum bahwa metode omnibus law terbukti tidak dibenarkan karena tidak didahului dengan adanya perubahan terhadap UU PPP;
  • Fakta hukum bahwa materi UUCK terbukti mengalami perubahan sehingga menciptakan ketidakpastian hukum.

SUBSTANSI PUTUSAN MK 

MK secara tegas menyatakan bahwa UUCK cacat formil karena tidak sesuai dengan UUD 1945. Hal ini sebagaimana dinyatakan secara gamblang dalam pertimbangan Putusan angka 3.19, halaman 412, yang isinya: [3.19] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, oleh karena terhadap tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.

MK secara tegas menyatakan UUCK inkonstitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal ini dinyatakan dalam Amar ke-3 Putusan MK. Disini poin pentingnya.

Bahwa kemudian MK menyatakan inkonstitusionalitas UUCK bersifat inkonstitusional bersyarat, hal itu disebabkan karena MK mempertimbangkan adanya persoalan obesitas regulasi dan tumpang-tindih aturan yang dialami oleh pemerintah terkait dengan kebutuhan investasi.

Oleh sebab itu, MK memberi syarat kepada pemerintah jika persoalan tersebut ingin diatasi, maka pemerintah bersama DPR selaku pembentuk UU harus melakukan perbaikan dalam kurun waktu paling lama 2 (dua) tahun.

Perbaikan apa yang diperintahkan oleh MK? Jawabannya adalah pembentuk UU harus terlebih dahulu memperbaiki UU PPP sebagai landasan hukum pembentukan omnibus law, baru setelah itu membentuk UUCK yang sesuai dengan tata cara yang diatur dalam revisi UU PPP. Hal itu dapat dilihat dari uraian butir 3.20.2, halaman 413 pertimbangan Putusan MK sebagai berikut: [3.20.2] Bahwa pilihan Mahkamah untuk menentukan UU 11/2020 dinyatakan secara inkonstitusional secara bersyarat tersebut, dikarenakan Mahkamah harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan sebuah undang-undang yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan undang-undang yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Di samping itu juga harus mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya UU a quo. Oleh karena itu, dalam memberlakukan UU 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap keberlakuan UU 11/2020 a quo, sehingga Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU 11/2020 berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar di dalam membentuk undang-undang omnibus law yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan.

Pertanyaan berikutnya adalah: implikasi hukum apa yang terjadi sejak putusan MK dibacakan sampai dengan berakhirnya tenggang waktu 2 (dua) tahun yang diberikan oleh MK kepada Pembentuk UU? Jawabannya adalah selama kurun waktu itu, UUCK belum dibatalkan. Dia masih dinyatakan berlaku tetapi dengan pemberlakuan yang bersifat limitatif.

Parameter limitatif disini menyangkut 2 (dua) hal. Pertama, terkait dengan tempusnya. Dari sisi waktu UUCK berlaku maksimal 2 (dua) tahun. Apabila dalam jangka waktu tersebut Pembentuk UU tidak melakukan perbaikan, maka sifat inkonstitusional bersyarat UUCK berubah menjadi inkonstitusional permanen. Sehingga, segala aturan yang diubah atau dicabut oleh UUCK harus diberlakukan kembali. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam amar ke-4, amar ke-5, dan amar ke-6 Putusan MK.

AMAR PUTUSAN

  • Menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini;

  • Memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) menjadi inkonstitusional secara permanen;

  • Menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) dinyatakan berlaku kembali;

Parameter limitatif yang kedua adalah terkait dengan substansi dan implementasi UUCK berikut aturan turunannya. Terhadap hal ini dinyatakan MK pada amar putusan ke-7 yaitu sebagai berikut:

Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

Untuk memahami maksud dari amar putusan ke-7 itu dapat dilihat pertimbangan MK yang dinyatakan pada butir 3.20.5, halaman 414 yaitu sebagai berikut: [3.20.5] Bahwa untuk menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama tenggang waktu 2 (dua) tahun tersebut Mahkamah juga menyatakan pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu, termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas dengan mendasarkan pada norma UU 11/2020 yang secara formal telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat tersebut.

Dengan demikian sangatlah jelas bahwa maksud dari amar ke-7 Putusan MK adalah sebagaimana diuraikan dalam butir 3.20.5, halaman 414 yaitu MK tidak menginginkan berlakunya UUCK selama 2 (dua) tahun ke depan akan menimbulkan dampak yang lebih besar sehingga untuk menghindari munculnya masalah tersebut MK dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan UUCK yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu.

Pertanyaannya: Apa yang dimaksud oleh MK dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas? Bagi buruh, dimaksud dengan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas adalah segala pengaturan yang terkait dengan soal pengupahan, soal pekerja kontrak (PKWT), soal outsourching, soal pesangon, soal PHK, soal tenaga kerja asing, dan pengaturan mengenai hari kerja dan cuti.

Oleh sebab itu, dengan mendasari pada pertimbangan hukum MK sebagaimana dinyatakan pada angka 3.20.5 dan amar putusan yang dinyatakan pada butir ke-7, maka KSPI meminta agar seluruh pengaturan ketenagakerjaan yang diatur dalam UUCK berikut aturan turunannya harus ditunda atau ditangguhkan pelaksanaannya.

Dengan demikian, implikasi hukum atas penundaan atau pengangguhan aturan UUCK berikut aturan turunannya itu adalah pengaturan mengenai upah, pekerja kontrak, outsourching, pesangon, PHK, tenaga kerja asing, hari kerja, dan pengaturan soal cuti harus tetap merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan peraturan pelaksanaannya.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun