Pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen. Sontak kenaikan tersebut mendapat penolakan dari masyarakat.
Ada beberapa alasan mengapa kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini ditolak.
Pertama, kenaikan ini membuat daya beli masyarakat jatuh. Sebagai contoh, untuk peserta kelas III rencananya naik dari 25 ribu menjadi 42 ribu. Jika dalam satu keluarga terdiri dari suami, istri, dan 3 orang anak (satu keluarga terdiri dari 5 orang) maka dalam sebulan mereka harus membayar 210 ribu.
Bagi warga Jakarta dengan standard upah minimum atau penghasilan sebesar 3,9 juta, mungkin tidak memberatkan. Walaupun mereka juga belum tentu setuju dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Tetapi bandingkan dengan kabupaten/kota yang upah minimumnya di kisaran 1,5 juta, mereka pasti akan kesulitan untuk membayar iuran tersebut. Misalnya masyarakat di daerah seperti Ciamis, Pangandaran, Sragen, dan lain-lain.
Bagi daerah yang upah minimumnya di kisaran 1 juta, satu keluarga yang terdiri dari 5 anggota keluarga harus mengeluarkan biaya lebih dari 20 persen dari penghasilan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan.
Tentu saja hal ini akan sangat memberatkan. Apalagi itu adalah uang yang hilang. Dalam artian mau dipakai atau tidak, uangnya tidak bisa diambil kembali.
Dengan kata lain, knaikan iuran BPJS Kesehatan akan membuat daya beli masyarakat jatuh. Apalagi tingkat upah minimum tiap-tiap daerah berbeda.
Kedua, BPJS Kesehatan adalah jaminan kesehatan dengan hukum publik. Ia bukan PT atau BUMN yang bertugas untuk mencari keuntungan.
Dengan kata lain, jika mengalami kerugian, sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menutup kerugian tersebut.
Apalagi hak sehat adalah hak rakyat. Sebagai hak rakyat, maka tugas pemerintah adalah memberikan hak tersebut.