Oleh: Ir. H. Said Iqbal, ME *)
Tahun depan, Asean Economic Community (AEC) akan diberlakukan. Dengan diberlakukannya AEC, tidak bisa tidak, Indonesia akan ikut serta didalam pasar bebas Asean. Persaingan antar negara semakin terbuka. Sebagai konsekwensi dari globalisasi, kita tidak bisa menghindar dari situasi ini. Yang bisa kita lakukan adalah memastikan agar AEC Â bermanfaat bagi seluruh rakyat.
AEC membuat pasar menjadi semakin luas. Karena setiap negara bebas memasarkan produknya ke negara lain, nyaris tanpa biaya masuk. Jika kita berhasil memanfaatkan peluang ini, akan sangat berpotensi menjadikan ekspor kita meningkat. Ketika ekspor meningkat, harapannya pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat, tenaga kerja akan banyak yang terserap. Pengangguran bisa diturunkan.
Tentu saja, manfaat dari AEC tidak hanya dirasakan oleh dunia perburuhan. Masyarakat, dalam hal ini sebagi konsumen, juga akan mendapat harga barang dengan murah. Ini sebagai akibat dari persaingan antar negara untuk merebut pasar. Tidak ada lagi monopoli. Setiap produsen akan menjual barang dengan harga bersaing. Mereka tidak bisa lagi seenaknya memasang harga tinggi.
Tetapi, jangan senang dulu dengan manfaat itu. Sebab itu masih dalam bayang-bayang. Dan lagi pula, manfaat itu tidak serta merta kita dapat. Salah-salah, AEC justru akan membuat buruh dan rakyat Indonesia semakin terpuruk. Daya saing rendah dan negara ini hanya menjadi pasar bagi negara luar.
Menurut penulis, ada dua syarat yang harus terpenuhi agar manfaat tersebut didapat. Syarat pertama, upah buruh harus layak. Sedangkan syarat yang kedua, adanya jaminan sosial bagi seluruh rakyat. Kedua syarat ini merupakan bentuk tanggung jawab dari Pemerintah. Menjadi proteksi ketika masyarakat belum memiliki posisi tawar yang tinggi untuk bersaing di kancah global.
Upah Layak
Pemerintah tidak boleh lagi berorientasi terhadap upah murah. Upah murah menyebabkan daya beli menjadi rendah. Ketika daya beli rendah, maka rakyat tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Upah rendah di Indonesia terjadi akibat pemberlakuan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang hanya 60 item, upah di Indonesia saat ini masih sangat rendah. Selain hanya 60 item, kualitas dan kuantitas KHL juga tidak masuk akal. Dimana dalam satu bulan buruh hanya dijatah makan ikan hanya 5 potong, beras 10 Kg dan daging 0,7% Kg. Dalam item KHL yang sekarang, buruh tidak punya televisi dan kipas angin di kontrakannya yang sempit.
Item-item itu tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh buruh. Maka wajar jika buruh selalu nombok biaya hidupnya. Jika buruh, yang notabene sebagai orang yang bekerja dan mendapatkan upah saja masih nombok (kurang), bagaimana dengan element masyarakat yang lain? Pasti akan lebih terpuruk.
Bagaimana mungkin kita membiarkan rakyat Indonesia akan bersaing dalam AEC disaat daya beli mereka terpuruk?
Oleh karena itu, kita harus melawan eksploitasi buruh terhadap upah murah. Manusia hidup dan bekerja adalah untuk mencari upah layak. Jika bukan karena upah, rasanya tidak akan ada orang yang bersedia menjadi buruh. Oleh karena itu, kebijakan negara juga harus mengarah kepada upah layak.
Negara tidak boleh membuat kebijakan yang bersifat charity atau bantuan sosial. Seolah-oleh pemerintah mejadi sinterklas bagi rakyatnya yang hanya sekedar memberikan gula-gula saja. Ini hanya bersifat sementara, dan lagi pula seringkali tidak tepat sasaran. Sementara yang dibutuhkan adalah kebijakan jangka panjang dan bersifat menyeluruh bagi seluruh rakyat.
Pada akhirnya, tuntutan buruh agar kenaikan upah di tahun 2015 sebesar 30 persen dan merubah item KHL menjadi 84 item adalah tuntutan yang mendasar.
Mengapa tuntutan kenaikan upah masih saja diperjuangkan oleh kaum buruh?
Sederhana saja, upah buruh di Indonesia jika dibandingkan dengan upah buruh pada negara di Asean masih sangat rendah. Upah minimum buruh di Indonesia, yang tertinggi hanya 2,4 juta. Jauh teringgal dengan upah buruh di Thailand yang sebesar 3,2 juta, Philipina 2,6 juta, dan Malaysia yang mencapai 3,2 juta.
Kenaikan upah sebesar 30% adalah dalam rangka mengejar ketertinggalan upah kita dengan negara-negara Asean yang lain, seperti Thailand, Philipina dan Malaysia.
Jika dibandingkan dengan upah buruh Kamboja dan Vietnam yang besar upah minimumnya sekitar 1,8 juta, sedangkan upah buruh di Jakarta saat ini mencapai 2,4 juta, memang upah buruh di Jakarta masih lebih besar. Tetapi ingat, Indonesia bukan hanya Jakarta. Upah buruh di Sukabumi, Subang, Semarang, upah masih sangat rendah. Bahkan lebih rendah dari upah buruh di Kamboja dan Vietnam. Maka sangat keliru jika ada yang mengatakan upah buruh di Indonesia sudah terlalu tinnggi. Upah kita bahkan masih lebih rendah dari negara-negara Asean yang lain.
Ketimbang menentang keinginan buruh untuk mendapatkan upah layak, pemerintah seharusnya membuat zona-zona industri. Misalnya, untuk industri padat karya (labour intensive) didorong untuk masuk ke daerah dengan upah yang rendah. Sedangkan industri padat modal (kapital intensive) didorong untuk berada di daerah dengan infastruktur yang lebih baik, seperti Jabodetabek, Batam, Medan, dan Surabaya.
Tanggungjawab Pemerintah adalah menyiapkan infrastruktur. Membangun pelabuhan dan jalan agar industri bisa berkembang. Sehingga pada saatnya nanti akan didapatkan pemerataan.
Jadi, sekali lagi, solusinya bukan dengan menekan upah buruh.
Jaminan Sosial
Syarat kedua yang harus dipenuhi untuk menghadapi AEC adalah dengan memberikan jaminan sosial. Baik dalam bentuk jaminan kesehatan maupun jaminan pensiun.
Pekerja formal wajib mendapatkan jaminan pensiun. Apalagi, saat ini, sebanyak 99,05% buruh tidak memiliki jaminan pensiun. Sebuah angka yang sangat memprihatinkan, mengingat nyaris seluruh pekerja formal tidak mendapatkan jaminan pensiun.
Memang, berdasarkan Undang-undang tentang BPJS, per 1 Juli 2015 nanti, jaminan pensiun menjadi wajib. Tetapi hingga saat ini, masih banyak pengusaha yang enggan membayar jaminan pensiun. Hal ini diperparah dengan konsep pemerintah tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Jaminan Pensiun yang hanya memberikan jaminan pensiun hanya sebesar 25%. Padahal, PNS dan TNI/Polri mendapatkan manfaat jaminan pensiun sebesar 60 - 70%. Dengan demikian, penulis berpendapat, manfaat jaminan pensiun untuk buruh formal serendah-rendahnya adalah sama dengan yang didapat oleh PNS dan TNI/Polri. Termasuk nilai iurannya juga harus sama.
Jika upah layak dan jaminan sosial diberikan, barulah kita memasuki pasar Asean Economic Community dengan optimis. Jika tidak, penulis mengkhawatirkan AEC menyebabkan pemiskinan struktural terhadap rakyat dan buruh Indonesia.
Apalagi, konsep AEC adalah menekankan pada pertumbuhan ekonomi. Tetapi faktanya, setidaknya di Indonesia, pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh kalangan pekerja. Mayoritas pekerja masih dibayar dengan upah rendah, penggunaan outsourcing yang berlebihan, serta tidak ada perlindungan sosial.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat. Tahun 2012 sebesar 6,1%, tahun 2013 sebesar 6,3% dan tahun 2014 sekitar 6%. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, akan tetapi gini rasio juga meningkat, yaitu tahun 2012 sebesar 0,36, tahun 2013 naik menjadi 0,39 dan tahun 2014 menjadi 0,41. Ini berarti pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati middle upa class dan klas menengah bawah, dalam hal ini buruh, upah riilnya makin turun. Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.
Jadi, selain pertumbuhan ekonomi, juga harus dilakukan upaya nyata untuk memperkecil angka gini rasio. Dan upaya untuk memperkecil gini rasio adalah dengan menaikkan upah. Maka tidak berlebihan jika kemudian KSPI menuntut agar KHL yang semula 60 item segera direvisi menjadi 84 item. Sekaligus menaikkan upah sebesar 30 persen pada tahun 2015.
Bersamaan dengan upah naik, manfaat jaminan pensiun untuk pekerja formal harus disamakan dengan PNS dan TNI/Polri. Dimana manfaat (benefit) pensiun untuk pekerja formal sebesar 75% dari upah terakhir per bulan. Jaminan kesehatan gratis untuk seluruh rakyat dengan cara meningkatkan anggaran PBI. Dan yang terakhir adalah tidak melakukan kebijakan menaikkan harga BBM. Karena kenaikan harga BBM akan menurunkan daya beli rakyat dan buruh. Dimana setiap kenaikan harga BBM sebesar 3.000 per liter, itu akan menurunkan 50% daya beli buruh. (*)
Said Iqbal
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H