Mohon tunggu...
Saidi Rifky
Saidi Rifky Mohon Tunggu... -

Born in Sukabumi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tragedi QZ8501, Salah Siapa?

4 Januari 2015   16:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:50 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir tahun 2014 duka kembali menyelimuti dunia penerbangan khususnya Indonesia. Tepat pada tanggal 28 Desember 2014 sebuah pesawat Air asia dengan kode penerbangan QZ8501 hilang kontak sekitar pukul 06.00 pagi atas perairan Selat Karimata. Meski sudah ada titik terang dengan ditemukannya beberapa jenazah dan serpihan pesawat, tetapi penyebab jatuhnya Air Asia menjadi pertanyaan besar dan masih menjadi misteri hingga saat ini. Banyak spekulasi penyebab jatuhnya pesawat, ada yang mengatakan disebabkan oleh awan cumulonimbus, human error,bahkan yang lebih parah lagi mengatakan adanya konspirasi dari pihak lain karena kepentingan tertentu. Selama black box yang menjadi kunci kebenaran penyebab jatuhnya pesawat tersebut belum bisa ditemukan maka sekian banyak prasangka diatas akan terus bermunculan.

Banyaknya spekulasi yang ada kemudian mengerucut kepada satu hal yang bisa dikatakan lebih ilmiah yaitu awan cumulonimbus. Gumpalan awan besar inilah yang dikaitkan sebagai penyebab jatuhnya pesawat air asia. Menurut ilmu geologi, awan Cumulonimbus adalah sebuah awan tebal vertikal yang menjulang sangat tinggi, padat, mirip gunung atau menara. Awan ini terlibat langsung dalam badai petir dan cuaca ekstrem lainnya. Awan ini terbentuk sebagai hasil dari ketidakstabilan atmosfer. Cumulonimbus terdiri dari tetes-tetes air pada bagian bawah dan tetes-tetes salju (kristal-kristal es) pada bagian atas.

Jika kita runut lebih lanjut, maka penarikan kesimpulan ada pada kata “ketidakstabilan atmosfer” yang merupakan akibat dari perubahan iklim dan turut berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Perubahan iklim tersebut menciptakan perubahan temperatur yang ada. Saat ini temperature udara selama 100 tahun mengalami peningkatan 1,4 derajat Celsius (bulan kering) dan 1,04 derajat Celsius (bulan basah) khsususnya untuk wilayah perkotaan seperti Jakarta.

Pemanasan lokal yang terjadi kemudian akan meningkatkan suhu udara permukaan sebagai penyebab ketidakstabilan atmosfer tadi, tingkat penguapan akan semakin tinggi yang akan berpengaruh terhadap curah hujan dan pergerakan angin. Sebagaimana kita ketahui bahwa awan cumulonimbus tersebut merupakan kesatuan awan-awan yang dikumpulkan oleh angin.

Kesimpulannya adalah jika memang benar penyebab jatuhnya pesawat adalah awan cumulonimbus, maka kita tidak perlu terlebih dahulu menyalalahkan Tuhan atas sebuah takdir, karena takdir itu setelah upaya kita.

Kecelakaan pesawat tersebut bisa saja tak terjadi jika kita bisa meminimalisir peningkatan temperatur udara sebagai penyebab ketidakstabilan atmosfer yang sudah dijelaskan di atas. Upaya tersebut bisa dilakukan dengan menjaga lingkungan dan sebagainya, agaknya kita tidak perlu menyebutkan macam dan penyebab kerusakan alam yang sudah sangat parah ini.

Nah, dari situlah kita bertanya, apakah upaya tersebut sudah dilaksanakan, jika belum, tanyakan kepada diri kita. Rasanya tidakl layak jika setiap kejadian kita selalu mengkambing hitamkan takdir, sedangkan dalam diri kita masih terdapat sisi kemunafikan yang secara tidak sadar terus melakukan keburukan sebagai penyebab setiap masalah yang berdampak besar. (bersambung…)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun