Mohon tunggu...
Said Aqil Siroj
Said Aqil Siroj Mohon Tunggu... -

Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Radikalisme Agama, Bisakah Kita Serius Menanganinya?

21 April 2011   08:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:33 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Radikalisme Agama, dalam pengertian konotatifnya sebagai ide dan praktik kekerasan bermotif agama, bukan lah sesuatu yang baru di negeri ini. Mestinya negeri ini sudah kenyang pengalaman,  namun mengapa pemerintah selalu terlihat kedodoran?

Pihak yang paling bertanggung jawab terhadap penanganan radikalisme agama di Indonesia ialah Pemerintah Republik Indonesia. Dalam hal ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak sekadar memegang peran strategis, namun tanggung jawab yang besar. Sebagai kepala pemerintahan yang dipilih secara sah oleh lebih dari separuh warga negara, Presiden SBY wajib melindungi dan menjamin hak hidup segenap penduduk Indonesia.

Dari serangkaian kasus yang terus terjadi hingga hari ini muncul kesan pembiaran. Penanganan yang dilakukan aparatur pemerintah selama ini cenderung reaksioner. Dari hari ke hari kasus radikalisme terus menerus terjadi, tanpa diketahui ukuran keberhasilan penanganan yang dicapai oleh pemerintah. Hal itu memunculkan dugaan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani radikalisme agama.

Salah satu akibatnya, muncul kesan bahwa radikalisme agama justru menjadi komoditas politik yang berfungsi secara signifikan sebagai pengalih isu dan opini publik. Baru-baru ini, sebagai contoh, dua kasus yang menyentak perhatian publik, yakni peristiwa di Banten dan Temanggung secara drastis meredam arus pemberitaan yang tengah gencar melancarkan kritik terhadap kinerja pemerintah. Hingga hari ini pengusutan dan penegakan hukum atas apa yang terjadi di Temanggung dan Banten tidak kunjung menunjukkan hasil yang bisa dibanggakan. Pengabaian semacam ini juga terjadi hampir di semua kasus yang bermotif radikalisme agama.

Meredam Radikalisme

Sebagai kesatuan paham dan gerakan, radikalisme agama tidak mungkin dihadapi dengan tindakan dan kebijakan yang parsial. Dibutuhkan perencanaan kebijakan dan implementasi yang komprehensif dan terpadu. Problem radikalisme agama merentang dari hulu ke hilir.

Saya memandang penanganan radikalisme agama idealnya menempuh langkah legal-formal dan langkah kebudayaan sekaligus. Pendekatan legal-formal mengasumsikan tanggung jawab negara melalui koridor konstitusi dan prosedur hukum yang ada. Di situ,pemerintah mestinya memandang tanggung jawab melindungi hak hidup warga negara dan menjaga keutuhan NKRI sebagai harga mati. Empat pilar yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika mesti ditegakkan setegak-tegaknya.

Membiarkan radikalisme agama berkembang sama artinya sengaja membiarkan pelanggaran demi pelanggaran kemanusiaan terjadi di waktu-waktu mendatang. Pembiaran semacam ini dengan sendirinya merupakan pelanggaran hak secara pasif. Bukan tidak mungkin, nalar masyarakat justru bertanya-tanya, apakah radikalisme agama dengan sengaja justru dipelihara? Apakah radikalisme agama merupakan bagian dari sebuah desain besar untuk meraih dan sekaligus mengamankan kepentingan politik tertentu?

Dalam hal ini, Kementerian Agama yang berkewajiban menjadi "penghulu" semua agama justru sering berada dalam posisi yang berat sebelah dan cenderung merugikan kaum minoritas. Kita tidak melihat ada kebijakan yang bersifat preventif dari Departemen Agama. Sebagian besar kebijakan masih bersifat reaksioner dan sekaligus justru menyuburkan potensi kekerasan yang sudah ada. Peran intelijen dan kepolisian juga patut dipertanyakan. Seolah-olah, Intelijen dan Kepolisian selalu kecolongan dan kebobolan. Kita tak habis pikir, mengapa kasus demi kasus terjadi dan segera menjadi kehebohan di media massa. Dalam sekali pukul, ia kemudian menjelma kecemasan bagi publik luas.

Dari sekian catatan buruk yang ada, tentunya Kepala Pemerintahan harus bisa mengambil langkah taktis, strategis, fundamental, dan tegas. Ini mutlak, sekali lagi, karena bersandar pada hak warga negara dan keutuhan NKRI yang diamanatkan oleh konstitusi. Presiden sudah barang tentu tidak ingin dianggap tak serius menangani deradikalisasi agama. Karenanya, upaya deradikalisasi agama tidak boleh sebatas menjadi simbol atau penghias media saja tanpa adanya "kerja nyata".

Bagaimana dengan langkah kebudayaan? Pertama-tama mesti dimengerti bahwa fakta sejarah keagamaan nusantara berada pada suatu kontinuum persilangan budaya. Kalau kita mau jujur, wajah keagamaan di Indonesia menemui kematangannya justru karena ia telah bersalin rupa dalam paras nusantara. Islam, sebagai misal, hadir dan berkembang di Nusantara selama berabad-abad melalui jalur kebudayaan. Islam Nusantara adalah wujud kematangan dan kedewasaan Islam universal. Secara empiris, ia terbukti bisa bertahan dalam sekian banyak kebudayaan non-arab. Ia bahkan ikut menciptakan ruang-ruang kebudayaan yang sampai hari ini ikut dihuni oleh mereka yang non-muslim sekalipun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun