Mohon tunggu...
Saibansah Dardani
Saibansah Dardani Mohon Tunggu... Wartawan -

Warga Batam, Pengamat Perbatasan, Pecinta Jurnalistik. "Aku Menulis, Maka Aku Ada." saibansahdardani@yahoo.com 0816-1379708 atau 082171208791 WA : 0851-01221734

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Singgah Kemari, Don

29 Januari 2016   09:04 Diperbarui: 29 Januari 2016   10:28 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

INI bukan Sicilia, kenapa kau minta disapa Don Memeto. Ini bumi Melayu yang dibangun di atas keluhuran budaya dan kearifan Gurindam Dua Belas. Jadi, aku tetap akan panggil kamu, Memet.

Ada perubahan ekspresi di wajah Memet. Ia seperti menahan gempuran amarah di dadanya yang hendak meledak, tapi ia tekan kuat-kuat. Sehingga lidah gelombang amarah itu tampak begitu jelas di ekspresi wajahnya.

“Kalau bukan karena kita kawan sejak kecil, mungkin kamu sudah aku karungin Mat.”

Suara Memet dari dulu memang berat dan berwibawa. Perubahan itu seingatku ketika mulai tumbuh jakun di tenggorokannya. Seiring dengan itu, prabowo yang terpancar dari wajahnya pun semakin kuat. Ya, aura seorang pemimpin ada pada dirinya. Itulah sahabatku, Memet.

Sebelas tahun tak bertemu, begitu banyak yang telah berubah. Dulu, ketika masih sama-sama di Cianjur, aku dan Memet aktif di karang taruna dan remaja musholla. Sehingga praktis hampir semua kegiatan di kampung tak ada yang tak melibatkan kami. Aku dan Memet memang sahabat sejak kecil.

Perjumpaan tak sengaja di Pelabuhan Kijang seperti membuka lembaran baru persahabatanku dengan Memet. Aku bersama dengan belasan lelaki dari berbagai daerah di Jawa Barat memiliki tujuan yang sama, Malaysia. Ya, negeri itu terlanjur menjadi negeri impian kami. Ada harapan besar yang ingin kami raih di negeri itu.

Begitu kakiku menjejak bumi Melayu, aku seperti mencium aroma ringgit yang selalu kami bincangkan dengan Rahmah, istriku. Sebulan ini, aku dan Rahmah tak pernah lupa merajut mimpi.

“Nanti kalau aa’ pulang dari Malaysia, aa’ akan bawa banyak uang ringgit, lalu kita beli sawah abah haji Rustam, setelah itu kita tak perlu lagi jadi buruh tani Mah.”

“Insyaallah a’, mudah-mudahan Allah mendengar do’a kita ya a’.”
“Amien.”

“Mamat.”

Aku mencari sumber suara yang memanggil namaku. Aku sapu sekitarku, ternyata suara itu berasal dari seorang lelaki berperawakan tinggi dan berisi. Ia memakai kacamata hitam dan jaket juga hitam. Bersepatu seperti coboy atau rocker, entahlah. Yang pasti aku sangat kenal dengan pemilik suara itu, Memet.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun