Mohon tunggu...
Sahyoni
Sahyoni Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pemerhati Sosial

Rakyat Badarai

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Moge masuk Tol, why not?

31 Januari 2025   10:59 Diperbarui: 31 Januari 2025   10:59 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Moge (sumber: Pexels by Javier Aguilera)

"Moge itu kendaraanya para raja" Ucap ku suatu hari pada saat kongkow dengan warga setempat di warung kopi. Mereka sewot. Bahkan sebagian protes keras dengan pernyataan ku, salah satunya ketua LSM lokal yang sangat vokal bicara keadilan. Mereka meminta saya untuk menjelaskan dan mempertanggungjawabkan statement saya tersebut.  Saya punya beberapa alasan, yang pertama adalah terkait nomenklatur atau bahasa sederhananya penamaan. Secara nomenklatur kata moge terdiri dari 2 suku kata yakni "mo" dan "ge" yang kepanjanganya adalah motor gede. Coba cari nama kendaraan di Indonesia yang biasa kita pakai yang memakai singkatan dua suku kata. Begitu jelasku kepada para "audien" yang berada di warung tersebut. Mereka terdiam  untuk sementara waktu; apakah terdiam lagi mikir nyari jawaban atau berusaha mencari bantahan yang lain. Kalau Supra Bapak apakah ada yang menyingkat dengan istilah "suba"?  beat karbu menjadi "beka" Astrea Grand menjadi "Asgan" atau Supra Fit disebut "Sufit"? Sependek pengetahuan saya tidak ada.  Karena spesies ini langka dan tidak banyak ditemui di masyarakat pada umumnya seperti kita, makanya dia menjadi istimewa. Tidak ada jenis kendaraan di Indonesia yang penamaannya diambil dari singkatan dua suku kata selain moge, sejauh ini. Sudah lumrah dalam alam bawah sadar kita bahwa sesuatu yang langka pasti istimewa. Kita ambil contoh Albert Einstein seorang saintis terkemuda di dunia karena saking cerdas dan pintarnya, tidak ada yang mampu menyaingi kepintarannya makanya dia langka dan pasti istimewa.

"Seperti lambo untuk mobil lamborgini ya Bang" celutuk seorang mahasiswa semester 14 yang suka ikut demo, dari pojok meja.

 "Ya, betul sekali, ini lebih istimewa lagi dari satu nama bisa menghasilkan istilah yang baru lagi".

Aku bersyukur akhirnya penjelasanku mulai bisa ditangkap oleh para audien. Artinya mereka mulai bisa menerima bahwa moge itu kendaraan para raja. Ya paling tidak penjelasanku terkait penamaan bisa diterima. Tak lama kemudian dua orang sebelah si mahasiswa mulai mengangguk tipis. Secara psikologi itu artinya dia setuju dengan penjelasanku barusan. Profesor ku dulu memberikan pesan; kalau masyarakat awam mengerti apa yang kita jelaskan kita maka sudah dipastikan kita pintar menerangkan sesuatu dan bahasa yang kita gunakan universal untuk semua kalangan.

                Kedua dari sisi fungsi kendaraan itu sendiri. Moge tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi tapi juga simbol status sosial pemiliknya. Kalau dikalkulasikan fungsi moge sebagai alat transportasi hanya 10 persen saja. Ya hanya 10 persen, sisanya lebih kepada simbol level "perekonomian" seseorang. Setahu saya moge tidak pernah dipakai untuk membeli gas elpiji 3 kg yang ada tulisan hanya untuk orang miskin. Seumur-umur saya yang sudah mencapai kepala empat ini belum pernah melihat langsung atau mendengar cerita dari kawan moge dipakai sama yang empunya untuk beli gas elpiji. Tapi kalau beat karbu sangat sering dipakai, setiap habis gas malahan. Tidak hanya satu tapi bisa dua atau tiga biji sekalian. Okelah gas elpiji mungkin terlalu berbahaya dengan mesin moge, bagaimana dengan galon? Pernah kah pengguna moge menjemput galon isi ulang 5000-an menggunakan moge. Mustahil sepertinya. Tapi kalau Supra Bapak sudah lelah sekali antar jemput galon air isi ulang. Malahan beberapa depot isi ulang menggunakan supra bapak sebagai transportasi utama antar jemput galon para konsumen.  Elpiji 3 kg dan galon terlalu berat dan berbahaya untuk pengguna moge, sekarang yang terakhir sayur-mayur. Sepertinya sangat jarang juga pengguna moge bawa sayur yang dibungkus kresek bening tergantung dicantolann sebelah kanan seperti pada supra bapak. Memang tidak ada, lha wong cantolannya tidak ada. Sampai disini pahamkan mengapa hanya 10 persen saja moge digunakan sebagai alat transportasi dalam kehidupan sehari-hari. Itu pun digunakan untuk acara touring dan iven tertentu saja yang jalannya mesti pada aspal grade A.  Sementara sisanya yang 90 persen lebih kepada simbol kekayaan, kedudukan, dan kemewahan.  

                Ketiga pengendara moge harus memenuhi "standar" fisik dan estetika tertentu yang tidak semua orang punya.  Untuk masyarakat awam yang biasa makan beras raskin atau sembako bansos tidak bisa mengendari moge dikarenakan berat badan kurang. Begitu juga  dengan orang seperti saya yang seharian jadi buruh di sawah orang lain yang sarapan dan makan siangnya cukup dengan ikan asin goreng. Apalagi untuk yang suka begadang memikirkan sulitnya mencari pekerjaan sementara anak empat yang butuh biaya sekolah. Tidak cocok sama sekali karena emosi dan berat badan tidak stabil. Selain kriteria fisik ada juga parameter estetika. Bagi kita yang bajunya "satu untuk semua" maksudnya satu baju bisa dipakai untuk pergi kondangan, rapat RT, pasar, nongkrong, jumatan, nyoblos, itu tidak estetik apalagi kaos partai. Kalau kaos kerah polo yang seharga 500 lebih, atau jaket kulit asli yang harganya setara SPP 1 semester di kampus negeri itu baru bisa. Karena pakaian ini bisa menahan angin jalanan dan lebih elegan dilihat mata orang banyak. Masa iya naik moge pakai kaos partai.  

Menurut Training Director Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) untuk orang yang tinggi badan dibawah 170 akan sedikit mengalami masalah dalam mengendarai moge. Hal ini tentunya juga berhubungan dengan keseimbangan di jalan. Karena berat moge berkisar dari 221 kg untuk jenis sporster sampai 560 kg, untuk tipe touring seperti Road Glide mencapai bobot 388 kg dengan dimensi panjang 2430 mm. kebayangkan bagaimana dengan berat badan kita yang hanya 60 dan tinggi 160 cm sementara harus mengimbangi beratnya yang dua kali bahkan 5 kali berat supra bapak. So, selain faktor fisik pengendara juga mesti fokus dan konsentrasi. Itulah mengapa orang yang masih mikir cicilan KPR, uang kontrakan, dan SPP anak-anak sangat tidak disarankan mengendarai moge. Karena fokus kita bercabang.

Untuk itu, tidak ada salahnya ketika ada usulan moge masuk tol. Daripada lewat jalan biasa tapi dikawal yang kalau lampu merah dapat "kompensasi". Sementara beberapa diantara kita koar-koar minta persamaan hak dijalan. Ya gak bisalah, mereka kendaraan para raja, kendaraan istimewa yang tidak bisa disamakan dengan kendaraan pada umumnya. Anatomi moge itu memang didisain untuk jalan aspal yang kualitas terbaik dengan ketebalan 2-3 inci, kalau perlu aspal dari kualitas terbaik di dunia seperti Stone Mastic Asphalt (SMA) yang tidak mudah tergelincir ketika hujan deras. Bukan jalanan kampung yang berlubang atau jalanan kabupaten yang tambal-sulam. Semua audiens di warung kopi terdiam. Oo...pasti sudah paham mereka sekarang bathinku. Berarti penjelasanku cukup ilmiah dan masuk akal sehingga bisa mempengaruhi keputusan mereka untuk setuju moge masuk tol.   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun