Mohon tunggu...
Sahyoni
Sahyoni Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar dan Pemerhati Sosial

Rakyat Badarai

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bakwan Seribuan, Rasa Menawan

27 Januari 2025   13:25 Diperbarui: 27 Januari 2025   13:25 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bakwan Seribuan depan Kantor Desa Sumput Sidoarjo (Dok. Pribadi)

Beberapa minggu yang lewat, sepulangnya dari mengantar anak ke TK, saya mampir ke warung kecil depan kantor Desa Sumput, Sidoarjo. Setelah basa-basi dengan bapak-bapak yang duduk di kedai tersebut saya kemudian mulai "memindai" dagangan yang teronggok di depan saya. Ada sekitar 5 jenis gorengan yang baru saja selesai "dimandikan" dari wajan penggorengan yang berjarak hanya 3 meter depan saya. Masih beruap dan aromanya bikin ngeces, apalagi pagi tadi saya menunda sarapan. 

Warungnya sangat sederhana, berukuran sekitar 3x4 meter, dan terbagi menjadi dua bagian. Area penggorengan berada di sebelah kiri, sementara di sebelah kanan terdapat dua meja kecil untuk pelanggan yang ingin duduk sambil ngopi. Barang dagangan utamanya adalah makanan dan minuman, meskipun ada juga rokok yang dijual per bungkus maupun batangan. Sebuah freezer untuk minuman dingin terletak tepat di samping meja kanan. Selama sekitar dua puluh menit saya duduk di sana, saya memperhatikan bahwa rokok batangan lebih laris dibandingkan rokok bungkusan. Entah karena alasan ekonomi atau pertimbangan lain, tiga bapak-bapak memilih membeli rokok ketengan, lalu duduk di kursi panjang di depan saya. Hanya dalam hitungan detik, mereka mulai menikmati gorengan hangat sambil mengisap kretek. Asap putih mengepul perlahan, membawa kedamaian dan ketenangan di pagi itu. Setidaknya, untuk saat itu, pikiran mereka terlihat tenang dan lambung mereka tidak protes.

Komposisi bakwan

Setelah saya lakukan investigasi kecil-kecilan, yang pasti tidak seperti investigasi CCTV yang rusak, maka saya sampai pada tiga kesimpulan. Yang pertama,  si ibuk pembuat bakwan memasukan bubuk ebi ke dalam adonan. Sehingga membuat rasanya mix dan menyatu, ada bau udangnya ketika disantap masih hangat sehingga menimbulkan nafsu makan semakin menjadi-jadi. Apalagi dengan teksturnya yang lembut dan mungil membuat semakin gumush utuk menyantap, lagi dan lagi.  Yang kedua, komposisi sayuran dan seasoning yang sangat tepat sehingga menghasilkan citra rasa yag aduhai. Wortel segar diiris tipis-tipis dan digorengnya tidak sampai  garing yang membuat kebutuhan sayuran tercukupi, paling tidak ada sayurnya. Selain itu, ada irisan kol dan bawang yang membuat rasa umami semakin kental. Selain garam, ada rasa sedikit manis yang saya pikir itu dari gula yang dimasukan ke dalam adonan. Barangkali saja pengganti "permicinan".  Yang ketiga adalah adanya tambahan pelengkap ketika akan disantap yakni petis dan rawit pedas. Petis asli Sidoarjo diaduk dalam satu wadah yang kekentalannya sangat pas; tidak terlalu encer dan tidak pula menggumpal. Bagi pelanggan yang kontra petis bisa mencoba alterntif rawit yang masih segar yang diletak di dekat baki gorengan. Kalau anda menganut paham mixed method (bukan metodologi penelitian ya) bisa mengkombinasikan petis dan rawit dalam satu gigitan bakwan. Monggo, rasanya tetap maknyus dan tidak mengecewakan.   

Harga ramah untuk semua kalangan

Hal lain yang membuat bakwan ini semakin spesial adalah harganya yang sangat ramah di kantong, hanya 1.000 rupiah per buah. Ketika saya bertanya mengapa harganya murah, sang ibu penjual menjawab bahwa segmentasi utamanya adalah anak-anak sekolah di depan kedainya. "Kalau saya patok harga 2.000 rupiah, kasihan siswa SD. Takutnya mereka keberatan dan akhirnya tidak membeli," ujar sang ibu dengan jujur. "Lebih baik untungnya sedikit tapi laris, daripada mahal tapi tidak laku." Setelah beberapa kali duduk di warung tersebut, saya menyadari bahwa pembelinya tidak hanya anak sekolah. Banyak juga ibu-ibu yang mampir untuk membeli ote-ote. Kaum bapak pun tidak ketinggalan; biasanya mereka duduk santai di kursi panjang depan kedai, tepat di samping pagar SD. Para bapak ini cenderung nongkrong lebih lama, apalagi jika sudah ditemani secangkir kopi hitam dan sebungkus rokok. Kedai ini seakan menjadi tempat alternatif di akhir bulan, cocok bagi siapa saja yang ingin menikmati gorengan dengan harga terjangkau, tapi rasa yang tetap memukau.

Tulus bukan fulus 

Ada hal lain yang menurut saya ditawarkan oleh kedai tersebut selain makanan, yaitu ketulusan. Penjual bakwan di sana melayani dengan sepenuh hati, tanpa terlihat ada ambisi untuk mendapatkan keuntungan besar. Ketika pertama kali saya membeli, sang penjual dengan ramah menjelaskan bahwa bakwan sebaiknya dimakan dengan tambahan petis. Ia menjelaskan dengan detail, menggunakan bahasa yang komunikatif serta bahasa tubuh yang bersahabat. Para bapak-bapak yang nongkrong di kedai itu tampak bebas, tanpa batasan waktu. Tidak pernah ada kode-kode agar pelanggan segera pergi seperti; sengaja menyapu lantai, mengambil gelas bekas, atau bolak-balik lewat di depan mereka. Obrolan di sana mengalir dengan natural dan terasa nyata, diiringi senyum hangat dari para pembeli. Saya merasa kedai ini memang dirancang untuk membuat orang betah berlama-lama. Tempat ini seolah menjadi ruang untuk melepaskan tekanan bathin bagi yang masih dalam tahap mencari pekerjaan, berbagi cerita kehidupan yang pelik, atau sekadar "Ghibah Terfokus" ala ibu-ibu sambil menunggu anak pulang sekolah.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun