Pada masa itu, tidak ada hal yang lebih menyenangkan bagi kami selain pulang bermain tanpa disambut oleh emak dengan seutas rotan atau lidi dari tulang daun enau. Rotan itu, jika mengenai tangan atau kaki, sering meninggalkan bekas yang bisa bertahan hingga seminggu. Apalagi jika pulang dengan baju penuh lumpur, tubuh basah kuyup, dan tanpa izin---alamat pasti akan ada pecutan di halaman depan ditambah lagi dengan omelan emak yang tingkat kebisingannya menyerupai suara mesin Airbus. Dalam seminggu, biasanya ada satu kali "sambutan" seperti itu, dan kami menganggapnya sebagai hal yang biasa.
 Secara psikologis, generasi 90-an juga dikenal anti ngambek, pantang menyerah, dan memiliki kesabaran yang luar biasa. Bahkan, mereka memiliki kemampuan self-healing alami. Jika ada masalah, cukup pergi ke rumah teman sebelah untuk memancing, atau mengobrol dengan bapak-bapak di teras sambil belajar membuat sendok dari batok kelapa---hilang sudah semua beban pikiran. Pada zaman itu, seminar parenting seperti sekarang belum ada. Yang ada hanyalah natural parenting, di mana pendekatan utamanya berfokus pada pergaulan sosial dan relasi antar tetangga. Meski tanpa teori ilmiah yang rumit, efeknya terasa nyata. Salah satu hasilnya adalah mental tahan banting yang membuat kami tidak mudah menyerah pada keadaan dan kondisi apa pun
Natural Parenting melalui alam, tradisi dan hubungan sosial
Pada generasi 90-an, setahu saya, belum ada seminar-seminar parenting dengan pemateri berpakaian glamor dan acara yang diadakan di hotel. Semua pembelajaran terkait parenting terjadi secara alami di tengah kehidupan sehari-hari. Saya, sebagai bagian dari generasi ini, lebih banyak belajar dari alam, tradisi (termasuk petuah-petuah di kampung), dan interaksi sosial dengan warga sekitar. Sebagai contoh, saat musim hujan tiba, kami tidak bermain di pinggir sungai karena takut banjir. Di antara teman sebaya, kami saling mengingatkan bahaya ini, sering dengan cerita dongeng tentang ular besar yang hanya keluar saat musim hujan. Semua percaya dan mengamini cerita tersebut. Ketika musim panen tiba, anak-anak kompak pergi ke sawah, saling membantu membuat mainan dari batang padi, sambil menghindari bulir padi yang bisa menyebabkan gatal karena miang. Orang dewasa dengan sabar menunjukkan bagian mana yang harus dihindari, dengan memperlihatkan lengannya yang memerah sebagai bukti.
Di musim kemarau, kami mencari ikan di sungai menggunakan tuba---akar-akaran alami yang tidak merusak ekosistem. Ada pembagian tugas yang jelas: anak-anak yang lebih tua memilih jenis akar, sementara yang lebih muda menumbuknya hingga hancur. Hasil tangkapan dibagi dengan melibatkan rasa keadilan, sekaligus menjadi ajang belajar kepemimpinan bagi mereka yang lebih senior. Saat bulan puasa, tanpa disuruh, anak-anak memilih bermain di masjid. Semua ini sudah menjadi kebiasaan yang tertanam secara alami, tanpa perlu teori parenting yang mendalam. Alam dan tradisi kampung menjadi model parenting yang efektif, membentuk karakter dan kedisiplinan kami.
Â
Parenting aneh dengan kata "jangan"
Bapak saya, meskipun hanya warga sipil, menerapkan aturan seperti militer: jelas, tegas, dan tanpa banyak penjelasan. Perintahnya bersifat "hitam putih" dengan konsekuensi yang langsung dimengerti. Berbeda dengan pendekatan parenting modern yang cenderung menghindari kata "jangan," orang tua saya kerap menggunakan kata itu, diikuti ancaman untuk memperkuat efeknya. Misalnya: "Jangan main ke lubuk di hulu sungai sana, ada buaya besar; dulu pernah ada orang hilang di sana, "Jangan pulang larut malam, nanti ketemu pocong." Larangan-larangan seperti itu menghiasi keseharian kami. Entah karena kami patuh atau karena perintah itu efektif, pengaruhnya tetap terasa hingga sekarang. Dalam kata "jangan" terselip nilai-nilai parenting yang dalam. Yang pertama menjelaskan garis komando bahwa ini perintah dan tidak ada diskusi lagi. Hal ini menunjukan ketegasan bapak sebagai kepala keluarga. Yang kedua adalah transfer pengalaman, karena biasanya kalimat yang diawali dengan kata "jangan" ada histori negatif yang melekat entah itu pengalaman pribadi yang kurang mengenakan atau dari cerita yang bapak dapat dari orang-orang. Yang ketiga penjelasan implisit hubungan sebab-akibat, yang menginginkan kita berpikir kritis dan cepat mengambil keputusan. Umumnya kita akan berpikir analitis ketika dihadapkan pada hal-hal yang negatif, larangan atau denial sekalipun.
Â
Parenting melalui Delayed Gratification