Perjalanan dari Jakarta ke Surabaya memang cukup melelahkan tapi saya senang. Saya cukup menikmati perjalan ini. Banyak jalan menuju ke Lombok. Tapi saya lebih memilih perjalan yang panjang dan berliku. Kau tau kenapa? Saya ingin belajar dari perjalanan ini. Saya ingin melihat perjalanan dari sudut pandang yang berbeda. Selain itu, juga karena keterbatasan dana tentunya.
Melalui perjalanan ini saya belajar bahwa hidup itu memang berliku. Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan itu tidak mudah. Butuh kerja keras, usaha dan doa. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, “mimpi”. Ia harus terus diikutsertakan dalam setiap perjalananmu.
Oke, kembali ke pembahasan awal. Hari ini, (30/03/2015) saya akan melanjutkan perjalanan menuju stasiun Banyuwangi Baru menggunakan kereta Sri Tanjung. Perjalan ini memakan waktu sekitar enam jam. Perjalanan ini lebih seru dari perjalan sebelumnya.
Mata sudah bisa melek. Mungkin karena sudah puas tidur saat perjalan dari Jakarta menuju Surabaya kemarin. Setelah naik kereta, saya pun mencari nomor kursi yang tertera di tiket. Setelah menemukan nomor kursi, saya pun langsung mengambil posisi untuk duduk. Di depan saya, sudah ada tiga orang ibu-ibu yang sedang asyik ngobrol. “Mau kemana dek?,” tanyanya. “Saya mau ke Bali,” jawabku.
Tak berapa lama kemudian, kereta pun berangkat menuju stasiun Banyuwangi Baru. Ibu itu pun meminta saya untuk tukaran posisi duduk. “Saya mual kalau posisi saya membelakang begini,” ujarnya. Akhirnya, saya pun mengiyakan. Saat perjalanan, ibu itu pun banyak bercerita tentang Banyuwangi, mulai tempat wisata sampai kulinernya. Dia banyak tahu tentang Banyuwangi karena dia adalah orang asli sana. Semetara kedua temanya berasal dari Bandung.
“Apa yang terkenal dari Banyuwangi?,” ibu itu pun menyodorkan pertanyaan. Sontak, kedua temanya menjawab “santet”. Ya, Banyuwangi memang terkenal dengan santetnya. Sontak saya teringat dengan tragedi pembantaian 1998 dimana orang-orang yang di duga melakukan praktek ilmu hitam dibunuh. Namun, ibu tadi langsung menjelaskan. Ia membenarkan hal itu. Tapi sekarang katanya sudah tidak seperti itu lagi.
Saya sempat tertidur saat perjalan ini. Saat terbangun kedua ibu-ibu yang duduk disamping saya sudah tidak ada. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 19.50 WIB. Tak berapa lama kemudian, kereta pun berhenti. Ibu yang duduk di depan saya, yang berasal dari Banyuwangi itu pun pamit untuk turun terlebih dahulu.
Sementara itu, saya masih harus menunggu sampai stasiun terakhir, stasiun Banyuwangi Baru. Saya sengaja memilih turun di stasiun ini karena dari referensi yang saya dapatkan, stasiun ini dekat dekan pelabuhan Ketapang. Dari sini, saya akan menyeberang ke pelabuhan Gilimanuk Bali.
Tak berapa lama kemudian, saya pun sampai di stasiun Banyuwangi Baru. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Bali, saya sempat makan dulu di depan stasiun Banyuwangi Baru. Saya tidak sendiri disini. Saya bersama teman saya Fauzan dari lampung yang sama-sama kerja di Tangerang.
Selain itu, banyak juga rombongan lain dari Jakarta dan Bekasi yang mau menyeberang ke Bali. Ada yang mau ke Rinjani dan sebagian lainya ke Tombora. Semetara saya dan teman saya ke Gili Trawangan. Akhirnya, kami pun sepakat untuk berangkat sama-sama. Setelah makan malam di depan stasiun Banyuwangi Baru, akhirnya pun berjalan menuju pelabuhan Ketapang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari stasiun.
Saya sempat berfoto di depan pelabuhan sebelum akhirnya menuju loket pembelian tiket. Harga tiket penyebrangan cukup murah. Hanya Rp.6000 per orang. Tiket penyebrangan sudah di tangan. Saya dan anggota lainnya pun langsung bergegas menuju kapal ferry yang akan mengantarkan kami menuju pelabuhan Gilimanuk Bali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H