Minat baca koma bahkan hampir berduka . . ! Mahasiswa mana yang punya retorika panjang atau pendek untuk menyangkalnya . . ? Minat baca akan berkembang, kalau memang minat itu masih ada diatas minat-minat lain. Dan dalam perkembangan media audio visual, yang beredar-edar saban harinya, minat yang minim itu kian tersisih. Maka, dalam orde informasi sekalipun, buku dan media tertulis belum menjadi kebutuhan, boleh ada boleh tidak.
Jika dirunut nun jauh kebelakang, jelas ada yang membikin miris, budaya “melacurnya perkembangan teknologi” hadir ketika kebiasaan membaca belum tumbuh di tengah budaya-dengar yang amat berakar. Nampak teranglah sudah globalisasi kebablasan hari ini dengan pesatnya perkembangan teknologi dan bermunculannya media sosial yang keren, menguras kantong juga menyita banyak waktu. Hingga sampai muncul golongan generasi “autis sosial” yang asyik dengan stetment gaul dan kekinian itu ya uptudate dengan perkembangan teknologi.
Gambaran tentang rendahnya “buku per kapita” dapat pula dilihat dari dunia film dan sinetron kita. Film dan sinetron Indonesia sering menggambarkan tokoh dengan rumah besar seperti istana tapi tidak tampak rak buku atau kegiatan “intelektual” seperti membaca. Mengobrol, menonton televisi dan uptudate dengan macam aplikasi medsos memang jauh lebih asyik. Dinegara berkembang seperti Indoesia, persaingan kedua “kufu” ini terasa tak seimbang, televisi dan teknologi sejenisnya jauh lebih bisa memikat kita sebagai publik pasif, bukan cuma menghadirkan imaji-dengar (audio), tapi juga menawarkan imaji-audio-visual berdaya hibur tinggi.
Secara psikologis, kita lebih mudah terpikat tawaran kedua. Buku pun terkadang hanya diingat pada Hari Aksara (24 September) saja. Padahal kita tahu, membaca buku menuntut kerja individual yang menyertakan sarana pengetahuan plus nilai, sementara menonton televisi dan teknologi sejenisnya lebih sebagai kerja pasif, kita kerap tidak dituntut berpikir lebih jauh dan kritis. Dalam konteks anak-anak, kondisi ini mengkhawatirkan. Dalam “asuhan” semacam ini, nampaklah pada titik tertentu daya kritis mereka akan tereduksi menjadi sikap pasrah atau bahkan masa bodo. Tantangan berfikir hampir-hampir melemah.
Sebenarnya, kalimat-kalimat diatas seperti dimamah-biak setiap tahunnya. Tapi arah perubahan itu hampir tidak kelihatan. Betapa susahnya “masyarakat buku” mengimbau dihapuskannya pajak buku atau dipermurahnya harga kertas. Malah, pada jenis tertentu, buku dikenai pajak barang mewah.
Padahal, kita tahu buku menguncurkan pengetahuan, membuka pintu cakrawala, dan memperluas wawasan. Membaca membuat seseorang menjadi akrab dengan berbagai bidang kehidupan juga berbagai nilai budaya dan estetika. Akhirnya, tumbuhlah watak dan sikap. Inilah wujud nyata peran buku sebagai pengasah daya nalar sekaligus daya imaji pembaca.
Karena membaca merupakan kerja individual, pembudayaannyapun mesti dilakukan secara individual, terutama melalui serangkaian proses pembiasaan. Suatu saat proses ini penting bagi pembentukan budaya membaca, terutama ketika anak telah menemukan identitasnya dan mampu menyerap nilai-baik di buku yang telah dibacanya.
Minat baca hanya berakar jika ditanamkan sejak dini. Cinta terhadap buku atau gemar membaca tidak bisa diajarkan atau diciptakan secara tiba-tiba. Kegemaran terhadap bacaan harus melalui serangkaian proses panjang. Tidak hanya dalam ruang dan waktu yang telah tertentukan; seperti sekolah, kampus, dan tempat belajar lainnya. Hal itu pun mesti pula melibatkan banyak pihak. Tidak hanya para pengajar guru atau dosen, tetapi yang terutama adalah orang tua dan kelompok-kelompok diskusi intelktual. Kalau tidak jangan harap anak-anak kita bakal tahu apa alasan amerika sesungguhnya menggempur bagdad dan nasib irak setelah diinvansi. Mereka hanya membaca ulasan-ulasan media yang karena sifatnya jauh dari kedalaman.
Penulis : Sahru Waway
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H