Ada tiga jenis kebenaran: benar menurut diri sendiri, benar yang diyakini banyak orang dan benar yang sebenar-benarnya. Setidaknya, begitulah keyakinan Jean Marais, tokoh rekaan Pramoedya Anantatoer, dalam Tetralogi yang dahsyat "Bumi Manusia”.
Itulah kebenaran Korupsi. Benar memberikan kesejahtraan golongan dan kelompok pelaku, Benar menyengsarakan banyak orang dan Kebenaran sesungguhnya adalah SIAPA tak gemas atas ulah ganas Koruptor? yang kian canggih modus, teknik berkelit dan jangkauan tangannya.
Cina, raksasa yang telah bangun, punya cara yang tidak sekedar Kuratif; Hukuman mati tanpa ampun dan pandang bulu. Korea selatan Mende-Monstrasikan betapa Hukum bagi Koruptor berlaku bagi siapa saja. Keduanya benar. Jika ingin maju, suatu Negara harus bergerak bebas, tanpa diganggu (sekalipun cuma digerayangi) parasit-parasit seribu wajah dan seribu pola yang bernama Koruptor.
Dari pola penanganan Korupsinya, dua Negara terkemuka Asia tersebut mendedahkan kepada kita bahwa tanpa pemberantasan Korupsi, bahkan dalam sekala Masif, suatu Bangsa hanya melangkah di dalam gelap.
Dan sebagai sebuah Terminologi, Korupsi barang kali tak akan pernah menemukan signifikansinya jika Rezim Orde Baru tak luntur pamornya. Sebab, hampir sepanjang sejarah Orde Baru, Korupsi telah menjadi Patologi Sosial. Keberadaannya memang diyakini sebagai “Virus Pembangunan” tetapi penumpasannya tidak pernah serius.
Bahkan, selama Orde Baru, sering timbul kesan bahwa Korupsi menjadi sebuah pemafhuman jika dilakukan orang-orang yang dekat dengan Birokrasi Kekuasaan. Indikasi ini tampak pada pemahaman sebagian besar masyarakat yang hanya menganggap serius Korupsi, sementara unsur Kolusi dan Nepotisme (sebelum kita masuki “Era Reformasi”) nyarais tak banyak disorot.
Secara Yuridis, tak kurang dari ketetapan MPR, yang kedudukannya lebih tinggi ketimbang Undang-Undang, dibuat demi bersihnya wajah negri dari wabah Korupsi. Pada perangkat paling teknis, telah diberlakukan sistem pembuktian terbalik; si terdakwa sendiri yang harus membuktikan kalau dia tidak bersalah. Begitu seterusnya. Akan tetapi Koruptor malah tambah MERAJA tanpa sela.
Kini tujuh belas tahun sudah Pascareformasi, skala Korupsi di Indonesia malah menggidikkan dan condong lebih meraksasa ketimbang zaman sebelum-nya. Tujuh rezim silih berganti memang tampak. Namun, semuanya nyaris tak serius memberantas penyakit mematikan ini. Komisi demi Komisi Antikorupsi memang hadir (kecuali KPK yang bertaring), tapi fungsinya lebih mirip mende-korasi kekuasaan.
Apakah yang salah dengan Negri bertanahkan surga, berpenduduk ratusan ribu jiwa, berlimpah sumberdaya serta budaya ini? Kalau malah hancur dan dihancurkan oleh generasi-generasi bangsa sendiri, yang seharunya melaksanakan tugas mulia mewujudkan cita-cita Bangsa. yang Berketuhanan, Berkemanuasiaan, Berkeadilan, Makmur serta Sejahtera. Dan hari ini kita lihat generasi-genarasi itu telah menjelma menjadi generasi tua, pelestari budaya Korupsi. Yang menerangkan, betapa berbakatnya generasi bangsa ini untuk saling menjajah satu sama lainnya.
Secara realitas, kita semua sampai bosan meliat signifikansi prestasi Praktik Korupsi yang menyengsarakan rakyat ini, yang begitu jelas melibatkan banyak kalangan dan lembaga, dari pejabat tinggi hingga pejabat kelas teri; dari lembaga Eksekutif, Legislatif hingga Yudikatif. Lembaga-lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kepolisian, Kejaksaan Agung, Bank Indonesia, Kementrian Keuangan dan sebagainya menjadi tempat yang subur. Lucunya lagi, Kementrian Agama yang seharusnya menjadi penjaga moral umat justru menjadi tempat yang nyaman bagi para perampok uang Negara. bahkan survey skal internasional yang setiap tahun dirilis oleh Transparacy Internasional (TI) pun menunjukan indek prestasi korupsi Indonesia dari tahun 2009-2014 selalu mengalami peningkatan.
Tetapi, bukan brarti itu menjadi sebuah klaim secara Universal bahwa tidak ada orang suci dari Korupsi, maka kata penyemangat untuk seorang generasi suci anti Korupsi (Pemuda), agar tak pernah patah harapan adalah; kita bukan hanya seorang anak dari orang tua kita, bukan seorang yang hanya belajar/bekerja untuk diri sendiri, Tetapi kita juga adalah seorang Warga Negara Indonesia. Yang juga harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki dan memajukannya.
Maka, tugas berat terhampar luas bagi seorang generasi muda, yang memiliki tugas sebagai Agent Of Change (agen perubahan), Iron Stock (penyedia tenaga) seperti kita, dan harus tetap menzikirkan diri untuk mewujudkan cita-cita bangsa untuk bersama-sama melawan generasi gagal yang cerdas, namun berpenyakit mental dan moral secara sosial. Sampai menjelma menjadi Koruptor dan membangun peradaban budaya Korupsinya.
Lalu apa yang harus kita fikirkan dan lakukan, untuk bisa melawan sebuah fenomena yang sudah lama membudaya dan selalu menyerang bangsa dengan sebuah strategi gerilya? Mungkin secara Normatif kita jawab sederhana, yakni dengan keharusan Pemerintah secara idealis mencontohkan pembangunan yang Trasparan. Akan tetapi selain pemerintah diwajibkan menginspirasi dengan segala keseriusan pembangunan yang Tranparan dan Akuntabel, juga banyak sisi lain penyebab Korupsi itu sendiri, sebagai mana di jelaskan dalam Penelitian Singh yang dikutip Erika Revida (2003:2) ditemukan bahwa penyebab terjadinya Korupsi di India adalah kelemahan moral (41,3%) tekanan ekonomi (23,8%) hambatan struktur administrasi (17,2%) dan hambatan struktur sosial (7,08%).Kendati penelitian ini dilakukan di India, mungkin bisa di katakana Relevan dengan keadaan di Indonesia saat ini. dan tinggal bagaimana pemuda dapat bergerak menjadi motor penggerak pencerahan, baik itu melalui gencatan perlawanan langsung terhadap Korupsi atunpun strategi gerilya yang dibangun dalam jangka panjang, untuk bisa sesegera mungkin melunturkan budaya tak ber etika di Negri ini.
Secara gencatan, melalu organisasi pergerakan atau bahkan dapat membangun aliansi-aliansi Pemuda/Mahasiswa pemberantas Korupsi, yang akan melakukan seruan-seruan langsung terhadap perlawanan Korupsi dalam momentum-momentum peringatan Hari Anti Korupsi, ataupun selalu membangun momentum perlawanan, dengan berfungsi sebagai sosial control bagi penyelenggara Negara, yang hari ini dikatakan Singh bermoral rendah. dan tentunya dilakukan dengan dapat dipertanggung jawabkan. Serta memberikan ide-ide gagasan konstruktif pada penyelenggara Negara, terhadap strategi pencegahan secara administratif, seperti ide penerap sistem e-budgeting pada sistem keuangan pemerintahan.
Sedangkan pada strategi gerilya pemuda akan bertindak lebih luas lagi, dengan menghantam akar-akar panjang dan dalam, sehingga kedepannya budaya ini bisa dihapuskan/diminamalisir secara maksimal. Melalui sebuah pembenahan yang sistematis pada ranah perbaikan mental/ moral masyarakat, yakni dengan menelisik akar kegagalan bangsa ini dalam menginspirasi pemberantasan korupsi, berhulu pada pemimpin dan bermuara pada membudayanya korupsi.
Sehingga dapat dikatan, dalam memilih pemimpin (pesta demokrasi). Di Negara demokrasi ini mengalami keadaan yang kurang maksimal, baik pada pemimpin yang bertugas melaksanakan undang-ungang (Eksekutif), membuat undang-undang (Legislatif) ataupun pengadil pelanggar undang-undang (Yudikatif) yang nantinya akan ditentukan oleh Ekesutif dan legislatif itu sendiri. Hal itu perlu disadari oleh generasi muda agar dapat melakukan gerakan-gerakan pendidikan Anti Korupsi (sosialisasi secara continue), yang simpul besarnya ternyata terjadi pada saat memilih pemimpin. Sehingga muncul kesadaran bernilai pada masyarakat luas bahwa suara mereka adalah emas, yang akan memakmurkan pada hilirnya, bukannya sampah yang akan mencemari dan menyengsarakan ketika seorang pemimpin berkuasa.
Hal yang perlu diperhatikan pula oleh pemuda, bukan hanya mensosialisasikan pendidikan anti korupsi dalam bentuk informal pada masyarakat luas secara continue saja (kontek pesta demokrasi), tetapi juga harus mampu mendorong terwujudnya rencana sosialisasi pendidikan anti korupsi dalam bentuk formal pendidikan, pada setiap tingkat pendidikan di Indonesia. berbentuk kurikulum. Hal ini selaras dengan nasehat penuh hikmah dari sang seniman kata bangsa (Mario Teguh) Bahwa untuk membentuk Karakter seseorang ada tigal faktor yang memiliki presentase (25%) faktor dari diri sendiri (25%) faktor keluarga dan (50%) faktor lingkungan. Artinya inilah peran kita sebagai pemuda, warga Negara Indonesia untuk bisa membangun budaya baru yang sehat, sebagai tanding budaya lama yang dikawatirkan menjadi racun dalam proses pembentukan moral generasi bangsanya.
Akhirnya kita sebagai pemuda adalah harapan bagi umat, baik umat manusia dalam bernegara ataupun umat manusia dalam beragama. Maka kita sendiri harus mau menggantunggan harapan dan juga mampu menjaga harapan itu dengan semangat, sebagaiman semangat al-fatih untuk menaklukan konsantinovel. Karna cita-cita terbesar kita adalah untuk menjadi Ustadiatul alam (soko guru peradaban). Dan dalam kontek perlawanan pada sebuah perbuatan yang merusak, meresahkan, menyengsarakan banyak orang (Al-Fasad) ini, kita semua sebagai pumuda harus ikut serta ambil kewajiban. Sehingga budaya bermoral, bernilai, beretika dan bermakna akan menjadi sebuah identitas, buah dari sebuah revolusi budaya korupsi, yang di sebarkan oleh para pemuda dalam bentuk keikutsertaannya mewujudkan cita-cita bangsa.
Penulis : Sahru Waway
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H