A.Titik Berangkat Masalah
Masalah yang terjadi didunia birokrasi bukanlah hal yang baru bahkan tidak hanya terjadi di negara berkembang tetapi juga di negara negara maju, bahkan Amerika, Jepang dan Cina juga mengalami hal yang sama terkait dengan persoalan birokrasi tetapi yang perlu dilihat adalah bagaimana dari berbagai negara yang mengalami persoalan ini telah menunjukkan hasil maksimal dari kebrhasilan reformasi birokrasi yang dikerjakan dinegara masing-masing. Persoalan birokrasi sendiri bukanlah sesuatu yang mudah untuk diselesaikan karena keterkait dengan aspek politik, hukum ekonomi dan sosial. Di Indonesia sendiri akhir-akhir ini banyak kita temui persoalan perilaku aparatur yang kurang baik, sebut saja kasus Mafia Hukum, Mafia Peradilan dan masih banyak lagi kasus-kasus mafia yang belum terpecahkan. Persoalan ini tambah menarik tatkala diberbagai bidang mulai memfokuskan pembicaraannya tentang birokrasi. Mungkin masih segar ingatan kita saat para tokoh lintas agama mengeluarkan sebuah rekomendasi atas apa yang dikerjakan pemerintahan saat ini. Hasil pertemuan tokoh lintas agama tersebut kemudian berunjung pada pemberian rekomendasi kepada pemerintah. Rekomendasi tersebut menghasilkan 18 poin yang pada salah satu poin menyebutkan terkait kebohongan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga presiden Susilo Bambang Yudoyono menggelar pertemuan dengan para tokoh lintas agama tersebut[1]. Dalam prespektif keilmuan Administrasi Publik terlihat jelas dari rekomendasi yang diberikan oleh para tokoh lintas agama akan adanya kesenjangan antara perilaku birokrasi di negara ini yang masih jauh dengan kinerja yang diharapkan.
Persolan dalam birokrasi itu sendiri dipengaruhi oleh dua fatktor yaitu pertama faktor internal dimana persoalan kualitas SDM, sistem dan prosedur kerja yang masih bertele-tele, budaya kerja yang masih feodalistik, kempemimpinan yang kaku dan cenderung tidak visioner, mental dan moral yang rendah serta struktur organisasi yang gemuk tap kurang jelas fungsinya. Faktor tersebut masih juga terkait dengan perilaku administrator maupun perilaku organisasi. Dan yang kedua dari faktor eksternal paling tidak terkait dengan hal-hal seperti kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap birokrasi, tuntutan masyarakat terhadap perlunya birokrasi yang profesional, bebas KKN, budaya yang dianut oleh masyarakat umum kurang kondusif bagi perbaikan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan masyarakat terhadap sistem kebijakan yang berlaku masih rendah, kesenjangan sosial, serta hal-hal lainnya. Persoalannya ini serupa dengan apa yang di sampaikan oleh Warsito terkait dengan sepuluh persoalan birokrasi publik di Indonesia antaranya sebegai berikut :
1.Prosedur dan mekanisme kerja yang berbelit-belit
2.Masih kurangnya transparansi dan akuntabilitas
3.Kurang responsif dan akomodatif terhadap tuntutan masyarakat
4.Kurang informatif dan kurang konsisten dalam kebijakan dan prosedur pelayanan
5.Terbatasnya fasilitas, sarana, prasarana, serta belum optimalnya pemanfaatan tehnologi informasi dan komunikasi dalam tugas umum pemerintahan dan pembangunan
6.Rendahnya kepastian hukum, waktu dan biaya
7.Masih banyak dijumpai praktik pengutan liar serta tindakan-tindakan yang berindikasi penyimpangan dan KKN
8.Banyaknya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan tidak sesuai dengan perkembangan keadaan dan tuntutan  pembangunan.