Mohon tunggu...
Sahrony A Hirto
Sahrony A Hirto Mohon Tunggu... -

lagi mengecam pendidikan S2 pada jurusan Ilmu Manajemen dan Kebijakan Publik UGM Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Budaya, Etika, dan Akuntabilitas Birokrasi* (Suatu Upaya Pengembalian Kepercayaan Masyarakat)

27 Juli 2012   05:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:34 6279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis sangat mengagumi beberapa pemimpin daerah yang ditampilkan dalam acaranya Andi Noya akan keberhasilan kepemimpinan di Indonesia salah satunya adalah kepemimpinannya Bupati Gorontalo dimana dalam kepemimpinannya beliau membongkar pagar dan Pos Satpam dengan tujuan apa agar masyarakat dapat dengan mudah untuk bertemu dan menyampaikan apa keinginan dan keluhan secara langsung, selain itu kebijakan beliau yang inovatif yaitu governance mobile atau pemerintah berjalan yaitu pemerintah yang langsung turun ke kecamatan dan desa-desa di setiap akhir pekannya.[2]

Yang dilakukan oleh Bupati Gorontalo diatas juga sama dengan apa yang dilakukan oleh Bupati-Bupati yang ditampilkan pada acara tersebut hanya saja mereka memiliki kekhususannya sendiri-sendiri. Tetapi yang penulis tangkap adalah bahwa mereka melakukan sebuah tindakan pengembalian kepercayaan masyarakat dengan memperbaiki budaya dan etika serta akuntabilitas birokrasi.

Olehnya itu maksud penulisan paper ini dengan tema Budaya, Etika dan Akuntabilitas birokrasi sebuah upaya pengembalian kepercayaan masyarakat adalah melihat kembali Budaya, etika dan Akuntabilitas birokrasi yang selama selalu melekat streotip yang tidak baik dan juga hilangnya kepercayaan dari masyarakat dan upaya untuk mengabalikan kepercayaan tersebut.

B. Budaya Birokrasi (Pengahapusan Klaim Masyarakat)

Sebagaimana yang di gambarkan sebelumnya bahwa budaya birokrasi yang selama ini di dengar adalah budaya lamban, prosedural, KKN, dan selalu mementingkan kepentingan pribadi menjadi sebuah masalah besar yang harus dicari jalan keluarnya, karena ini juga merupakan sesuatu yang penting dimana budaya sangat mempengaruhi akan kinerja serta budaya juga sangat menentukan posisi, posisi yang penulis maksudkan bukan sebagai jabatan teknis atau fungsionalis, tetapi posisi disini terkait dengan sampai dimana para birokrat memainkan kewenangan yang dimiliki dan juga bagaimana memanfaatkan kewenangan itu bukan untuk kepentingan pribadi dan juga kelompok tetapi tiadk lain hanyalah untuk kepentingan masyarakat.

Mungkin disini penulis tidak lagi mendefenisikan budaya secara kompleks tetapi secara tidak langsung penulis berkeinginan menghapus budaya selama ini yang didefenisikan oleh para birokrat, bahkan Max Weber dalam tulisannya Sofyan Efendi sendiri menggambarkan tentang bagaimana budaya birokrat yang kurang memperhaan faktor lingkungan birokrasi pemerintahan negara kurang memiliki perhatian terhadap perubahan lingkungan karena, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birkrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentu organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat passif tetapi redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah.[3]

Di era sekarang ini para birokrat hanyalah sekedar sebagai sebuah organisasi yang akan menjalankan kebijakan dari politisi sehingga bekerjanya birokrat dapatlah ditentukan dari tekanan-tekanan yang dilakukan oleh para politisi. Sebagaimana yang ditulis oleh Bapak Wasito Utomo bahwa buruknya pelayanan birokrasi adalah disebabkan oleh faktor-faktor yang kait-mengait bukan disebabkan oleh faktor tunggal. Maka masalahnya menjadi kompleks, pemecahannya pun dan pula akar penyebabnya masing-masing harus di ketahui dan dianalisis secara tepat. Secara teoritik, konsepsional sering dikatakan, bahwa tidaklah mudah untuk mengubah atau mereform birokrasi atau birokrat. Hal ini disebabkan oleh karenapara birokrasi atau birokrat terikat oleh Political authority; diorganisir secara hirarkhis dan birokratis, serta memiliki monopoli. Hal-hal tersebutlah sering menciptakan apa yang dinamai budaya birokrasi.[4]

Dari apa yang di jabarkan mengenai budaya birokrasi selama ini olehnya karena birokrasi menginginkan untuk menghapus strotip budaya yang kurang bagus, maka dari itu birokrasi seharusnya melakukan beberapa hal di antaranya :

Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan irasional-hirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya.

Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perleu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi.

Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi fit and proper test, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). Birokrasi yang bersikap netralitas politik, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan partai politik tertentu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun