C. Etika Birokrasi (Antara Perorangan dan Organisasi)
Sebelujauh menjelaskan bagaimana etika yang menurut penulis selama ini dipahami oleh birokrat adalah paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rules), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur, termasuk di dalamnya sistem insentif dan disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Bagi penulis bahwa pemerintah serta birokrat memang membutuhkan etika dalam hal untuk membentuk kewibawaan dalam hal menjalankan tugas dan kewenangan mereka. Tetapi yang digambarkan pada orde sedeblumnya bukannya kewibawaan yang menjadikan pemerintah disegani tetapi kewibawaan ini malah memunculkan ketakutan dalam masyarakat itu sendiri. Ketakutan ini muncul karena pemerintah menggunakan etika sebagai sesuatu yang tidak bias dilanggar meskipun kepentingan rakyat terabaikan, mungkin diskresi juga menjadi sesuatu yang patut dibicarakan tetapi diskresi disini digunakanhanya sebagai langkah untuk memenuhi kebutuhannya sehingga ini semakin mempersulit untuk melayani masyarakat.
Terdapat beberapa tipe kepemimpinan yang pernah ada di Indonesia dan inin mungkin memberikan perjalanan sejarah akan bagaimana kewibawaan birokrasi kita di bangun dari bagaimana seorang kepemimpinan itu mewujudkan wajahnya pada masyarakat, penulis misalkan dalam kepemimpinan soekarno yang waktu menitik beratkan kepemerintahannya pada penguatan politik dan keamanan mengingat masa beliau memiliki peran penting perkembangan Indonesia saat ini, kewibawaan beliau dijadikan sebagai bagian dalam birokrasi sehingga kita mengingat bahwa beliau sempat membentuk 100 mentri untuk menjalankan pemerintahan yang beliau pimpin.
Pada masa kepemimpinan Soeharto mungkin tidak banyak yang akan penulis jelaskan karena kita sendiri memiliki catatan kecil akan kepemimpinan beliau, jelas terlihat dari-beberapa literatur bahwa tipe kemimpinan beliau lebihi dikenal dengan sebutan rezim diktator. Sehingga birokrasi pada waktu ini menjadi sangat kaku terlihat dari hirarki yang berlebihan dan masyarakat menjadi sasaran pemangsaan tipek kepemimpinan tersebut.
Dan bahkan sampai pada kepemimpinan SBY sekarang ini dengan tipe yang flamboyan ditambah lagi dengan kondisi bangsa yang berbeda dari dua kepemimpinan sebelumnya dimana lebih terbuka dan kebebasan terjaga tetapi masih saja menghadapi masalah yang sama yaitu birokrasi yang tidak baik. Sehingga masalah etika birokrasi menjadi pembahasan penting saat ini.
Sekarang ini yang menjadi perhatian dalam birokrasi adalah demokrasi dan efektifitas karena dalam birokrasi sendiri sering di dahulukan prinsip efektifitas,tetapi meninggalkan demokrasi karena hirarkis sehingga partisipasi bawahan sangatlah kecil olehnya penulis mengutip tulisannya Bapak Pratikno dalam pidato Pengukuhan guru besarnya bahwa demokrasi dan efektifitas seharusnya ditanyakan secara bersamaan. Bukan dipertanyakan secara bergantian. Pendapat ini diperkuat dengan pandangan Gordon White (1998) dimana mencoba untuk menjebatani keduanya. Demokratisasi perlu dilakukan, tetapi pada saat yang sama harus mampu untuk membangun pemerintahan yang efektif.[5]
Dalam membahas etika dalam organisasi, sejumlah pakar membedakan antara etika perorangan (personal ethics) dan etika organisasi. Etika perorangan menentukan baik atau buruk dalam perilaku individual seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dalam organisasi. Etika organisasi menetapkan parameter dan merinci kewajiban-kewajiban (obligations) organisasi itu sendiri, serta menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika perorangan itu dibentuk.
Dalam masalah etika itu sendiri tergantung dari sisi budaya dan kebudayaan yang terdapat dalam suatu lingkungan dimana budaya sangat mempengaruhi bagaimana penggunaan etika tersebut. Yang menjadi sulit adalah bagaimana etika birokrasi ini mengikuti kebiasaan yang dilakukan birokrasi yaitu mengikuti keinginan politik ini yang sulit karena etika secara organisasi tidak lagi menemui esensinya karena parameter yang ditetapkan dan keputusan-keputusan yang diambil akan bernuansa politik.
Etika ini juga di pengaruhi oleh adanya keterbatasan dalam sumber daya, yang menyebabkan pengembangan Birokrasi yang baik tidak bisa cepat berjalan. Keterbatasan itu adalah baik dalam hal sumber dana maupun sumber daya manusia (SDM). SDM Birokrasi sangat terbatas kualitas, kompetensi, dan profesionalismenya, dan keadaan itu diperberat oleh imbalan yang rendah karena keterbatasan dana pemerintah.
Ditambah lagi birokrasi kita hidup dalam suatu sistem politik, dan di banyak Negara berkembang sistem politik itu sendiri masih berkembang. Baru belakangan ini saja negara-negara berkembang berupaya menerapkan dengan sungguh-sungguh prinsip-prinsip demokrasi ke dalam sistem politiknya. Itu pun masih banyak ragamnya dan masih banyak masalahnya. Dalam keadaan demikian, birokrasi secara politis berperan lebih besar dibandingkan dengan di negara yang sistem demokrasinya telah lebih maju. Peran politik yang besar itu, acapkali tidak diimbangi dengan kebertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat seperti layaknya dalam sebuah sistem demokrasi.
Upaya memperbaiki birokrasi termasuk didalamnya upaya menanamkan etika sebagai nilai utama dalam administrasi, yang tercermin baik dalam etika perorangan maupun etika organisasi adalah pe kerjaan yang memerlukan kesabaran, dan hasilnya pun tidak dapat diharapkan akan spektakuler, tetapi akan lebih banyak bersifat inkremental.