[caption id="" align="alignnone" width="400" caption="Masyarakat Rusuh (image/bharatanews.com)"][/caption] Pemilihan Presiden tahun ini memang terbilang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Antusiasme dan Perhatian masyarakat tahun ini jauh lebih besar dibanding penyelenggaraan Pilpres di tahun 2004 dan 2009. Komisi Pemilihan Umum yang secara resmi mengumumkan dua Calon Presiden dan Wakil Presiden yang lolos verifikasi untuk bertanding pada Pilpres 9 Juli nanti serta merta menjadikan kedua kandidat menjadi pusat perhatian dan bahan perbincangan. Berbagai media berlomba-lomba untuk memburu berita kedua pasangan Capres-Cawapres dan masyarakatpun tak ketinggalan menjadikan mereka sebagai topik pembicaraan di pasar, rumah, warung kopi, kedai Tuak dan bahkan di sawah-sawah. Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo-Hatta Rajasa memang tengah menjadi pusat perhatian di tanah air.
Persaingan kedua kandidat untuk merebut kursi nomor satu di Indonesia ini sekaligus juga membentuk dua kubu masyarakat yang ikut-ikutan bersaing. Â Loyalis dan simpatisan kedua Capres dengan cepat membentuk aliansi-aliansi baru demi memenangkan Calon yang diusung. Tak hanya lingkungan politik, Masyarakat awam pun kini secara otomatis terbagi menjadi dua poros. Relawan Jokowi dan Relawan Prabowo. Demikian mereka menamainya. Jika Jokowi dan Prabowo, sebagai tokoh sentral pemicu terbentuknya dua kubu ini tampak harmonis (setidaknya dari caranya berpelukan di tiap pertemuan), maka lain halnya dengan kubu keduanya. Masyarakat yang mengaku sebagai pendukung garis keras dari kedua Capres justru tampak lebih anarkis dan saling menghujat. Berbagai media sosial dijadikan sarana untuk bersumpah serapah dan saling merendahkan. Berawal dari debat/bahasan profil dan visi Capres yang diusung, topikpun kemudian merembes kepada tindak kekerasan apabila tidak mampu lagi menahan emosi. Entah mengapa, kemunculan akun-akun anonym di berbagai media sosial pun meningkat untuk mengutarakan keburukan Capres tertentu dan bahkan menyebarkan fitnah dengan tujuan memenangkan Capres yang menjadi idola. Undang-Undang ITE yang katanya telah diaplikasikan di negara inipun tak berfungsi lagi. Entah karena alasan kebebasan berpendapat seperti di pasal 28 UUD 1945 atau karena dianggap tindakan sepele dan netralitas yang berwajib yang belum bisa dijamin, maka fitnah-fitnah tentang Capres tertentupun bergulir begitu saja tanpa diusut sedikitpun.
Saya sangat terkejut dan prihatin membaca satu artikel yang dipublish di Tribunnews.com hari ini (8/6). Artikel yang diberi judul: Daftar Delapan Kekerasan Jelang Pilpres,Polisi Ada di Lokasi,Tapi tak berkutik. Membongkar berbagai kasus kekerasan yang memang telah terjadi menjelang Pilpres, Indonesia Police Watch (IPW) yang menjadi narasumber dalam artikel tersebut juga menyayangkan kinerja Polri yang tidak berdaya atau mungkin tidak serius dalam menyelesaikan berbagai kasus-kasus kekerasan tersebut. Ketidak lihaian Polisi menangkap pelaku kekerasan dalam delapan kasus tersebut juga menimbulkan stigma tersendiri akan ketidakmampuan mereka untuk menjaga Pilpres yang kondusif nantinya. Â Sebagian Masyarakat yang kini sudah berubah menjadi Pendukung fanatik kedua Capres berpotensi menjadi momok baru yang akan mengancam kekondusifan masyarakat pada saat Pilpres maupun setelahnya. Sebelum pemungutan suara saja, Kubu Jokowi-JK telah mendapat kiriman Molotov atau Kubu Prabowo mengaku diancam bom, bagaimana pula saat salah satu kubu dinyatakan kalah? Bisa dipastikan akan terjadi keributan dimana-mana.
Kasus pengeroyokan yang dialami oleh Julius Felicianus beserta salah satu wartawan Kompas Tv di Ngemplak, Sleman, Jogjakarta yang sedang melakukan doa Rosario bersama keluarganya pada mei lalu dinilai juga sebagai dampak dari kefanatikan dua kubu Capres. Pasalnya Julius merupakan ketua Sahabat Jokowi-JK. Kasus serupa menimpa Niko Lomboan yang diserang saat melakukan ibadah di Yogyakarta. Kemudian rumah ketua Relawan Nusantara Jokowi-JK dilempari bom Molotov oleh orang tak dikenal. Rumah Polonia tempat Prabowo-Hatta disebut-sebut diancam bom dan masih banyak lagi kekerasan yang terabaikan oleh media.
Berbagai kasus tersebut menjadi indikasi awal rusaknya mental bangsa yang kini susah untuk menerima kelebihan atau kekurangan tokoh yang diidolakan. Sayangnya indikasi tersebut tidak cukup menarik perhatian petinggi-petinggi bangsa ini demi menjaga kekondusifan pemilu nanti. Mediapun seolah-olah tidak terlalu serius memberitakannya. Media lebih tertarik menayangkan Capres-Cawapres yang ziarah ke pemakaman atau Capres yang sedang makan soto di Warteg (Tiba-tiba).
Keprihatinan Indonesia Police Watch terhadap penanganan Polisi dalam kasus kekerasan menjelang Pilpres ini memang sangat relevan mengingat cara kerja pejabat negara kita yang beraksi setelah banyak korban berjatuhan terlebih dahulu. Masyarakat yang kini terlena dan terbuai dengan karisma Capres yang didukung secara perlahan lupa akan hal yang lebih penting daripada sekedar memenangkan Jokowi ataupun Prabowo. Berita Kekerasan yang tengah terjadi menjadi terabaikan dan tidak seharusnya demikian.
Tidak ada larangan untuk menidolakan Capres tertentu dan menggunakan hak pilih kepada siapapun. Namun masyarakat perlu sadar akan batas-batas kemanusiaan. Tidak ada satupun manusia di bumi ini yang sempurna. Tak terlepas dari Prabowo atau Jokowi, kekurangan Jokowi ataupun Prabowo itu lumrah ada. Jangan sampai nafsu yang terlanjur besar untuk melihat kemenangan Capres tertentu membutakan kita hingga selalu memuji bahkan memuja mereka layaknya Tuhan.
Fanatisme masyarakat Indonesia memang terbilang sangat rentan, apalagi dibumbui dengan oknum-oknum pengadu domba yang kini berkeliaran. Inilah yang menjadi pemicu terjadinya perpecahan dan kerusuhan. Ketidak dewasaan mental masyarakat Indonesia untuk menerima perbedaan juga akan memicu pemberontakan apabila mendapatkan kekalahan kelak. Padahal apa yang didapat seorang relawan biasa apabila Capres yang didukungnya mati-matian terpilih sebagai Presiden? Sekarang saja Prabowo atau Jokowi sering makan siang di Warteg dan Hatta Rajasa atau JK Blusukan ke tanah Abang. Apa nanti masih mau menyalami Warga ketika terpilih?
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga terlihat cuek bebek menanggapi beredarnya fitnah terkait Capres tertentu. Contohnya: Fitnah yang beredar tentang Herbertus dan Foto-foto Ibu Jokowi yang diedit sedemikian buruknya. Bawaslu terlihat tutp mulut, apalagi Polri.
Beginilah kinerja para penegak hukum dan penjamin keamanan di negeri tercinta ini. Sejalan dengan banyaknya petinggi mereka yang kini dijebloskan ke penjara menjadi tahanan KPK, kinerja staffnya pun menjadi asal-asalan saja. Tetapi bagaimana mau dikata, sebagian besar masyarakat sudah terlalu fanatic terhadap Capres tertentu. Maka bersiap-siaplah pak SBY dan Polri serta jajarannya untuk menghadapi gejolak masyarakat pada Pilpres nanti.
Harapan saya, semoga saja masyarakat cepat sadar dan membuka diri untuk lebih diplomatis karena kita sudah hidup di era dmokrasi bukan Otoriter. Kemenangan Jokowi-JK atau Prabowo-Hatta bukanlah gol kita yang sebenarnya. Tetapi kejayaan Indonesialah yang harus kita perjuangkan mati-matian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H