[caption id="" align="alignnone" width="556" caption="image/cloudfront.net"][/caption]
** Daripada pusing membahas opini-opini berisi klaim kompasianer yang seakan berlomba mengabarkan kemenangan salah satu pasangan Calon Presiden di Luar Negeri yang belum dijamin kebenarannya, dan meladeni sikap beberapa Orang yang kini seakan adu cepat mengabarkan hasil Pemilihan Presiden untuk mendapatkan gelar ‘Terdepan Mengabarkan’ layaknya Slogan salah satu televisi nasional, akan lebih baik menuliskan artikel-artikel santai yang lebih penting dan berfaedah.
Setelah melaksanakan Pilpres pada 9 Juli 2014 mendatang memang kita akan menemukan Pemimpin bangsa ini selama lima tahun ke depan. Presiden yang baru terpilih tentu saja akan mengemban tugas yang tidak mudah. Menakhkodai kapal berisi lebih dari 250 Juta jiwa dengan segala persoalannya sudah pasti menjadi pekerjaan Rumah yang berat. Kesejahteraan dan keamanan rakyat serta kedaulatan negara dipertaruhkan oleh Presiden Baru nantinya. Namun sembari menunggu siapa yang akan menjadi Presiden baru, mari kita lihat hal baru lainnya yang akan dihadapi bangsa ini di bulan Juli.
Selain Pemilihan Presiden Baru, Bulan ini dunia pendidikan Indonesia juga tengah mempersiapkan tahun ajaran baru. Sebagai salah satu tujuan Negara ini Yakni Mencerdaskan kehidupan Bangsa, maka sudah menjadi rutinitas sekolah-sekolah ataupun institusi pendidikan lainnya melakukan penerimaan mahasiswa baru. Tidak terkecuali di tahun politik ini, berbagai sekolah kembali membuka pendaftaran untuk siswa/siswi baru. Berbagai ujianpun telah diselenggarakan tahun ini. Mulai dari Ujian Nasional (UN) yang masih memunculkan Pro dan Kontra hingga Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang beraneka ragam. Upaya ini dilaksanakan untuk menilai kelayakan seseorang dalam menerima pendidikan di suatu Institusi Pendidikan. Peringkat menjadi acuan untuk memasuki Institusi yang terbaik dan tentu saja tidak lupa kekuatan Uang yang menjadi salah satu faktor terbesar untuk mendapat pendidikan yang baik.
Menjadi siswa/I atau Mahasiswa Baru maka kehidupan barupun dimulai. Sesuai tradisi dunia Pendidikan Indonesia maka mereka (Freshman) ini akan menghadapi masa-masa Orientasi yang sering disebut MOS ataupun OSPEK. Mos atau OSPEK sebenarnya diperuntukkan sebagai momentum mahasiswa baru untuk lebih mengenal lingkungan sekolahnya, Guru-guru, rekan-rekan hingga seniornya. Sayangnya untuk kebanyakan sekolah, hal tersebut hanya menjadi ide pembungkus yang digunakan untuk melakukan tindak kekerasan dan penindasan berbau senioritas. Hingga MOS atau OSPEK selanjutnya memiliki artian yang lain sekarang. Mendengar kata OSPEK atau MOS, maka tak akan sedikit masyarakat yang mengidentikkannya dengan kekerasan Senior terhadap junior. Dampak dari MOS kemudian bukan memperkenalkan sekolah kepada murid baru, namun mengubah mereka menjadi orang-orang temperamental yang sudah dipenuhi dendam akibat mengalami tindak kekerasan. Dendam inipun akan kian menumpuk dan akhirnya dilampiaskan kepada juniornya di tahun selanjutnya. Siklus ini terjadi secara terus-menerus dan tindak penindasan yang dilakukanpun berkembang semakin sadis hingga berujung kematian. Ospek maut di IPDN dan ITN mungkin menjadi beberapa kisah yang cukup menarik perhatian masyarakat tatkala Dunia Pendidikan berubah menjadi arena pembunuhan.
Hari ini, Senin (7/7) saya tak sengaja mengklik satu tautan yang ternyata mengarahkan penelusuran saya ke situs Change.org yang mana menayangkan suatu petisi STOP OSPEK & MOS yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan Nasional M.Nuh. Petisi ini diprakarsai oleh Sita Supomo dan didukung oleh lebih dari 10.000 netizen. Sita yang seorang ibu ini menuliskan kekhawatirannya akan kekerasan Ospek di Institusi pendidikan Indonesia bercermin dari Kisah duka Fikri, mahasiswa baru ITN yang tewas di tangan kakak seniornya tahun 2013, Cliff Mutu mahasiswa IPDN mengalami nasib yang sama tahun 2007 dan lain sebagagainya. Kisah duka OSPEK maut tersebut mendesak Sita membuat petisi penolakan MOS. Namun tampaknya Petisi ini belum mendapatkan respon serius dari pihak yang berwajib. Buktinya, masih ada OSPEK hingga saat ini.
Telinga kita mungkin sudah kenyang mendengarakan berita kekerasan-kekerasan yang dialami korban pada saat mengikuti MOS/OSPEK. Namun entah mengapa, agenda ini di berbagai Sekolah sudah menjadi tradisi dan rutinitas yang dalam perizinannya terlihat samar-samar. Sebenarnya tak semua sekolah/ Institusi pendidikan lainnya yang menerapkan kekerasan dalam masa orientasi murid baru. Masih banyak sekolah yang memanfaatkan waktu Orientasi sebagaimana fungsi sebenarnya yakni dengan melakukan hal-hal positif seperti memperkenalkan aturan-aturan sekolah, hingga mempersiapkan mental siswa untuk cara belajar yang baik dan benar. Guru atau pihak rektorat yang dibudayakan untuk selalu mengawasi semua tindakan berbau Ospek juga menjadi kunci terkendalinya keamanan dan kenyamanan mahasiswa baru sekalipun ditangani oleh seniornya. Dengan demikian, maka MOS yang berujung pada kekerasan dan penindasan akan dapat dicegah atau diatasi. Namun masalahnya adalah OSPEK maut dalam berbagai kasus di atas terjadi ketika senior memegang kendali penuh atas mahasiswa baru tanpa pengawasan Guru/Pihak Rektorat. Selain itu, Ketakutan berlebihan mahasiswa baru kepada seniornya hingga melakukan apa saja perintah yang tidak masuk akal dari seniornya juga semakin mendukung terjadinya aksi-aksi tersebut. Pasca terjadinya kekerasan pihak sekolahpun terbilang ‘cuek’ atau entah mahasiswa baru yang tidak berani melaporkan kemudian menjadi penyebab awetnya tindak kekerasan ini.
Dengan berbagai kasus OSPEK maut yang belakangan menguak dalam pemberitaan media-media maka manfaat dari suatu masa Orientasi inipun menjadi patut dipertanyakan. Untuk masa perkenalan sekolah saja berakhir dengan Kematian, maka bagaimanapula kehidupan kampus/sekolah yang sebenarnya? Jika hal-hal negative lebih potensial terjadi saat OSPEK daripada hal positif maka memang sudah seharusnya OSPEK atau MOS ditiadakan.
Memasuki tahun ajaran baru ini, kita berharap semoga saja peristiwa-peristiwa gelap di atas tidak terjadi lagi. Fikri dan yang lainnya cukup menjadi peringatan bagi seluruh masyarakat Indonesia terutama orang tua-orang tua yang hendak mempercayakan anak nya di didik di Sekolah. Dan jangan Lupa, perlu bagi orang tua untuk menanamkan sikap kritis dan ‘perlawanan’ terhadap hal-hal negative saat menghadapi masa OSPEK/MOS di tahun ini jika telah melewati batas kewajaran.
Akhirnya semoga di tahun ajaran baru ini, dunia pendidikan kita semakin baik dan bersih dari kasus pelecehan seksual anak, kekerasan dan Ospek maut yang menjadi catatan gelap sejarah pendidikan Indonesia. Saatnya mengembalikan fungsi sekolah sebagai Institusi yang mendidik, mencerdaskan mental, spiritual dan intelektual. #Save school for all! Salam Pendidikan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H