[caption id="attachment_326315" align="aligncenter" width="300" caption="beberapa frekuensi tv di Indonesia"][/caption]
Media elektronik yang menjadi sumber Informasi paling canggih saat ini tampil sebagai penyedia Informasi tercepat dan memiliki konten atau fitur paling lengkap. Radio sebagai salah satu media paling awal tampil dengan fitur audio, dimana setiap informasi dari News hingga musik tersedia di sini. Walaupun telah kalah dengan fitur yang dihadirkan oleh Televisi, tetap saja radio mampu eksis di tengah menjamurnya stasiun televisi. Tentunya kurang relevan membandingkan audience dari radio dan televisi, karena akan lebih banyak penikmat siaran televisi yang lebih komplit dengan fitur audio visual. Jika hingga saat ini, Radio masih mempertahankan konten informasi dan hiburan yang berimbang, maka beda dengan televisi. Kian lama, sajian televisi kian menunjukkan penurunan kualitas. Siapa yang dirugikan?
Televisi ataupun radio menyiarkan program acaranya melalui Frekuensi. Frekuensi sendiri merupakan milik negara, layaknya air, tanah dan udara (frekuensi). Tak berbeda dengan penggunaan air dan tanah, Frekuensi menjadi milik publik yang seharusnya mementingkan atau menjunjung tinggi kepentingan publik. Tetapi pertanyaannya kemudian adalah bagaimana realisasi dari frekuensi Milik Publik ini?
Ketika terjadi klaim pihak-pihak tertentu atas pembelian frekuensi masihkah Frekuensi Milik Publik? TVRI sebagai satu-satunya televisi nasional milik Pemerintah mungkin tidak terlalu memiliki banyak permasalahan dalam konten siaran. Artinya program acara yang ditayangkan masih di jalur aman. Lalu Frekuensi yang kini ‘dibeli’ oleh orang kaya di negara ini dan memunculkan siaran baru milik swasta seperti: Indosiar, SCTV,RCTI,TRANS TV,TRANS7,ANTV,TPI,dan lain sebagainya apakah masih memiliki kewajiban menayangkan program yang mementingkan public?
Frekuensi sebagai milik Publik ini sepertinya hanya wacana saja. Komersialisasi tayangan televisi oleh pebisnis media menjadi hal yang utama. Kualitas tayangan dan nilai-nilai edukatif kini dikesampingkan. Televisi sepenuhnya diubah menjadi sekedar hiburan tak mendidik. Beberapa lapisan masyarakat yang hanya menikmati konten siaran sekedar untuk tertawa lupa akan menjamurnya acara serupa yang kian hari semakin menjerumuskan. Kemunculan rating dan share dalam tayangan televisi menjadi acuan produksi acara sejenis. Masyarakat sebagai pemirsapun terlena dengan tayangan ‘ketawa-ketawa’ untuk sajian yang sebenarnya tidak layak untuk dijadikan bahan lelucon.
Sejalan dengan acara hiburan, program berita di televisipun kini telah bergantung pada kepentingan pihak tertentu. Jangan harap mendapatkan informasi yang lugas dan blak-blakan dari televisi sekarang. Banyaknya pengusaha media televisi akan semakin mengurangi akurasi tayangan berita. Takkan ditemui berita negative tentang pemilik televisi di stasiun miliknya. Justru informasi yang berubah menjadi ajang saling menjatuhkan ditampilkan secara blak-blakan. Sementara itu, masyarakat sebagai pemirsa televisi hanya akan semakin bingung mencari informasi yang akurat dan berimbang.
Frekuensi sebagai milik public inilah yang tidak disadari oleh masyarakat kita. Program televisi yang kian hari menunjukkan keburukan-keburukan konten tanpa sadar dikonsumsi masyarakat. Kepemilikan yang harusnya menguntungkan berubah menjadi penjajahan yang merugikan moral bangsa secara perlahan. Budaya sinetron televisi, acara hiburan dengan goyang erotis, acara gossip percerain dan pembunuhan yang tampil di televisi diadopsi oleh sebagian masyarakat di kehidupan nyata. Di sinilah rusaknya moral pemirsa televisi yang tidak disadari. Keseragaman acara televisi saat ini semakin menunjukkan dangkalnya kreatifitas pelaku produksi tayangan. Jadilah Masyarakat menikmati acara yang minim kualitas dan tanpa disadari Masyarakat dihadapkan pada kebodohan.
Lambatnya respons Pemerintah dalam menyeleksi tayangan yang layak siar di televisi bukan menjadi alasan satu-satunya akan awetnya acara-acara tak berkualitas di televisi. Namun beberapa masyarakat yang tidak sadar dan tetap menikmati tayangan tersebut menjadi alasan yang paling kuat. Jika pihak pemerintah mungkin tidak pernah menonton siaran televisi gratisan di indonesia, layaknya masyarakat. Sehingga tidak terlalu peduli dengan tayangan-tayangan negative di sana, maka saatnya Masyarakat sadar akan efek-efek negative yang timbul dalam konten televisi. Mari bersama mengakhiri pembodohan yang ditampilkan di televisi dan saatnya menjadi Penonton yang cerdas!
gambar:
http://1.bp.blogspot.com/--uXg1zaCFi4/UW-l0CFvSEI/AAAAAAAABE8/I7a0SlVs_V4/s1600/frektv-2010-6.png
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H