[caption id="attachment_407353" align="aligncenter" width="448" caption="Suasana di Dalam Kereta KRL Tanah abang-Maja (doc.)"][/caption]
Dewasa ini transportasi di Ibu Kota memang menjadi salah satu persoalan klasik yang hingga sekarang belum mendapatkan solusi yang maksimal. Sudah menjadi hal biasa apabila melihat kemacetan di kota besar terutama di Jakarta. Tak perduli waktu pada malam hari atau pagi hari bahkan di hari libur sekalipun Ibu Kota masih seringkali terlihat macet. Hingga tak heran kemacetan menjadi salah satu faktor penunjang tingginya tingkat stres masyarakat Jakarta. Jarak 1 kilometer bisa-bisa ditempuh dalam waktu 30 menit atau bahkan satu jam apabila terjebak dalam kemacetan. Jangan tanya berapa banyak alat transportasi yang tersedia di Jakarta. Dari layanan Kereta api, Bus Transjakarta, Mikrolet, metromini, Taxi, Ojek hingga Bajaj sudah menghiasi wajah Jakarta. Di jam kerja, berbagai alat transportasi ini serasa parkir di jalanan. Populasi Jakarta yang luar biasa banyak bisa jadi penunjang menjamurnya alat transportasi ini. Sayangnya, dari ribuan atau bahkan ratusan ribu alat transportasi ini tampak belum cukup menjawab kebutuhan mobiling masyarakat Jakarta.
[caption id="attachment_407355" align="aligncenter" width="300" caption="Suasana di dalam KRL (doc)"]
Dari sisi pemerintah memang tidak berdiam saja untuk menjawab persoalan yang satu ini. Salah satu kebijakan yang diambil adalah pengadaan Bus TransJakarta yang beberapa waktu lalu terlihat ditangani sangat serius dari segi pelanggaran jalur busway dan sebagainya. Upaya ini ditempuh untuk mengoptimalkan layanan transportasi untuk masyarakat Ibu Kota agar mau memilih Bus Transjakarta untuk keperluan mobile. Keunggulannya adalah bebas macet dan memiliki jalur khusus. Sayang, usaha itu hanya terlihat beberapa minggu saja. Belakangan tidak ada lagi supervise untuk jalur busway, kembali seperti sediakala jalur busway tetap diterobos dan tak jauh berbeda dengan naik metromini atau mikrolet, naik Transjakarta tetap harus menghadapi resiko diserobot angkutan lain. Bahkan belakangan banyak bus yang kebakaran di jalan raya. Tetapi kali ini penulis tidak akan membahas hal tersebut. Kali ini penulis lebih tertarik mengintip ke dalam angkutan umum tersebut. Cukup manusiawikah muatan angkutan umum di Jakarta?
[caption id="attachment_407356" align="aligncenter" width="448" caption="Penumpang KRL"]
Bagi anda pengguna layanan Bus TransJakarta atau Kereta api mungkin sudah terbiasa dengan lonjakan penumpang terutama di pagi hari kerja atau sore hari jam pulang kerja. Jumlah penumpang di jam-jam tersebut memang tak dapat dibendung. Anehnya tak peduli seberapa padat isi dari kereta api atau Bus TJ, penumpang Jakarta seperti tutup mata dan tetap memaksakan diri untuk bersempit-sempitan di dalam kereta. Alasannya mungkin adalah waktu, semua orang ingin cepat tiba di kantor atau di rumah. Sehingga tidak peduli keselamatannya sendiri. Untuk Bus TJ, sekali-sekali petugasnya memang membatasi jumlah penumpang. Hal ini biasa terjadi jika muatannya sudah benar-benar padat dan penumpang bahkan kesusahan untuk bernapas. Bagaimana dengan kereta api? Lebih parah lagi, untuk kereta api kelas ekonomi mungkin sudah sedari dulu dipenuhi penumpang hingga aneka pedagang di dalamnya. Muncullah Commuterline untuk layanan yang lebih baik demi kenyamanan. Namun benarkah mampu menawarkan kenyamanan? TIDAK! Jika anda tidak setuju dengan saya, anda boleh coba naik commuterline di hari kerja!
Apa yang ingin saya sampaikan adalah betapa buruknya layanan transportasi di Ibu Kota. Naik metromini atau mikrolet harus bersiap menanggung resiko dikarenakan supir yang kadang ugal-ugalan. Naik bus TJ, harus siap-siap dengan desakan penumpang yang muatannya kadang sampai tiga kali muatan normal. Naik kereta api tak kalah buruknya, bernafaspun susah karena tidak adanya batasan volume penumpang. Belum lagi trend baru di kereta api yang seringkali memindahkan penumpang dari satu kereta ke kereta lain layaknya metromini. Susunan manusia di Kereta kadang bagaikan barang dan sangat jauh dari kata nyaman. Saya tak berlebihan memilih kata “Tidak Manusiawi” untuk menggambarkan kualitas angkutan umum di Jakarta. Namun alasan ini tidak cukup mengurangi minat penumpang untuk tetap memaksakan diri berdesak-desakan di dalam kereta. Jadi salah siapa sebenarnya?
[caption id="attachment_407357" align="aligncenter" width="448" caption="Membludaknya Penumpang KRL"]
Mempertanyakan komitmen pemerintah dalam mengatasi persoalan transportasi memang wajar. Namun menunggu realisasinya mungkin butuh waktu yang tidak cepat. Mengembalikannya kepada masyarakat berarti sama saja membahas kesadaran yang sangat susah di Negara ini. Tak hanya laki-laki yang memaksakan diri untuk berdesak-desakan di Kereta api. Ibu-ibu hingga yang membawa anak seringkali tidak perduli dengan keselamatan anaknya dan lebih mengutamakan ego agar tiba di tempat lebih cepat. Ironisnya, sampai di kereta yang sudah berdesak-desakan kita harus menahan emosi karena geram melihat anaknya ikut berdesakan. Jadi akan susah menunggu tingkat kesadaran masyarakat kita.
Persoalan transportasi mungkin akan tetap menjadi masalah klasik di Jakarta. Tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk diselesaikan. Sembari menunggu kebijakan konkret dari pemerintah mungkin bias kita mulai dari kesadaran diri sendiri. Sekalipun anda ingin tepat waktu tiba ditujuan tetaplah utamakan keselamatan diri sendiri. Apalagi anda bepergian bersama anak. Jangan paksakan diri karena mengejar waktu satu jam, anda kehilangan nyawa selamanya!
***Semua Foto dokumen Pribadi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H