[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Perbedaan Itu Indah (Image by wordpress.com)"][/caption]
Selama lebih setahun intens menulis di Kompasiana, saya selalu berusaha untuk menghindari topik-topik mengenai komparasi agama di setiap artikel yang saya buat. Komparasi agama yang saya maksud adalah turut campur tangannya membahas topik agama lain di luar apa yang saya yakini. Karena bagi saya, agama merupakan hal principal dan paling pribadi bagi setiap individu yang bahkan tak layak untuk kita tanyakan. Prinsip saya, lebih baik buta mengenai apa yang dipercayai seseorang daripada sok tahu atau bahkan mengatainya salah. Tak penting bagi saya membeberkan kebenaran apa yang saya miliki dan bahkan mendengar bagaimana kebenaran yang diyakini orang lain. Kecuali seseorang datang mengetuk pintu untuk meminta dan benar-benar meminta, saya tidak akan pernah mau membuat sebuah aksi persuasive agar seseorang mengikuti apa yang saya imani.
Bagi saya, kebiasaan berbuat baik, saling menghargai dan saling mengasihi antar sesama jauh lebih berarti daripada agama orang tersebut. Sebisa mungkin saya memandang seseorang bersalah berdasarkan hukum dan norma, bukan digeneralisasi secara agama. Sehingga bagi saya tidak ada istilah penunjukkan sesorang secara frontal ‘Berdosa’ atau banyak orang menyebut kafir dan sebagainya. Seberapa kuat seseorang sehingga merasa paling benar dan melayakkan dirinya untuk menghakimi orang lain? Selain itu, manusia mana yang bisa dijamin benar-benar hidupnya lurus? Ustadz, Biksu, Pendeta? Maaf saya hanya menganggap mereka spesial saat memimpin umat pada perayaan ibadah. Di samping itu mereka juga manusia biasa.
Sebagai manusia biasa, tentu saja saya mengharapkan perlakuan yang sama dari orang lain. Kemudian sampailah saya pada titik sekarang di moment natal yang selalu spesial bagi saya pribadi. Ini merupakan salah satu moment paling dinanti dan suasana sukacita dan damai sejahtera selalu terasa kental di bulan ini bagi saya pribadi. Namun belakangan ada yang mengganjal, berhubung hampir tiap hari membuka Kompasiana. Ternyata bermunculan artikel yang memperdebatkan Halal/haram kah mengucapkan selamat Natal. Sebelumnya tak ingin menanggapinya, tetapi berhubung tiap hari makin banyak artikel sejenis yang bermunculan, rasanya sangat miris membacanya. Kompasiana yang sebenarnya di mata banyak orang tempat berkumpul blogger-blogger cerdas ternyata masih banyak ‘menyelip’ orang-orang kuno yang berfikiran sempit. Sehingga akhirnya sayapun menulis artikel ini.
Jadi begini, mengenai niatan baik saudara untuk mengucapakan selamat natal itu sangat saya hargai secara pribadi. Dan saya beruntung banyak memiliki teman yang tidak ketakutan agamanya tiba-tiba berubah di KTP, saat mengucapkannya. Bahkan SPG di mall-mall pun tak keberatan memakai Topi sinterklas yang menurutnya itu hanya Aksesoris semata, bukan langsung menggambarkan dirinya mengakui kelahiran Yesus. Sama halnya dengan kakak saya yang dulu mengambil akta 4 di sebuah Universitas swasta yang mengharuskannya menggunakan Jilbab selama 6 bulan. Universitas tersebut tidak mengharuskan mahasiswanya menjadi muslim, tetapi jika memasuki lingkungan kampus diharuskan menggunakan penutup kepala. Tanpa sedikitpun berniat buruk, kakak saya menganggapnya sebatas aturan. Lalu seberapa pentingkah ucapan selamat Natal dari saudara untuk saya?
Setiap orang boleh memiliki interpretasi yang berbeda-beda sesuai agama yang dianut tentang layak atau tidak mengucapkannya. Itu sah-sah saja. Namun yang membuatnya menjadi ‘kekanak-kanakan’ adalah haruskah Saudara menggembor-gemborkannya di media Kompasiana ini? Pentingkah itu? maksud saya adalah biarkan saja saudara memegang teguh apa yang diyakini. Bila perlu bahaslah secara eksklusif di lingkungan yang sama dengan Saudara guna memperkuat iman saudara. Tak perlu melukai orang lain dengan mengatakan itu tak pantas. Toh, tidak ada agama yang mengajarkan untuk menyakiti sesame kan? Jika Kompasiana ini diisi oleh anak-anak SMP atau SD, saya menganggapnya wajar saja karena emosinya masih labil. Nah ini? Jawab sendiri!
Setiap sukacita yang kita alami tentu saja kita ingin mendapatkan ucapan selamat dari sahabat. Semisal hari ulang tahun, anniversary, promosi jabatan dan sebagainya. Demikianpun dengan ucapan Natal, ingin rasanya sahabat terdekat berada di sisi untuk mengucapkannya. Tentu saja orang yang saya maksud adalah sahabat yang tulus mengucapkannya tanpa tertekan oleh embel-embel apapun. Dan bagi yang tidak mengucapkannyapun tidak masalah. Kembali lagi ke awal, hidup ini harus saling menghargai bukan? Jadi mengucapkan atau tidak, tak akan mengurangi rasa simpati saya kepada orang lain. Singkatnya, jika tidak bisa mengucapkan setidaknya lebih baik berdiam dan jangan malah menodai kebahagiaan orang lain. Karena tentunya Saudarapun pasti mengharapkan hal yang sama dari orang lain kan?
Inilah sedikit curahan hati di moment Natal kali ini. Harapan saya semoga di tahun-tahun selanjutnya tidak muncul lagi topik yang seperti ini. Keharmonisan itu tidak datang dengan sendirinya, namun Ia dibangun oleh pendahulu kita sejak dulu sehingga terbentuklah NKRI dengan perjuangan seluruh ras, suku, dan agama di Negara yang bhineka ini melalui perjuangan mati-matian. Jika hanya mengandalakan Wong Java, Wong Sumatera, Kalimantan, Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Hindu negara ini mungkin tidak akan pernah bersatu seperti sekarang. Jadi mari kita hargai persatuan tersebut, bukan malah membesar-besarkan topik mikro untuk memcah belah bangsa ini.
Akhirnya selamat Natal bagi semua saudara yang merayakan dan Salam persatuan bagi semua pembaca yang cerdas!
Happy weekend!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H