JIS bukti Wibawa Indonesia yang dipermainkan!
Jakarta International School (JIS) memang benar-benar telah menarik perhatian masyarakat Indonesia selama beberapa pekan ini. Aksi heroik dari seorang anak berusia enam tahun yang mengidolakan tokoh superhero Marvell,yakni Captain America dengan menjadi korban pertama yang membuka terkuaknya kasus pelecehan seksual di sekolah Internasional ini menuai banyak opini dan dukungan. Tindakan orangtuanya yang tanpa ragu membawa kasus ini ke ranah hukum sukses menguak salah satu rahasia buruk dalam dunia pendidikan saat ini. Tak sampai disitu, tindakan orang tua korban yang tetap menuntut keadilan walau dicerca banyak terror dan ancaman berhasil membuat pemerintah menutup sekolah ini. Walau harus terluka dan mungkin akan menjadi salah satu pengalaman buruk untuk anaknya yang kini terinfeksi herpes, orangtua korban mengesampingkannya demi menjaga anak-anak yang lain dari kasus serupa. Inilah yang membuat tindakan korban dan orangtuanya heroic dan kita harus berterimakasih kepada mereka.
Menguaknya kasus pedeofil di JIS membuat pemerintah benar-benar menilik semua hal tentang sekolah yang berlokasi di Jakarta Selatan ini. Sebut saja pengungkapan alumni-alumninya di media sosial yang mengakui tindakan pelecehan telah lama terjadi di sana, budaya, kurikulum hingga izin penyelenggaraan pendidikan yang bermasalah. Beberapa hal tersebut terungkap saat kasus Pedeofil mencuat ke media. Bisa dikatakan, kasus ini berhasil membangunkan pemerintah terkait untuk turun lapangan dan benar-benar bekerja membenahi pendidikan di Indonesia. Sehingga mereka bertindak ‘baru tahu’ jika izin TK di JIS tidak ada.lebih buruk lagi, Pemerintah terkait baru tahu juga kalau kurikulum di JIS menghapus mata pelajaran Bahasa Indonesia, PPKN dan Agama.
Sempat menyimak acara televisi Satu Meja membahas kasus JIS yang ditayangkan di Kompas Tv beberapa hari yang lalu. Menghadirkan narasumber Erlinda yang notabene menjabat sebagai Sekretaris Jenderal KPAI. Dalam talkshow tersebut, Erlinda menyampaikan hasil pengamatannya tentang pendidikan di sana. Erlinda mengungkapkan penghapusan tiga mata pelajaran tersebut. Dan bahkan Ia juga menjelaskan cara berpakaian murid-murid JIS yang hanya menggunakan Tanktop ke Sekolah(Untuk SMP-SMA). Bahkan kebiasaan seperti ciuman (lip kiss) menjadi hal yang wajar di lingkungan sekolah.
Tidak bisa dipungkiri, JIS memang sekolah berbasis Internasional dan mayoritas dihuni oleh murid-murid expatriate. Mengadopsi keseluruhan budaya western menjadi hal yang wajar bagi mereka agar tetap bisa merasakan belajar di rumah atau negara sendiri. Inilah mungkin poin yang ingin dicapai oleh pemiliknya. Walaupun mengeruk rupiah di Indonesia, mereka tidak peduli dengan budaya atau bahkan regulasi di negara ini. Memiliki dolar dan bisa membayar pajak, mungkin sudah cukup bagi mereka. Lembaga negara yang juga cuek-cuek saja kian melonggarkan aturan dan membebaskan apapun yang dilakukan selama masih membayar pajak. Maka Undang-Undang tentang pengadaan pendidikanpun menjadi tak penting lagi. Dengan kata lain, sekolah Internasional ini bebas dengan aturan sendiri di Indonesia.
Persoalan seragam sekolah. Penuturan Erlinda tadi jelas-jelas tidak sesuai dengan budaya Indonesia. JIS memang benar-benar mengacuhkan budaya yang diterapkan di negara ini. Ciuman di lingkungan sekolah juga tampak sangat tidak menghargai norma-norma yang dianut bangsa kita. Walaupun sedikit atau bahkan tidak ada warga negara Indonesia di sekolah tersebut, sudah sepantasnya pihak JIS menghargai budaya Indonesia.
Namun hal tersebut mungkin tak ada apa-apanya dengan penghapusan tiga mata pelajaran pokok. PPKN, Bahasa Indonesia dan Agama sudah menjadi substansial kurikulum dasar di Indonesia. Seluruh sekolah di Indonesia diwajibkan menggunakan tiga mata pelajaran ini pada kurikulumnya. Namun JIS malah meniadakannya. Terhapusnya pelajaran bahasa Indonesia, menjadi bukti kuat betapa JIS sangat menyepelekan bangsa Ini. Bagaimana bisa, sebuah institusi pendidikan di sebuah negara tak mau mempelajari bahasa negara tersebut? Bahkan menghapusnya dan melanggar aturan pendidikan di negara tersebut. JIS sebagai sekolah yang diadakan “perantau” enggan memasukkan pelajaran bahasa tempatnya merantau. Sedangkan di beberapa negara saja, Bahasa Indonesia telah dipelajari di sekolah formal, JIS benar-benar menyepelekan Indonesia.
Hal ini memang terbukti, Tim Carr sebagai kepala sekolah di JIS bahkan tak pernah menunjukkan kemampuannya berbahasa Indonesia. Sebut saja untuk beramah-tamah. Dalam berbagai wawancaranya ke media, tak pernah sekalipun mengucapkan bahasa Indonesia. Padahal sudah bertahun-tahun Ia mengais rezeki di negara ini.
Hal kecil seperti inilah yang kadang dilupakan di negara kita. Lembeknya hukum untuk kaum-kaum tertentu justru membuat negara ini makin diremehkan dan diolok-olok. Jika di negara kita sendiri saja, budaya dan bahasa kita tidak dihargai. Bagaimana di negara mereka? Pemerintah harus tegas menuntaskan persoalan di JIS dan harus lebih memperketat sekolah internasional dalam penerapan nilai-nilai dan kultur Indonesia di sana. Jika tidak, perlahan tapi pasti Indonesia hanya akan tinggal nama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H