Lahir dan dibesarkan di sebuah perkampungan yang terbilang jauh dari hiruk-pikuk kota merupakan satu hal yang paling disyukuri dalam hidup.Setidaknya saya merasakan hal demikian ketika dengan bangga mengatakan ‘Pulang Kampung’ saat cuti akhir tahun kepada teman-teman saya. Sementara teman saya tidak bisa mengatakan demikian karena lahir di Jakarta, mereka hanya mengatakan betapa beruntungnya saya dan keinginan mereka menikmati sensasi pulang kampung yang secara otomatis menjadi refreshing dari keramaian.
Pulang kampung memang menjadi pilihan utama ketika memiliki libur panjang. Bagaimana tidak? Selain temu kangen bersama orang tua dan keluarga, ini juga sekaligus menjadi ajang liburan bertema ‘back to nature’ dimana mampu mengganti polusi udara perkotaan dengan udara sejuk dan pemandangan hijau. Sesampainya disana juga akan disambut oleh puluhan warga yang ingin sekedar bertanya kabar maupun bertanya tentang saudaranya yang tidak pulang kampung dan sekota dengan saya. Kentalnya persaudaraan disana memang tidak berubah sejak dulu.
Desa yang saya maksud adalah Jumaramba. Tidak tahu desa ini? Ya wajar saja. Jumaramba adalah Sebuah desa kecil di Sumatera Utara, Kabupaten Dairi, Sidikalang. Dari kota Medan sendiri membutuhkan waktu perjalanan kurang lebih 4 jam melalui transportasi darat. Dan memang hanya jalur daratlah yang tersedia. Jumaramba sendiri merupakan dataran tinggi dan bisa dikatakan termasuk jajaran bukit yang sangat nyaman. Tak heran, sepanjang perjalanan dari Medan kesana akan dihiasi oleh tanjakan-tanjakan yang cukup banyak dan dihiasi pemandangan hutan yang masih asri. Bahkan masih terdapat serombongan orang utan yang berkeliaran di pinggir jalan. Dataran yang tinggi membuat udara sejuk di Jumaramba. Bisa dikatakan kampungku ini adalah daerah lembab dengan tanah yang sangat subur. Mata pencaharian utama adalah bercocok tanam dengan komoditas unggulan Kopi, Padi, Jagung, Sayuran dan buah-buahan. Semua warga desa Jumaramba pasti memiliki lahan pertanian. Ada pepatah di desaku ini bahwa hanya orang malas yang tidak bisa menanam padi sendiri. Tidak tahu benar atau tidak, namun saya mengartikannya sebagai pemicu saja bagi warganya untuk bekerja keras. Padi yang dimaksud mungkin tidak selamanya berarti padi.
[caption id="attachment_317021" align="aligncenter" width="300" caption="Desa Jumaramba"][/caption]
[caption id="attachment_317023" align="aligncenter" width="300" caption="Padi sebagai salah satu Komoditas Pertanian"]
Desa Jumaramba dihuni oleh 55 Keluarga dan 100 persen adalah suku Batak Toba, jadi otomatis bahasa yang digunakan adalah Bahasa Batak Toba. Tapi jangan salah, ‘pake bahasa Jermanpun kita bisa’ begitu kata Ibu saya. Walau demikian, warga desa ini sangat ramah bagi suku apapun yang datang berkunjung, baik keluarga dari suku lain ataupun teman yang sering ikutan. Warga akan sangat antusias menanyakan dan berusaha untuk akrab kepada orang baru yang menjadi tamu di desa ini. Sebut saja beberapa kali teman saya datang, mereka sampai kewalahan menghadapi jabatan tangan warga setempat. Namun begitulah warga desaku, akrab dengan siapapun yang tak bermaksud jahat namun akan menerkam yang tidak baik.
Berbicara mengenai adat istiadat, Desa Jumaramba masih kental menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Adat batak asli masih akan ditemui di desa ini. Adat ini terlihat pada acara-acara penting, seperti pesta pernikahan, orang meninggal, anak lahir dan masih banyak lagi. Dalam kehidupan sehari-hari Warga juga memiliki aturan dalam memanggil seseorang. Jadi tidak sembarangan, bisa-bisa dikatakan tidak sopan. Panggilan terhadap seseorang itu didasari oleh Marga. Marga ini merupakan nama turunan dari leluhur yang disematkan pada seseorang dan sekaligus menjadi jati diri orang Batak untuk cepat dikenal. Ini juga yang membuat orang Batak tidak bisa menikah sembarangan. Jadi dengan Marga ini, kita tahu memanggil orang dengan apa. Maka muncullah sebutan ‘TULANG’ untuk laki-laki yang semarga dengan ibu, ‘Namboru’ untuk perempuan yang semarga dengan Ayah. ‘Amanguda’ untuk adik laki-laki ayah dan ‘Amangtua’ untuk abang dari Ayah. Sebutan-sebutan ini harus diggunakan jika menyapa orang-orang yang dimaksud. Jika tidak, maka akan disebut tidak paham adat. Falsafah Batk sendiri juga menjadi acuan dalam kehidupan adat-istiadat di desaku. ‘Dalihan Natolu’ dalam bahasa Indonesia kira-kira ketiga aturan pokok. Yakni: Somba Marhula-hula, Elek Marboru, Manat Mardongan Tubu. Untuk yang pertama berkaitan dengan Tulang yang saya sebut di awal. Jadi secara adat Tulang atau Hula-Hula itu merupakan pemegang adat yang paling tinggi dan harus dihormati. Untuk yang kedua berkaitan dengan Namboru, yang mana harus disayangi dan dimanja, karena Namboru ini agak cepat ngambek. Untuk yang ketiga berkaitan dengan Amanguda dan Amangtua, disini perlu sikap yang hati-hati dan tidak boleh salah ngomong karena bisa bahaya dan berujung perkelahian. Ketiga Falsafah ini harus diterapkan dalam pesta adat maupun keseharian.
Walaupun terletak di wilayah yang lumayan terpencil, namun pemikiran warga sangat maju. Terbukti dengan anak-anak desa yang dikirimkan orang tuanya untuk menempuh pendidikan tinggi bahkan sampai ke Jakarta. Maka jangan heran jika tidak melihat anak muda di desa ini karena pasti menuntut ilmu di kota dan kebanyakan merantau di ibukota. Bisa dibilang Jumaramba hanya akan dipenuhi anak muda saat akhir tahun, karena para perantau akan pulang kampung seperti yang saya lakukan juga.
Merantau sudah menjadi salah satu prinsip sukses orang Batak termasuk Warga Jumaramba. Ada prinsip bahwa Orang Batak tidak akan sukses kalau tidak merantau. Tidak tahu darimana awalnya prinsip ini. Namun memang banyak anak desa yang sukses di perantauan. Semoga saya juga ya. Maka ketika tamat kuliah, anak desa Jumaramba akan merantau ke kota seperti Jakarta, Batam, Pekanbaru, Bandung dan lain sebagainya. Anak rantau ini jugalah yang membangun desa dengan sumbangan-sumbangan untuk pembangunan desa. Ada lagi istilahnya untuk ini, yakni ‘Marsipature Huta na Be” artinya Membangun Kampung Masing-masing. Jadi para perantau ini kerap membentuk perkumpulan sesame perantau untuk membangun desa supaya tidak tertinggal.
[caption id="attachment_317024" align="aligncenter" width="300" caption="Panen"]
Untuk suku lain yang menikah dengan warga setempat, biasanya perantau pulang untuk menikah di kampung membawa calon istri atau calon suami dengan suku lain. mereka ini akan dikasih marga supaya lebih menyentuh suku Batak Toba dan mudah menemukan keluarga baru di kampung itu. Inilah yang membuat siapapun merasa nyaman tinggal di Jumaramba, karena tidak akan merasa asing sendiri disini. Sepanjang jalan bertemu dengan warga kita akan disuguhi senyuman dan sapaan ringan.
Untuk penggunaan air bersih, warga setempat memanfaatkan air sungai yang dikelola warga dan disalurkan ke rumah penduduk melalui gotong royong. Gotong royong sendiri tetap menjadi pilihan utama Warga untuk mengerjakan kepentingan bersama. Seperti kebersihan kampung yang biasa dilakukan tiap perayaan Hari Ulang Tahun 17 agustus dan menjelang akhr tahun. Kemudian Gotong Royong untuk mengadakan aneka lomba pada 17 agustus dan bahkan gotong royong juga digunakan saat panen.
Kehidupan yang sangat toleran sangat kental di Desa ini. Ini juga satu dari sejuta alasan mengapa saya selalu rindu dan ingin berlama-lama tinggal disana. Bukan hanya saya, mungkin siapapun yang berkunjung pasti akan betah untuk tinggal lebih lama. Kearifan budaya setempat ini juga yang kadang luput dari perhatian warga kota. Warga kota yang selalu dipacu oleh modernisasi dan kemajuan zaman tanpa sengaja melupakan tradisi ramah yang sejak dulu dianut warga Indonesia. Maka lihat saja sekarang diperkotaan untuk ngobrol berdua saja sangat susah. Masyarakat kota lebih senang berbicara dengan gadget daripada dengan manusia. Lebih dari itu, Masyarakat kebanyakan sdudah menjadi korban media social dan seakan media social mampu memenuhi kebutuhannya. Mari melihat kehidupan kembali dengan kemanusiawian. Jika tidak bisa melihatnya lagi dari perkotaan, jangan malu melihatnya dari lingkungan pedesaan. Bukan berarti kolot atau ketinggalan zaman, namun dalam hidup ada yang perlu diperbaharui dan ada yang patut untuk dijaga. Mereka adalah tradisi dan orisinalitas bangsa yang ramah dan santun melalui Indonesia Travel, mari menjelajah kearifan budaya bangsa dan melestarikannya. Semoga kerukunan ini tetap terjaga sampai nanti, Besok, Lusa dan Selamanya.
‘Desaku yang kucinta, Pujaan Hatiku,
Tempat ayah dan bunda dan handai taulanku.
Tak Mudah Kulupakan, tak mudah bercerai,
Selalu kurindukan, desaku yang permai……….
[caption id="attachment_317026" align="aligncenter" width="300" caption="saat bersama teman sekampung"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H