[caption id="" align="alignnone" width="622" caption="Image/blogspot.com"][/caption]
Menonton Film di Bioskop memang menjadi salah satu alternative hiburan yang banyak dimanfaatkan orang-orang untuk mengisi waktu senggang. Praktis dan ekonomis mungkin menjadi salah satu alasan menjadikan Agenda menonton Film ini banyak diminati oleh masyarakat. Maka tak heran, puluhan film baru terus menerus dirilis di berbagai bioskop di tanah air. Baik film produksi anak negeri, Bollywood, Asia hingga Hollywood berlomba-lomba mengisi daftar putar di bioskop-bioskop yang tersebar di Indonesia. Berbagai judul film dari aneka genre dan kategori menawarkan pengalaman berbeda dengan tampilan sinematografi dan grafis yang seakan menjadi hipnotis tersendiri bagi masyarakat untuk mengunjungi bioskop.
Jika membandingkan film dalam negeri dengan film Hollywood secara teknikal tentu saja film Hollywood menjadi juara di bidangnya. Teknologi yang lebih canggih dan sinkronisasi ide cerita yang dibungkus dengan gaya modern menjadi keunggulan mereka untuk menciptakan film-film besar dengan raihan jumlah penonton yang fantastis. Sementara itu film anak negeri harus berjuang keras dari segi tema cerita untuk mendapatkan penonton karena jelas-jelas kalah saing dalam hal teknologi. Namun demikian, bioskop sebagai salah satu line bisnis mengharuskan film-film domestic bersaing secara head to head dengan film Hollywood. Lalu siapa pemenangnya?
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah seharusnya Film Indonesia. Sebagai tuan rumah Film Indonesia selayaknya menjadi pemenang dan memainkan peran utama dalam bioskop-bioskop di tanah air. Sebagai produk Indonesia asli, film Indonesia memang harus menjadi penguasa di tanah sendiri. Sayangnya, fakta yang terjadi di lapangan bebanding terbalik. Film Indonesia hanya menjadi ‘selipan’ di bioskop-bioskop tanah air.
Saya merasa kecewa sore ini, Kamis (3/7) saat hendak menonton film di sebuah bioskop XXI di daerah Tangerang Selatan. Penasaran dengan film Indonesia yang baru tayang dengan judul Cahaya Dari Timur, saya pun memutuskan untuk mengunjungi bioskop tersebut. Ternyata saya terlambat karena film tersebut memang hanya ditayangkan dua kali saja dalam satu hari dan sialnya, saya tidak mengecek jadwal tayangnya sebelumnya di internet. Dengan menahan kekesalan saya hanya bisa meninggalkan teater setelah sebelumnya mengamati daftar film yang ditayangkan hari itu. Dari tujuh teater yang disediakan, 4 diantaranya memutar film Transformers- Age Of Extinction, 1 theater untuk film Diaspora Cinta di Taipei, 1 untuk film Drive Hard dan satu lagi untuk film horror Deliver Us From Evil. Jadi hanya satu film Indonesia yang diselipkan di antara film-film Hollywood dengan frekuensi tayang lebih banyak tentunya. Dan film yang ingin saya tonton mendapat jadwal tayang paling sedikit. Sepulang dari sana, saya penasaran dengan bioskop-bioskop lainnya, akhirnya setelah saya mencari jadwalnya di www.21cineplex.com ternyata hampir semua bioskop melakoni hal yang sama. Kurang miris apalagi?
Tidak bisa dipungkiri, ‘godaan’ yang ditawarkan film-film Hollywood dengan ide cerita yang mempesona disertai teknologi serba canggih memang menjadi persaingan yang sangat sengit untuk film Indonesia dalam merebut hati pengunjung bioskop. Beberapa bulan lalu Captain America menguasai penjualan tiket bioskop tanah air dan membuat film-film lokal tak berkutik. Tak berselang lama, The Amzing Spiderman 2 kembali ‘menjajah’ film lokal dengan mengisi slot-slot bioskop seluruh Indonesia. Maleficent yang sampai sekarang masih ditayangkan sejak sebulan lalu semakin memperpanjang derita film lokal di bioskop lokal. Dan kini, Transformers bisa dikatakan ‘mematikan’ perolehan film-film lokal. Sementara itu, Film besar Hollywood lainnya yang berjudul The Dawn Of The Planet Of The Apes juga tengah bersiap untuk menggebrak bioskop-bioskop Indonesia. Lalu, Siapa yang salah?
Seperti yang saya tuliskan sebelumnya, dari segi teknis dan artistik produksi film Indonesia memang belum mampu melampaui film-film Hollywood jadi jelas saja film kita kalah. Dengan peralatan yang kalah canggih dari mereka. Kemudian Penonton yang berkunjung ke bioskop mencari hiburan tentu saja mencari yang terbaik dan paling memuaskan. Dengan mengeluarkan uang sebanyak Rp. 35.000 atau Rp 50.000 tentu saja mereka ingin tersenyum dan bahagia saat keluar dari theater bioskop. Jadi kita tentu saja tak bisa menyalahkan penonton. Permasalahannya adalah mengapa frekuensi tayang film Indonesia dan Hollywood tersebut tidak seimbang? Tidak bisakah jumlah tayang film Indonesia melebihi atau setidaknya sama dengan film-film Hollywood itu. sebenarnya kita sedang menonton di bioskop negara mana, Indonesia atau Amerika?
Berbicara mengenai jumlah tayang tentu saja kembali lagi ke minat penonton dan permintaan pasar. Masyarakat kita yang memang jauh lebih tertarik menonton film Mancanegara menjadi faktor penentu jumlah tayang tersebut. Diputar beebrapa kalipun kemungkinan besar bioskop akan sepi berbanding terbalik dengan pemutaran film mancanegara. Inilah yang mungkin menjadi dasar manajemen bioskop. Jadi siapa yang disalahkan?
Film Indonesia tentu saja bukan hanya sekedar industry sepintas yang hanya bertujuan untuk hiburan. Film juga mampu menjadi ciri khas suatu negara dalam mewariskan suatu tradisi maupun kebudayaan negaranya di mata dunia. Lihatlah India yang memiliki Industri Perfilman yang sangat berkembang dan bahkan mampu membawa India ke perfilman Internasional. Bukan tidak mungkin, Indonesia juga mampu menjadikan Film sebagai salah satu wadah perkenalan kepada dunia. Namun ini juga tentunya membutuhkan dukungan dari masyarakat luas. Jika di negara sendiri film anak negeri tidak mampu berbicara, bagaimanapula di negeri lain? Jika kita sendiri tidak mengakui kualitas dan selalu underestimated dengan hasil karya tangan anak bangsa, bagaimana pula bangsa lain mengakuinya?
Tetapi tetap saja Untuk meraih jumlah penonton yang banyak, film Indonesia harus memperbaiki kualitasnya dan selalu belajar untuk semakin bagus. Sebagai saran, banyak atau tidaknya peminat film Indonesia Bioskop-bioskop seluruh nusantara harus tetap memberikan jatah yang sama dalam menayangkannya. Karena bioskop sebagai salah satu penentu eksistensi film Indonesia harus tetap menunjukkan rasa cintanya kepada film-film lokal. Jika bioskop kita saja enggan untuk memberikan ruang bagi film Lokal, apa kita berani bermimpi Film Indonesia diputar di layar Internasional? Setidaknya, Bioskop harus melakukan perannya untuk mencegah Penjajahan terhadap film-film asli Indonesia. Jika tak berpihak, cepat atau lambat perfilman Indonesia akan mati terkapar. Tentu saja kita tidak mengharapkan ini.
Akhirnya semoga saja perfilman Indonesia semakin menunjukkan kualitasnya dan diberikan ruang lebih luas untuk tetap ada dan menjadi pemeran utama di bioskop-bioskop tanah air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H